HIDUPKATOLIK.com – Ia mengalami aneka pengalaman rohani yang tak bisa dijelaskan mata logika. Ia mengalami ekstase, bilokasi, visiun, stigmata, dan yang lain. Ia mencintai orang miskin dan senantiasa berdoa bagi perdamaian dunia.
Maria Domenica Pinna sedang berbadan dua. Usia kandungan telah tua; tinggal menghitung hari untuk melahirkan anak kedua. Jelang persalinan, ia sakit parah. Dalam sakit, ia melihat sebuah monstran dengan hosti suci yang bercahaya. Ditemani sang suami, Giovanni Battista Carboni, ia berdoa bagi janin yang dalam kandungannya, “Jika aku mati, anakku ini harus menerima komuni suci setiap hari. Kamu akan menjadi anak baik, karena Yesus.”
Pada 2 Mei 1880, ia melahirkan bayi putri yang jelita di Pozzomaggiore, Sassari, Italia. Maria dan Giovanni memberinya nama Edvige Carboni. Bayi mungil itu nyata memang istimewa. Ia membawa sebuah tanda lahir berupa guratan daging yang membentuk salib di dekat payudaranya. Orang yang melihat selalu berkata, “Ia telah dipilih Yesus sejak lahir.”
Dua hari setelah dilahirkan, bayi itu dibaptis. Dan pada usia lima tahun, Edvige mengucap kaul kemurnian. Saban sore, ibundanya mengajak Edvige mengunjungi Sakramen Maha Kudus. Di sanalah, ia senantiasa membarui janji kemurnian. “Ya Tuhan, aku berjanji demi kesucian abadi. Aku menguduskan diri bagi Engkau.”
Edvige juga kerap bermain di rumah neneknya. Di rumah itu terdapat lukisan Bunda Maria menggendong bayi Yesus. Setiap kali menatap lukisan itu, Edvige selalu berucap, “Ibuku, aku mencintaimu. Biarkanlah Putramu bermain dengan aku.” Dan setelah berkata demikian, Edvige nampak ceria layaknya bocah yang sedang bermain-main dengan teman sebayanya.
Tapi sayang, pendidikannya terbelakang. Edvige hanya belajar sampai kelas tiga sekolah dasar, lantaran ibunya sakit keras. Ia mesti membantu segala pekerjaan rumah tangga dan menemani empat adiknya. Meski begitu, ia mau belajar menyulam. Hasil sulamannya, ia jual.
Bersua Para Kudus
Pada usia sebelas tahun, ia menerima hosti suci untuk pertama kali. Sejak itu, Edvige rajin berdoa. Suatu kali, ia berdoa di kandang hewan, agar tidak diganggu. Dalam doa, ia melihat sosok seorang imam muda tersenyum kepadanya dan berkata, “Apakah kamu mengenal saya?” Ia menjawab, “Tidak.” Sang imam muda itu berucap, “Saya Santo Luis Gonzaga. Saya sangat mencintaimu. Kamu harus selalu mencintai Yesus.” Semenjak itu, Edvige mengaku, St Luis Gonzaga selalu menampakkan diri untuk mengajarinya berdoa.
Saat remaja, Edvige ingin menjadi biarawati. Tapi sang bunda tak mengijinkan. Edvige tidah putus asa. Ia tetap membantu segala pekerjaan rumah. Ia amat dekat dengan Paulina, adiknya. Pada usia enam belas tahun, Edvige sering mengalami pengalaman rohani berjumpa dengan Yesus, Bunda Maria, dan para orang kudus, seperti St Anna, St Katarina dari Siena, St Dominikus Savio, St Fransiskus Assisi, St Gemma Galgani, St Yohanes Bosco, St Paulus Rasul, St Rita dari Cascia, St Sebastianus, Dan St Teresia dari Lisieux.
Karunia Rohani
Suatu hari, ketika Edvige sedang khusyuk berdoa, tiba-tiba ia merasa Yesus hadir. “Putriku, apakah kamu mau menderita?” tanya Yesus. Edvige menjawab, “Demi mencintai-Mu, aku rela menderita.”
Tiba-tiba, Yesus sudah berada di salib, dan luka-luka-Nya mengeluarkan cahaya. Sinar dari cahaya itu mengarah ke tangan, kaki, kepala, dan lambung Edvige. Sontak, ia merasakan sakit yang luar biasa. Ia tersungkur di tanah selama beberapa jam. Ketika bangun, Edvige melihat tangan, kaki, kepala, dan bagian lambung terluka, dan terasa sakit amat dalam. Sejak itu, Edvige memiliki devosi khusus pada sengsara Yesus. Ia berdoa pagi dan sore hari.
Semua kisah ini, ia tuliskan dalam buku hariannya. Tapi, ia memang tak menyebutkan pada usia berapa ia mengalami stigmata itu untuk pertama kali.
Lain hari, malaikat mendatangi Edvige. Ia mengalami fenomena transverberasi atau hatinya dilukai seperti yang dialami St Padre Pio dan St Teresa dari Avila. Edvige menulis, “Aku sedang berdoa kepada Yesus, dan tiba-tiba malaikat muncul dan melukai hatiku. Aku masih merasakan luka itu. Tapi luka itu membuatku semakin terbakar oleh cinta untuk Yesus.”
Beberapa rekan Edvige memang pernah melihat kulit luar di bagian hatinya seperti melepuh akibat luka bakar. Di baju malamnya juga terdapat tanda-tanda bekas terbakar.
Karunia rohani yang lain juga didapat Edvige. Suatu ketika Yesus mendatanginya. Yesus meminta agar Edvige menjadi silih atas korban peperangan, terutama di negara-negara komunis. “Putriku, berjanji kepada-Ku untuk menderita demi kesengsaraan, penolakan, cemoohan, demi pertobatan komunis dan perdamaian dunia,” demikian tulis Edvige mengutip pesan Yesus. Suatu hari, St Yohanes Bosco juga berpesan kepada Edvige agar menjadi korban bagi pembebasan orang-orang miskin.
Edvige pun menjalani kehidupan silih dan beramal. Dia juga kerap berpuasa dengan hanya makan sepotong roti untuk sarapan dan makan malam. Ia lebih memilih membagikan makanannya kepada orang-orang miskin dan para korban perang.
Jika seorang miskin mengetuk pintu rumahnya saat dia makan, dia akan memberi mereka semua makanannya. Paulina, adiknya, pernah melihat Edvige sedang membelai dengan penuh kasih seorang lelaki tua miskin di tangga Gereja St Paulus. Ia juga memberi lelaki tua itu syal agar tidak kedinginan. “Saya mencintai orang miskin karena Yesus juga mencintai mereka. Mereka akan membuka gerbang surga bagi kita,” tulisnya.
Selain itu, Edvige juga mendapat karunia bilokasi. Ia bisa berada di dua tempat secara bersamaan. Saat Perang Dunia I, ia pergi ke medan perang dan membawa kabar duka tentang tentara yang hilang atau gugur. Edvige juga pernah mengaku bahwa ia pergi menemui Stalin di Kremlin, Uni Soviet. Edvige mengajak Stalin agar segera bertobat dan membiarkan Gereja tumbuh di Uni Soviet.
Ia juga beberapa kali mendapat penampakan Bunda Maria. “Putriku, berdoalah dan lakukan penebusan dosa. Berdoalah Rosario sesering mungkin, karena itu senjata ampuh untuk menarik berkah dari surga,” tulis Edvige mengutip pesan Bunda Maria.
Jalan Suci
Lantaran tak jadi menjadi biarawati, Edvige banyak mengikuti berbagai perkumpulan sejak muda. Dia bergabung dengan Putri-putri Maria di Pozzomaggiore. Ia berhimpun dalam Ordo Ketiga Fransiskan. Ia pun aktif dalam komunitas Sahabat St Teresia dari Kanak-Kanak Yesus. Edvige juga amat dekat dengan para Salesian.
Pada 1941, ia bergabung dengan Confraternity of the Passion di Scala Santa di Roma. Di sinilah ia bersua dengan Pater Ignacio Parmeggiani CP, imam Passionis yang menjadi pembimbing rohaninya. Memang sejak 1929, keluarga Edvige pindah dari Sardinia ke Roma, sebab adiknya Paulina mendapat pekerjaan ini di Marcellinacalo, kota antara Roma dan Tivoli. Di Roma, Edvige mengajar agama dan menyulam kepada beberapa gadis remaja.
Minggu, 17 Februari 1952, Edvige bangun pagi-pagi benar. Ia pergi Misa bersama adiknya, Paulina. Edvige dan Paulina pulang sekitar pukul 20:30 dengan kereta api. Sesampainya di rumah, Edvige mengeluh tak enak badan. Ia berbaring di ranjang. Ia berkata, “Aku mulai sekarat.” Ia juga bertutur bahwa matanya tak bisa melihat lagi.
Paulina segera memanggil dokter dan pastor paroki. Namun, Tuhan punya rencana lain. Edvige dipanggil Allah ke surga tempat pukul 10:30. Hari itu pun kemudian diperingati untuk mengenang kesalehan Edvige. Jenazahnya dimakamkan di Nettuno, Italia.
Pada 7 November tahun lalu, Paus Fransiskus mengumumkan dekrit mukjizat melalui perantaraan Edvige. Rencana, Edvige akan dibeatifikasi pada Minggu, 16 Juni 2019 di Sardinia.
Y. Prayogo
HIDUP NO.22 2019, 2 Juni 2019