HIDUPKATOLIK.com – Isu gender ia geluti setiap hari baik dalam gerakan sosial maupun dalam studi.
Kerusuhan Poso, Sulawesi Tengah, tahun 2000-an silam, ditandai dengan penyerangan Pesantren Walisongo Poso. Beberapa laki-laki dibantai habis perusuh dan para perempuan dikumpulkan kemudian dilecehkan. Perempuan-perempuan ini ada yang lari sejauh 200-an km membawa anak-anak mereka melewati hutan, menuju ke Palu.
Adriana Venny Aryani, wartawan dari Jurnal Perempuan, dalam perjumpaannya dengan para perempuan itu begitu tersentuh dengan ucapan salah satu di antara mereka, “Cukup kami saja, jangan ada lagi yang lain mengalami apa yang menimpa kami.” Kata-kata itu menjadi penyemangat perempuan yang akrab disapa Adriana ini untuk terus memperjuangkan keadilan bagi perempuan.
Sejak Mahasiswa
Sejak mahasiswa, Adriana telah menjadi aktivis. Bersama ribuan mahasiswa lainnya, ia ikut berunjuk rasa pada tahun 1998. Ia menentang kenaikan harga sembako yang secara khusus berdampak pada mahalnya harga susu. Isu perempuan memang menjadi sorotannya. Saat itu, ia adalah mahasiswi pascasarjana filsafat Universita Indonesi dengan spesifikasi ke feminisme. Selesai era ‘98, barulah Adriana bergabung dengan Jurnal Perempuan, di mana ia kerap mengunjungi berbagai wilayah konflik di Indonesia dan melihat langsung bagaimana konflik berdampak, terutama pada perempuan dan anak perempuan.
Adriana juga aktif di lembaga partisipasi perempuan, koalisi berbasis gender, dan beberapa jaringan perempuan. Isu gender ia geluti setiap hari, baik dalam gerakan sosial maupun dalam studi. Melanjutkan studi doktoralnya, disertasi Adriana juga masih tentang feminsime.
Pergerakan aktivisme dan kerjanya dalam dunia jurnalisme, mengantarkan Adriana ke Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Ia menjadi komisioner untuk sub-komisi pemantauan dan anggota Tim Advokasi Internasional. Dalam urusan pemantauan, Adriana mengatakan komisi ini biasanya menangangi pengaduan. Ketika ada kasus penggusuran atau konflik sosial, perempuan yang menjadi korban akan melakukan pengaduan dan kalau diperlukan.
“Model penanganan yang kami berikan tergantung kebutuhan korban. Misalnya korban KDRT yang pengadilan tidak mendapatkan akses keadilan dari pengadilan, kami akan kirimkan surat rekomendasi kepada kepala pengadilan supaya prosesnya lebih berpihak kepada si korban,” katanya saat ditemui di ruang kerjanya.
Selain itu, dari pengaduan masuk bila diperlukan, komisi akan membuatkan surat rekomendasi kepada polisi untuk mempercepat proses hukumnya. “Kami memberikan penguatan kepada korban dan pemahaman kepada polisi, hakim, bahwa penyelesaian kasus kekerasan seksual adalah kasus yang saggat penting untuk masa depan korban. Maka harus diberikan akses keadilan seluas-luasnya,” katanya.
Pemulihan Korban
Ketika korban mengalami trauma, komisi akan merujuk pada pemulihan. Karena Komnas Perempuan tidak mempunyai kantor di tingkat lokal, biasanya korban ada pusat pengadaan layanan baik milik LSM maupun pemerintah, seperti Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak.
Sebagai tim advokasi internasional, ia bertugas menyusun laporan independen tentang pelaksanaan kovensi internasional yang berkaitan dengan perlindungan perempuan. Indonesia, kata Adriana, sudah hampir meratifikasi semua konvensi internasional, termasuk untuk hak ekonomi sosial budaya, hak sipil politik, penghapusan segala bentuk diskrimainasi terhadap perempuan, anti-penyikasaan, juga anti-diskriminasi terhadap suku agama, dan ras. Karena telah meratifikasi, maka negara harus melaksanakan isi konvensi dan membuat laporan. “Biasa kalau pemerintah membuat laporan isinya yang bagus-bagus saja, terkait pencapaiannya. Tapi persoalan yang sensitif, pelanggaran hak kelompok minoritas, mungkin tidak begitu dimunculkan,” ujarnya.
Di sanalah Komnas Perempuan membuat laporan independen. Sebagai lembaga nasional HAM, lembaga negara yang independen, Komnas Perempuan mengoreksi kebijakan-kebijakan yang belum responsif gender dan mendikriminasi perempuan.
Ada 421 kebijakan dan regulasi baik di tingkas nasional maupun lokal, berupa Perda, yang Adriana katakan masih diskriminatif terhadap perempuan. Bahkan, tidak jarang konvensi internasional dan instrumen HAM berbenturan dengan regulasi di level negara. Ia mencontohkan, human trafficking yang dimensi masalahnya terus berkembang. Dulu korban dieksploitasi di prostitusi atau sebagai asisten rumah tangga tapi tak dibayar. “Yang masalah itu belum selesai, korban juga sudah terekspos lagi dengan drugs trafficking menjadi kurir narkoba. Ini yang membuat kompleks,” katanya.
Adriana menjelaskan, mereka yang dianggap memperdangangkan narkoba, akan terjerat UU Narkotika lalu dihukum mati. Padahal, Protokol Palermo memandatkan negara untuk melihat apakah ia korban human trafficking. Jika ya, dia tak bisa dikenakan hukuman mati. “Masalahnya sekarang semakin kompleks,” tambahnya.
Isu Radikalisasi
Saat ini, radikalisasi menjadi masalah khusus. Pekerja migran mulai direkrut dalam isu-isu terorisme. Mereka kurang mendapat perhatian pemerintah sehingga banyak yang di luar negeri menjadi sangat mudah terpapar idelogi radikal. Karenanya, Adriana mengatakan masalah perdagnagan pekerja migran di Indonesia cukup kompleks dan pemerintah harus menyelesaikannya dengan baik.
Di antara berbagai isu perempuan yang melanda kaum perempuan, Adriana juga menyoroti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang tak sedikit menuai kontra justru dari perempuan. Ia mengatakan, perempuan yang kontra terhadap RUU ini lebih disebabkan karena ketidakpahaman dan banyaknya berita bohong yang beredar. Tak jarang orang berpikir agama akan menyelesaikan semua masalah, atau dengan moralitas semua masalah di dunia akan selesai.
Adriana mengungkapkan banyak pelaku kekekarasan seksual yang justru merupakan orang yang di tengah masyarakat dianggap sebagai tokoh dan panutan. Bahkan, 70 persen terjadi di ruang domestik yang sangat tertutup dan tidak bisa diakses. Kasus-kasus demikian cenderung membuat korban tak berani bersuara. Korban malu mengungkapkan pelecehan seks yang ia alami karena takut tidak ada yang akan percaya atau khawatir menanggung malu.
Dari hasil penelitian, hanya sekitar tujuh persen perempuan korban pelecehan yang melapor. Sisanya memilih diam saja. Adriana berharap, perempuan-perempuan memahami dengan baik undang-undang dan regulasi yang bisa melindungi perempuan.
Meski kini disibukkan dengan urusannya di Komnas Perempuan, Adriana juga menekuni dunia menulis. Beberapa bukunya tentang perempuan telah diterbitkan. Ia menekuni isu perempuan dalam kaitannya dengan perdamaian dan keamanan, pembangunan sektor keamanan, ekstremisme kekerasan, politik, serta advokasi untuk pengendalian tembakau.
Adriana Venny Aryani
Lahir : Semarang, 22 Mei 1970
Suami : Andreas Widhy
Pendidikan :
– Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan
– Magister dan Doktor Filsafat Universitas Indonesia
Pengalaman :
– Koordinator Koalisi Anti Kekerasan Berbasis Gender
– Pendiri Aliansi Masyarakat untuk Perempuan dan Politik
– Pendiri Lembaga Partisipasi Perempuan
– Aktivis Jaringan Perempuan Peduli Pengendalian Tembakau
– Aktivis Gerakan Perempuan Peduli Indonesia
– Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan hingga 2008
Penghargaan :
– Kartini Award 2019 bidang sosial aktivis dari El John Foundation
Hermina Wulohering
HIDUP NO.23 2019, 9 Juni 2019