HIDUPKATOLIK.com – PEMILU 2019 nampaknya melahirkan wajah baru, legislator dan senator, yang akan masuk Senayan mulai Oktober 2019 mendatang. Tentu ada pula legislator atau senator yang kini menjabat namun harus siap-siap membereskan kamar kerjanya karena pemerolehan suaranya rendah alias tidak terpilih kembali.
Yang menarik, orang Katolik lalu mulai mencari nama-nama khususnya yang Katolik saja. Bahkan, ada yang bukan Katolik namun karena namanya berbau Katolik, disebut sebagai gerbong Katolik dari mereka yang lolos ke Senayan. Lalu terlontar pula ucapan, orang Katolik yang berhasil ke DPR kini jumlahnya lebih banyak dibanding hasil Pemilu 2014.
Berdasarkan situasi tersebut, penulis berpikir, bukankah orang non Katolik juga akan berperilaku serupa? Mencari nama yang jelas merupakan bagian dari kelompoknya, atau nama di mana ia bisa mengasosiasikan diri sebagai teman dari sang legislator atau senator baru.
Mencari kesamaan (similarity) dan persamaan (equity), dengan demikian, adalah naluri purba yang bisa menghinggapi siapa saja. Orang Katolik pun ternyata sama saja. Maka, orang Katolik dalam hal ini tidak bisa menyalahkan orang lain yang juga cenderung ingin menambah perwakilan dari kelompoknya. Orang Katolik juga tidak bisa sakit hati kalau tersingkir oleh orang lain yang “sama” dengan kelompok non-Katolik.
Ini perlu disebutkan karena orang Katolik kerap “baper” atau sensitif jika diperlakukan demikian. Penulis hanya mengingatkan, jika diberi kesempatan, kemungkinan besar orang Katolik juga melakukan hal serupa.
Masalahnya, bagi kawanan kecil seperti Katolik, tentu tidak stratejik jika melulu menggunakan identitas Katolik dalam rangka mencari kesamaan dan persamaan. Di dunia politik, misalnya, kekuasaan dapat diperoleh berdasarkan besaran suara atau banyaknya anggota. Katolik dalam hal ini tidak akan menang jika beradu suara.
Dalam dunia birokrasi tidak diperlukan besaran suara. Yang penting, apa kedudukan atau jabatannya. Tetapi, kalau kita mencari mana orang Katolik yang berada di puncak sebagai kepala instansi atau lembaga, lagi-lagi kita akan selalu berhadapan dengan angka yang kecil.
Maka, adalah penting bagi orang Katolik untuk tidak setiap kali menggunakan ke-Katolik-an sebagai identitas primer. Seakan-akan, kalau seseorang sudah bernama atau berstatus Katolik, pada dirinya pasti ada kasih dan hikmat. Sebaliknya, kalau seseorang bukan Katolik, orang itu pasti bukan bagian dari “kita”, melainkan “mereka”.
Perlu ditegaskan, yang terpilih masuk Senayan sebenarnya tidak mengambil keuntungan dari fakta dirinya Katolik. Ada yang karena sudah duduk di Senayan sehingga bisa mencuri start lebih awal atau karena yang bersangkutan mantan pejabat tinggi di daerah sehingga jauh lebih dikenal sejak sebelumnya.
Setelah terpilih pun, mereka akan banyak diikat aturan dan kebijakan partai masing-masing. Belum lagi ketika sudah terbenam dalam kesibukan fraksi dan komisi, pansus ataupun panja, maka mereka akan menjadi seolah-olah “tukang rapat” saja. Pindah dari satu rapat ke rapat yang lain. Kapan pula akan berpikir untuk kepentingan Katolik?
Membangun jaringan, entah melalui pertemanan, hubungan kolegial, kesamaan minat atau afiliasi lain, adalah selalu baik dan perlu untuk mendukung Gereja Katolik pada khususnya dan umat Katolik Indonesia pada umumnya, jika menghadapi masalah atau kebutuhan tertentu. Percayalah bahwa pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan yang sama, yakni suka dihargai, yang perlu kita penuhi terlebih dahulu sebelum bicara tentang kepentingan kita sendiri.
Adrianus Meliala
HIDUP NO.25 2019, 23 Juni 2019