HIDUPKATOLIK.com – Ada pandangan bahwa menerima hosti dan anggur saat komuni lebih banyak berkatnya jika dibandingkan hanya menerima hosti saja. Dan yang boleh menerima hosti dan anggur hanya orang yang istimewa. Apakah pandangan ini benar?
Linda, Solo
Persoalan ini sudah pernah dibicarakan dalam Konsili Trente. Dalam penetapan hasil sidang ke 21 di tahun 1562 dinyatakan oleh konsili bahwa menerima komuni satu rupa, hanya tubuh Kristus saja, sudahlah cukup bagi keselamatan, kepenuhan sakramen dan keutuhan Kristus telah diterima. Oleh karena itu tidak benar bahwa menerima komuni dua rupa menjadi lebih banyak dan besar berkatnya. Konsili mendasarkan pandangannya ini berangkat dari pengajaran Yesus tentang roti hidup dalam Injil Yohanes (lih Yoh 6:25-59). Memang di satu sisi Yesus mengatakan tentang menerima tubuh dan darah-Nya (lih Yoh 6:53-54.56). Akan tetapi dikatakan-Nya pula bahwa yang makan roti, yang tak lain tubuh-Nya sendiri, akan memperoleh hidup kekal (lih Yoh 6:51.58). Komuni satu rupa tidak mengurangi hakekat keberadaan Kristus yang hadir dalam sakramen-Nya.
Penetapan tersebut dikatakan oleh Trente untuk menghadapi pandangan yang mengaburkan hakekat Ekaristi, yang bisa membuat bingung umat. Maka tidak ada kewajiban untuk menerima komuni dalam dua rupa. Malahan konsili menyebut dengan istilah “anathema sit”, untuk menunjukkan kesesatan pengertian, bahkan kesalahan keyakinan, akan pandangan yang menyebutkan bahwa Kristus, sumber dan asal segala rahmat, tidak diterima secara utuh dan penuh hanya dalam rupa roti, bukan dalam dua rupa.
Atas landasan kewenangan Gereja itu pula, Konsili Vatikan II dalam Sacrosanctum Concilium, konstitusi tentang liturgi, menyatakan bahwa atas kebijaksanaan uskup, komuni dua rupa, tubuh dan darah Tuhan, dapat diizinkan baik bagi religius maupun awam, dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip dogmatis konsili Trente. Contoh yang disebutkan di sini adalah sebagai misal dalam misa tahbisan, pengikraran kaul religius maupun bagi baptisan baru orang dewasa. Vatikan II memperlihatkan komuni dua rupa merupakan perlambangan Ekaristi secara lebih sempurna dan juga akan perjamuan eskatologis akan kehidupan baru dalam Allah. Dengan menyimak penjelasan di atas, maka tidaklah tepat kalau dikatakan bahwa menerima komuni dua rupa lebih banyak berkatnya dari pada komuni satu rupa. Berkatnya sama, rahmatnya sama. Komuni dua rupa tidak bisa diartikan berkatnya lebih.
Hal itu berarti pula bahwa tidak benar kalau yang menerima komuni dua rupa adalah orang-orang yang istimewa. Di hadapan Allah adakah seseorang yang lebih istimewa daripada yang lain. Allah tidak memandang muka (lih Yak 2:1; 1 Ptr 1:17). Menjadi bahaya kalau para pelayan liturgi, yang bisa mendapatkan kesempatan menerima komuni dua rupa, lalu merasa diri lebih istimewa daripada yang lain; atau orang ingin menjadi pelayan liturgi di seputar altar hanya agar tampak dan terkesan istimewa. Sikap ini bisa membawa kepada kesombongan rohani. Sebaliknya, pelayan altar diharapkan malahan semakin rendah hati, menyadari ketidakpantasan di hadapan Allah.
Ketentuan Gereja menyebutkan bahwa uskup setempat dapat menentukan kaidah-kaidah bagi komuni dua rupa di wilayah keuskupannya. Namun dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa perlu ada pengarahan yang baik, agar tidak terjadi pencemaran sakramen atau perayaan menjadi kacau balau, terutama karena jumlah umat yang banyak. Pada saat didaraskan Anak Domba Allah, imam memecahkan hosti lalu memasukkan potongan hosti ke dalam piala sambil memohon, “Semoga percampuran tubuh dan darah Tuhan kita Yesus Kristus ini memberikan kehidupan abadi kepada kita semua yang akan menyambut-Nya”. Dalam tata sakramen tubuh dan darah Tuhan telah menyatu, sehingga dengan menerima hosti saja, kita semua telah menerima Kristus dan menerima keselamatan-Nya.
Pastor T. Krispurwana Cahyadi SJ
HIDUP NO.22 2019, 2 Juni 2019