HIDUPKATOLIK.com – Romo Erwin yang baik, saya mempunyai anak yang akan menikah beda Gereja. Pernikahan mereka akan dilangsungkan dalam waktu dekat. Calon mempelai yang beragama Protestan berasal dari Jawa Tengah. Anak saya ingin menikah di gereja paroki lain. Masalah terjadi ketika anak saya meminta pelayanan penyelidikan kanonik. Pastor paroki menyuruh anak saya untuk sekaligus menikah dan menjalani penyelidikan kanonik di paroki tempat mereka akan menikah. Hasilnya, anak saya dan calon menantu ditolak di paroki tujuan dan disuruh kembali ke paroki asal. Sampai hari ini, nasib anak-anak kami tidak jelas, karena kami tidak memperoleh kejelasan dari pastor paroki, siapa yang akan melayani penyelidikan itu. Mohon bantuan Romo menjelaskannya.
Arnold, Jakarta
Bapak Arnold yang baik, terima kasih atas surat yang Anda kirimkan kepada kami. Kebingungan Bapak sangat beralasan dan mendapat perhatian kami. Semoga setelah penjelasan ini, semua pihak dan umat yang lain dapat memperoleh kejelasan mengurus administrasi perkawinannya.
Penyelidikan kanonik dilakukan agar para calon yang akan menikah dapat dipastikan layak untuk menikah. Imam dari salah satu pihak yang akan menikah harus merasa yakin dari penyelidikannya bahwa kedua calon yang akan menikah memang mempunyai status bebas dan berhak mengambil haknya untuk menikah. Imam penyelidik juga harus memastikan bahwa kedua calon bebas dari halangan nikah yang dimaksud dalam Hukum Kanonik.
Mengurus surat-surat dan proses perkawinan yang lengkap memang wajib dilakukan di paroki asal, tempat di mana seorang calon menikah berada, atau domisilinya sesudah enam bulan berada di paroki itu. Pengurusan ini masuk akal karena semua hal mengenai calon diketahui paling lengkap di tempat di mana ia berdomisili. Demikian juga dengan penyelidikan kanoniknya.
Kan 1067 dari KHK 1983 mengatakan, “Konferensi Para Uskup hendaknya menentukan norma-norma mengenai penyelidikan calon mempelai, serta mengenai pengumuman nikah atau cara-cara lain yang tepat untuk melakukan penyelidikan yang perlu sebelum perkawinan; setelah menepati hal-hal tersebut secara saksama, pastor paroki dapat melangkah lebih lanjut untuk meneguhkan perkawinan.” Hal ini menjelaskan bahwa petugas utama penyelidikan adalah pastor paroki domisili calon.
Memang bisa terjadi, karena hal yang sangat beralasan, penyelidikan dilakukan bukan oleh pastor paroki, namun pastor penyelidik harus segera melaporkan hasilnya kepada penanggung jawab utama, yaitu pastor paroki yang bersangkutan (Lih Kan 1070). Tanggung jawab ini tidak dapat begitu saja dilimpahkan kepada pastor lain di luar paroki.
Pastor paroki yang paling berhak dan berkewajiban memberikan pendampingan dan penyelesaian surat menyurat, termasuk penyelidikan kanoniknya. Secara logis, penyelidikan kanonik paling mudah dimengerti kalau dilakukan di tempat di mana salah satu calon berasal.
Anak Bapak tidak diizinkan menerima penyelidikan kanonik, karena memang pastor di gereja lain tidak bertanggung jawab untuk itu. Hal ini bisa terjadi dalam kasus khusus, alasan yang kuat, dan ada kesepakatan antarkedua pastor di kedua paroki.
Saya menyarankan agar Bapak, khususnya anak Bapak sebagai calon yang akan menikah, membangun komunikasi yang lebih baik dengan imam di paroki setempat. Peristiwa ini, menurut saya, lebih pada peristiwa komunikasi yang tidak lancar daripada soal hukum, karena seharusnya semua imam mengerti “aturan main” penyelidikan kanonik ini.
Sekali lagi, adakan pertemuan dan janji untuk melakukan penyelidikan kanonik di paroki anak Bapak. Lihatlah lagi, barangkali ada hal-hal yang tertinggal dalam proses pernikahan, atau barangkali selama ini komunikasi dengan romo paroki kurang baik.
Anak Bapak juga harus berusaha mengurus sendiri pernikahannya. Pastor bisa merasa diabaikan, karena kedua calon beralasan sibuk kerja dan tidak mau mengurus sendiri proses pernikahannya, sehingga persoalan antarpribadi terjadi. Semoga Tuhan memberkati proses pernikahan putra-putri Bapak. Salam dan doa kami.
Alexander Erwin Santoso MSF
HIDUP NO.22 2019, 2 Juni 2019