HIDUPKATOLIK.com – Beberapa kalangan sepakat mengatakan Gereja dewasa ini sedang menghadapi krisis terbesar setelah krisis reformasi. Malahan John O’Malley, seorang ahli sejarah Gereja dari Amerika Serikat, mengatakan, sejak awal Gereja sering menghadapi deraan krisis, namun krisis dewasa ini adalah krisis yang paling berat dalam sejarah. Krisis ini terutama dipicu oleh maraknya ditemukan dan dibukanya fakta adanya pelecehan seksual oleh kalangan klerus, imam dan uskup, terlebih terhadap anak-anak, fedofilia. Akan tetapi, dalam perjalanan kembali dari Uni Emirat Arab Paus Fransiskus mengakui pula pelecehan seksual juga dilakukan kepada para biarawati.
Untuk menghadapi persoalan ini, Paus Fransiskus mengundang para presiden konferensi-konferensi uskup dari seluruh dunia, bersama 8 pimpinan umum tarekat religius pria dan 10 pimpinan umum tarekat suster. Pertemuan tersebut diadakan di Roma, 21-24 Februari 2019 ini, dan akan dimoderatori oleh P Federico Lombardi, SJ. Pertemuan tersebut lebih akan berusaha membicarakan akar persoalan dari krisis tersebut, yang lebih dalam dari sekadar persoalan seksualitas. Selibat bukan alasan pokok dari persoalan yang ada, namun terlebih adanya sikap yang tidak sehat dalam
menjalani hidup.
Keterbukaan dan kesadaran
Dikatakan ada dua kata kunci yang menyertai pertemuan tersebut, yakni keterbukaan dan kesadaran. Persoalan pelecehan seksual memang bukan murni persoalan kaum selibat. Persoalan tersebut ada dan nyata di tengah pemahaman dan budaya seksualitas yang tidak sehat di kalangan masyarakat. Gereja berada dalam konteks tersebut. Akan tetapi, menyalahkan kultur dan konteks sosial yang ada, bukanlah sikap yang tepat. Gereja, sebagai tubuh rohani, tidak bisa diam dan membiarkan karena penyakit tersebut juga menjangkitinya.
Lombardi sendiri mengungkapkan, bahwa persoalan ini adalah persoalan seluruh Gereja. Mengabaikan, ataupun menganggap itu adalah persoalan kecil, atau hanya persoalan di negara-negara barat, baginya adalah suatu sikap tertutup dan kesadaran yang menutup mata akan kenyataan. Maka menurutnya, salah satu tujuan dari pertemuan tersebut adalah membuka mata seluruh Gereja akan akutnya persoalan yang terjadi, yang memicu krisis. Tidak mengherankanlah kalau Paus sendiri mengharapkan para presiden konferensi uskup bertemu dengan kurban pelecehan seksual sebelum pertemuan tersebut.
Gereja tidak bisa mengecilkan persoalan. Paus Benediktus XVI sendiri saat tahun imam (2010) menyebutkan jelas, satu kasus saja sudah terlalu banyak, sebab para gembala yang tidak menjaga, malahan menodai kawanan dombanya adalah suatu perusakan yang parah.
Klerikalisme, akar
Bagi Paus Fransiskus akar dasar dari persoalan adalah klerikalisme. Klerikalisme berbicara tentang sikap pembelaan akan kuasa, status dan kedudukan klerus, sehingga mengakitkan mereka merasa bisa berbuat apa saja, kerapuhannya boleh untuk ditolerir. Klerikalisme ini menurutnya juga terjangkit di kalangan umat. Klerikalisme ini menodai, sebab para klerus tidak menempatkan diri sebagai pelayan iman dan moral, bahkan dengannya menghambat orang untuk berjumpa dengan Allah.
Salah bentuk dari klerikalisme yang ikut menyertai krisis yang terjadi adalah sikap menutupi. Paus Fransiskus mengakui itu ada dan terjadi. Surat Paus kepada para uskupdi Chile dan Amerika Serikat menyebutkan hal itu. Sikap menutupi itu menyakitkan bagi kurban, sebab dengannya seakan pelaku dibela dan kurban dipersalahkan. Di sini ditantang bentuk pertanggungjawaban Gereja sebagai tubuh rohani, yang menyadari kerapuhannya namun juga mau terus berubah, tidak dengan berkelit untuk membenarkan diri.
Tampaknya pertemuan para presiden konferensi uskup tidak berambisi membuat suatu protokol atau prosedur menyelesaian soalnya secara umum. Perbedaan konteks, budaya dan hukum di masing-masing kawasan akan mempengaruhi. Yang paling realistis, kiranya, membuka kesadaran akan adanya krisis dan menggugah langkah bagi penangan persoalannya, namun terlebih untuk mengkaji lagi proses pembinaan para imam dan calon imam, agar persoalan serupa tidak lagi terulang.
T Krispurwana Cahyadi, SJ
HIDUP NO.22 2019, 2 Juni 2019