HIDUPKATOLIK.com – Ia sempat menganggap Tuhan itu kejam. Sebab, Dia mengambil buah hatinya, putra semata wayang, dan dalam usia teramat muda.
Pandangan Christiana Sunarti nyaris tak beranjak ke tempat lain. Tatapannya tertuju kepada putra semata wayangnya, Albertus Cahyo Chrisantono Siswanto. Sang buah hati terbaring lemah di sebuah RS di Tangerang. “Mama, dadaku sakit. Jangan tinggalkan aku,” kenang Sunarti, mengulang permintaan putranya.
Batin Sunarti bak teriris sembilu, perih, begitu mendengar permohonan anak semata wayangnya. Permintaan itu ia ucapkan sembari memegang dadanya. Kris menahan sakit. Padahal, kata Sunarti, dua hari sebelumnya, usai cuci darah, Kris terlihat segar. Ia bisa duduk dan mengobrol dengan dirinya. Namun, semua itu berlangsung singkat. Bagai embun disapu pancaran mentari.
Dengan suara parau, Kris kembali memanggil ibunya. Ia mengulang permintaan serupa kepada perempuan yang telah melahirkannya. “Mama tidak ke mana-mana. Mama tetap menjaga dan menemani Kris di kamar ini,” jawab Sunarti.
Terus Berdoa
Sunarti berusaha agar Kris bisa terlelap. Itu mungkin salah satu cara agar anaknya tak terlalu tersiksa atas gering yang mendera. Ia mengelus rambut Kris lalu memeluk putranya yang baru berusia 17 tahun itu. Dalam posisi seperti itu, Sunarti melanjutkan doanya. Cuman satu permohonan yang ia minta kepada Tuhan: semoga Kris lekas sembuh.
Begitu melihat Kris telah tertidur, Sunarti menyeka keringat di wajah putranya. Air matanya jatuh membasahi kedua pipinya. Kris tiba-tiba terbangun. Ia mengerang kesakitan. Sunarti mengelus dada putranya. Ia berharap itu bisa sedikit mengurangi penderitaan yang dialami anaknya.
Sekitar pukul 04.15, rintihan Kris tak lagi terdengar. Ruangan tempat ia dirawat sepi. Sunarti melabuhkan telapak tangan di dada putranya. Namun, ia tak lagi merasakan detak jantung Kris. Sunarti menyendengkan telinga ke dekat hidung putranya. Ia sama sekali tak merasakan dorongan udara dari indra penciuman anak semata wayangnya itu. Kris tutup usia. Tangis Sunarti puh pecah.
Jenazah Kris disemayamkan di kediamannya di Perum, Jln. Gurame II no 8, Karawaci, Tangerang. Hari itu juga dilangsungkan Misa penutupan peti. Perayaan Ekaristi dipimpin oleh Pastor Paroki St Agustinus Karawaci, Keuskupan Agung Jakarta, Pastor Antonius Budiman OSC. Usai itu, Kris dimakamkan di Pemakaman Katolik Selapajang, Tangerang.
Sunarti dan sang suami, Antonius Paeno, merasakan duka mendalam atas kepergian anak satu-satunya. Bagi pasangan yang menikah tahun 1997 itu, Kris merupakan anugerah luar biasa yang Tuhan berikan kepada mereka. Tiga tahun mereka mendamba kehadiran malaikat kecil. Namun, Dia yang memberi, memanggilnya begitu lekas.
Berharap Mukjizat
Pada pertengahan April lalu, Sunarti mengisahkan tentang gering yang merundung putranya. Semua bermula pada pekan ketiga Februari kemarin. Kris mengeluh telinga kanannya sakit. Indera pendengarannya itupun berair. Nyeri yang dideritanya itu disertai dengan demam tinggi.
Sunarti langsung membawa Kris ke dokter. Tiga hari mendapatkan pengobatan, telinga bagian dalam Kris mulai mengering. Tapi, suhu tubuhnya tak kunjung adem. “Bahkan, (panas tubuh Kris) waktu itu mencapai 39 derajat selsius,” ujar Sunarti.
Guru Sekolah Immaculata Poris itu pun bergegas memboyong putranya ke RS. Dari hasil pemeriksaan dokter, terdapat kuman di kandungan darah Kris. Malam itu juga, Sunarti membawa anaknya ke sebuah RS di daerah Tangerang. Tiba di sana, ruang inap perawatan penuh. Perawat menyarankan Sunarti agar mencari RS lain.
Kedatangan Sunarti bersama beberapa umat lingkungan ke sebuah RS lain di wilayah Karawaci juga tak membuahkan hasil positif. Tak ada kamar kosong di RS itu. Sunarti akhirnya membawa kembali Kris ke rumah.
Sehari kemudian, sekitar pukul 04.00, lanjut Sunarti, tangan Kris kram, kedua kakinya gemetar. Keesokkan hari, sekira pukul 04.00, tangan Kris kram, kedua kakinya gemetar. Pagi itu juga, Sunarti “melarikan” Kris ke sebuah RS di Karawaci. Tiba di sana, Sunarti berjumpa dengan mantan muridnya sewaktu masih mengajar di SMP Citra Kasih Tangerang. Mantan anak didiknya itu menjadi dokter di RS tersebut. Bahkan, mantan siswanya itu pula yang mendiagnosa Kris.
Dari cerita yang dituturkan Sunarti, dokter tersebut memfokuskan pemeriksaan ke ginjal Kris. Sekitar pukul 13.00, begitu hasil observasi keluar, dokter memanggil Sunarti. Berdasarkan hasil pemeriksaan, ginjal Kris tak lagi berfungsi. Selain itu, masih menurut dokter, di bagian otak Kris terdapat cairan. Itulah yang membuat Kris sering sakit.
Sunarti terkejut mendengar keterangan dokter. Ia sedih dan tak mampu berbuat banyak, selain membawa putranya berobat dan mendampinginya tiap kali menjalani perawatan. Selain itu, ia hanya mampu berdoa, berharap mukjizat kesembuhan dari Tuhan.
Energi Sunarti semakin terkuras sebab ketika Kris dirawat di sebuah RS di Tangerang, sang suami juga dirawat di RS karena penyakit gula darah. Sunarti dan saudaranya bergantian untuk menemani Paeno dan Kris. “Yang menyedihkan, seminggu sebelum dipanggil Tuhan, suami tak bisa melihat wajah anaknya,” kenang pengajar Bina Iman Anak Paroki Karawaci ini.
Titipan Tuhan
Sebagai manusia biasa, Sunarti tak menampik, dirinya amat sedih dengan kepergian putranya. Ia merasa sangat kehilangan. Bahkan, ia sempat menyalahkan Tuhan atas peristiwa duka yang membekapnya. “Tuhan begitu tega mengambil anakku,” katanya.
Seiring waktu, Sunarti mulai memahami kehendak Tuhan dan mengikhlaskan kematian Kris. Peristiwa tersebut mengingatkan Sunarti dengan kisah Ayub. Ketabahan dan kesetiaan Ayub kepada Tuhan diuji dengan berbagai bencana. Ia kehilangan harta. Anak-anaknya meninggal dan kesehatannya pun sempat terganggu.
Kendati menerima beragam cobaan, Ayub tetap setia kepada Tuhan. Bagi Ayub, kehidupan ini, termasuk semua yang diterimanya hanyalah titipan Tuhan. Teladan iman Ayub itulah yang membelalakan kesadaran Sunarti. Manusia memiliki rencana, tapi Tuhanlah yang menentukan sebab kehidupan ini milik-Nya. “(Termasuk) anak. Ia adalah titipan Tuhan. Semoga ia bahagia di rumah Bapa di surga,” harap Sunarti.
Konrad R. Mangu
HIDUP NO.23 2019, 9 Juni 2019