HIDUPKATOLIK.com – Paroki Lurasik telah mewujudkan sesuatu yang mustahil menjadi mungkin. Bukit Gersang disulap menjadi hutan hijau lebat nan sejuk.
Sebuah bukit didominasi warna coklat menyilaukan mata siapa pun yang memandangnya dari jauh. Tidak terlihat sedikit pun titik hijau di sana. Hanya tanah retak dan debu tanah yang terpampang. Di tengah areal tandus itu, berdirilah sebuah gereja. Dari Gereja itulah mengalir kehidupan dan harapan baru kepada area sekitarnya.
Sekitar 12 tahun, Pastor Yohanes Oki atau akrab disapa Pastor John, menanam berbagai tanaman di sekeliling area komplek paroki, hingga akhirnya menjadi hutan kecil di tengah hutan. Tunas-tunas pohon muda mulai bertumbuh dan tertata dengan rapi memberikan keteduhan dan kekaguman pada setiap orang yang datang berkunjung.
Pastor Rekan Paroki Lurasik, Pastor Inosensius Nahak Berek mengisahkan, ketika ditugaskan di paroki ini, Pastor John berusaha mewujudkan “paroki ekologis”. “Dari seluruh paroki yang ada di Keuskupan Atambua, hanya Paroki Lurasik yang berjalan dengan semangat paroki lingkungan hidup,” tutur Pastor Ino mengakui.
Tidak hanya memiliki asa untuk menghijaukan tanah gersang, Pastor John juga ingin menghijaukan hati umatnya. Ia ingin menanamkan kepada umat Lurasik tentang bagaimana mencintai lingkungan karena sejalan dengan ensiklik Paus Fransiskus, Laudato Si. Paroki ini berusaha menjawab seruan Paus untuk mencintai lingkungan dengan mengajarkan kepada umat bagaimana cara bertani dan bersawah dengan baik dan benar. Pastor John dengan sabar mengajari umat tidak hanya bersawah tetapi menanam tanaman holtikultura lain yang bisa menambah pemasukan seperti sayuran dan buah.
Sejak tiga bulan lalu, bersama dengan Departemen Pertanian Daerah, Paroki Lurasik berkerjasama untuk memberikan pelatihan kepada umat. Tujuannya agar umat juga tergerak untuk mengusahakan tanah pekarangannya dengan berbagai tanaman. Setidaknya untuk mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari. Model bertani umat dengan menanam jagung yang hasilnya tidak seberapa turut menggerakan hati Gereja untuk semakin menyejahterahkan umatnya. “Pelatihan ini bukan hanya memberikan keterampilan, tetapi sekaligus mengubah pola pikir bertani yang lebih menghasilkan kepada umat,” ujar pastor yang baru saja bergabung selama enam bulan menemani pastor paroki.
Paroki yang memiliki 13.000 ribu umat ini juga memberikan pendidikan karakter cinta lingkungan kepada anak-anak sedini mungkin. Setiap Sabtu, anak-anak akan datang untuk kerja bakti di Gereja. Para pastor mengajarkan mereka untuk menyiram, merawat, dan memangkas gulma liar. “Tindakan sederhana ini akan mendidik mereka untuk memiliki rasa kepemilikan kepada lingkungan sehingga mereka memiliki panggilan untuk merawat bumi,” ungkap Pastor Ino.
Tidak hanya itu, paroki membantu perekonomian umat dengan cara menyewakan sebagaian lahannya untuk diolah. Umat yang ingin bertani, namun tidak memiliki lahan dipinjamkan tanah paroki. Sebagian keuntungan diserahkan kepada paroki untuk pengembangan dan pemeliharaan kegiatan pastoral selanjutnya.
Paroki Lurasik juga membantu umat untuk mendistribusikan hasil pertaniannya dengan menyalurkan kepada biara-biara sekitar, serta toko dan pasar terdekat. Lebih dari 18 ton beras dihasilkan setiap tahunnya dari usaha ini. Meski begitu, jumlah ini berkurang jika menghadapi musim paceklik.
Akibat ketrampilannya mengolah sawah, pastor Paroki Lurasik dijuluki sebagai “profesor sawah” oleh umat sekitar dan para pastor yang mengenalnya. Tidak mengherankan, sumber dana paroki ini adalah beras. “Paroki ini sangat potensial soal pemberdayaan ekonomi,” tandas Pastor Ino.
Felicia Permata Hanggu
HIDUP NO.23 2019, 9 Juni 2019