HIDUPKATOLIK.com – Meski bukan yang pertama, ia menjadi satu di antara dua perempuan yang memperoleh Ratzinger Award. Kehadirannya akan memperluas sudut pandang studi Teologi Katolik.
Saat menyampaikan penghargaan Ratzinger Award 2018 kepada Marianne Schlosser, Paus Fransiskus mengungkapkan, pentingnya mengakui prestasi wanita, terutama dalam teologi. Paus mengakui, selama ini bidang ini seakan hanya diperuntukkan bagi para imam yang terkesan eksklusif.
Pernyataan ini rasanya tidak berlebihan, Marianne nyatanya hanya menjadi bagian kecil dari hanya lima orang perempuan di Komisi Teologi International. Meski bukan yang pertama kali yang mendapat penghargaan ini, ia membuktikan, bahwa bidang teologi bukan hanya eksklusif untuk klerus, namun juga terbuka untuk awam dan juga seorang perempuan.
Pada Tahun 2018 itu, Marianne mendapat penghargaan Ratzinger Award bersama dengan Mario Botta. Yang kedua ini adalah seorang arsitek berkebangsaan Swiss yang dikenal karena bangunan-bangunan religius yang dibuatnya.
Tidak Siap
Marianne Schlosser belajar Filologi Latin dan Teologi Katolik di Universitas Munich, Jerman. Pada tahun 1985, ia lulus ujian lisensiat. Pada tahun 1989, ia berhasil menyelesaikan disertasinya dengan judul “Cognitio et amor: Tentang Alasan Kognitif dan Sukarela Pengalaman Tuhan Menurut Bonaventura”.
Dari tahun 1985 hingga 2004, Marianne adalah peneliti di Martin-Grabmann-Institut Munich. Pada Oktober 2004, ia menjadi dosen teologi spiritualitas Fakultas Teologi Universitas Wina, Austria. Minat penelitiannya meliputi teologi dan spiritualitas Abad Pertengahan, terutama mendalami teologi St Bonaventura dan St Katarina dari Siena. Ia juga mendalami Teologi Ekaristi dan teks-teks klasik spiritualitas Kristiani.
Atas prestasi ini, Paus Fransiskus mengangkat Marianne sebagai anggota Komisi Teologi Internasional pada 23 September 2014. Pada Agustus 2016, ia juga diangkat Paus sebagai anggota sebuah komisi untuk studi “diakon perempuan”. Selama dua tahun dari 2016 sampai Januari 2018, ia menjadi anggota Komisi Teologi Austrian Bishops’ Conference (Konferensi Waligereja Austria).
Tahun lalu, setelah menerima penghargaan Ratzinger Award, Marianne sepertinya sedikit menunjukkan “superioritasnya” atas kaum klerus di bidang teologi. Meski begitu, ia masih tetap rendah hati. Dalam sebuah wawancara ia berujar, bahwa sebagai pribadi, ia sebenarnya tidak siap dengan anugerah ini. Baginya, teologi mencoba membantu orang untuk melihat lebih dalam kebenaran dan cinta dengan Tuhan.
Tentang Ekaristi
Pendalaman dalam studi tentang Sakramen Ekaristi selama ini menjadi salah satu bidang yang ditekuni Marriane. Menurutnya, ketika seseorang menerima Komuni, ia tidak dapat memakannya seperti saat ia menyantap sepotong roti. Setiap orang yang menerima Tubuh Kristus, harus menerima dan mengenal Dia.
Dalam sebuah wawancara yang dilaporkan www.de.catholicnewsagency.com, (22/6/18), Marianne menuturkan, komuni harus dipahami sebagai sebuah “pertemuan”. Dalam hal ini, menerima berarti menerima seseorang. Ini adalah tindakan pribadi yang disadari dan dilakukan dengan cinta. Setiap orang yang menerima komuni, dengan sendirinya, ia juga bersedia diubah oleh-Nya. “Menurut iman Katolik, para penerima Komuni ini tidak pasif, tetapi mereka tunduk kepada Kristus. Ia membiarkan dirinya dibawa kepada Allah Bapa. Tentu saja, ini juga berarti memahami persekutuan dalam konteks gereja sebagai tubuh Kristus,” ujar Marianne.
Sebagai seorang teolog kelahiran Jerman, Marianne juga sempat mengemukakan pendapatnya terhadap perdebatan yang muncul pasca pernyataan Paus yang disampaikan dalam perjalanan dari Jenewa, Swiss ke Roma, Italia. Ketika itu, Paus menanggapi pernyataan para uskup Jerman tentang boleh tidaknya pasangan Katolik-Protestan untuk menerima Komuni Kudus.
Di tengah pro dan kontra itu, Marianne mengingatkan akan bahaya “relativisme” sehubungan dengan debat sakramental saat ini. Dalam sebuah wawancara, ia menunjuk pada satu bahaya ketika pasangan Protestan-Katolik diizinkan untuk menerima Komuni Suci. Dengan pernyataan ini, ia ingin memberi penekanan lebih tentang pernyataan Paus.
Diakon Perempuan
Panorama Gereja Katolik tahun lalu juga diwarnai dengan dibentuknya sebuah komisi yang ditugaskan untuk menggali lebih dalam tentang “diakon perempuan”. Marianne pun ditunjuk menjadi salah satu anggotanya. Diskusi tentang boleh tidaknya seorang perempuan ditahbiskan telah menjadi diskusi hangat dalam Gereja. Pembahasan ini mencakup alasan teologi, histori, dan antropologi.
Sekitar setahun berlalu setelah penunjukkan itu, beredar kabar bahwa Marianne telah melaporkan hasil penelitiannya kepada Konferensi Uskup Jerman. Kabar itu mengatakan, bahwa secara historis, tidak pernah ada diakon perempuan yang ditahbiskan secara sakramental. Sejauh ini, Takhta Suci pun belum pernah mengeluarkan laporan tentang hal ini.
Akhirnya dalam sebuah wawancara yang dipublikasikan www.lifesitenews.com, Marianne langsung membantah klaim ini. Ia menyangkal pernah berbicara tentang laporan ini kepada siapa pun. Ia mengungkapkan, sejak ia ditunjuk menjadi anggota komisi ini, ia telah bekerja sekuat tenaga mendalami segala aspek iman berkaitan dengan diakon perempuan.
Marianne menjelaskan, jawaban atas pertanyaan, “Apakah ada diakon pada bagaimana memahami kata milenium pertama, ungkapan “dan “ordo” digunakan dalam arti yang lebih luas, dari pada di masa kemudian. Sementara pada masa ini, “ordinatio” dan “ordo” hampir selalu berarti Sakramen Tahbisan Suci.
Karena itu, apakah “ditahbiskan” berarti bahwa mereka menerima “penahbisan sakramental”? Di sini, perlu mempertimbangkan, bahwa pemahaman sakramen hari ini ditentukan pada abad ke-16. Marianne menjelaskan, pada abad-abad sebelumnya, garis pemisah dengan apa yang disebut “sakramental” belum digambar sedemikian tepatnya. “Bagi saya tampaknya sangat penting untuk berfokus pada inti teologis-spiritual dari penahbisan diaken perempuan,” ujarnya.
Marianne mengungkapkan, dibutuhkan usaha lebih untuk semakin memahami, apakah ada teks liturgi yang menunjukkan, bahwa diakon perempuan hanyalah “diakon yang perempuan”, atau, ada sesuatu yang istimewa? “Kenyataan bahwa doa penahbisan untuk diakon wanita dan diakon tidak sama dalam setiap kasus yang diketahui oleh saya, patut mendapat perhatian kita.”
Pencapaian yang kini diraih Marianne, bagaimana pun bisa dikatakan istimewa. Ia masuk dalam ranah studi yang sebagian besar didalami oleh “kaum adam”. Saat mengumumkan penunjukkan lima perempuan menjadi anggota Komisi Teologi International, Paus Fransiskus berujar, bahwa perempuan adalah “strawberry dalam sebuah kue”. Dengan ini, Paus berharap mereka mampu menghadirkan sudut pandang baru dalam studi teologi.
Marianne Schlosser
Lahir : Donauwörth, 3 December 1960
Pendidikan : Doktor Teologi Universitas Munich, Jerman
Pekerjaan : Dosen Teologi di Universitas Vienna, Austria
Jabatan :
– Komisi Teologi International – 2014-2019
– Komisi Teologi Austrian Bishops’ Conference – 2016-2018
Penghargaan : Ratzinger Award 2018
Yulius Yulianto
HIDUP NO.22 2019, 2 Juni 2019