HIDUPKATOLIK.com – Jatuh cinta merupakan pengalaman luar biasa yang pernah dirasakan manusia. Namun, bagaimana cara memberikan respons terhadap perasaan itu agar dapat mengarahkan kepada relasi yang berkenan di mata Allah?
Tantangan terberat zaman ini adalah menjadi seorang single. Ratusan meme dan kutipan bernada mengejek tentang para jomblo tersebar di media sosial. Banyak yang menertawakan dan tidak sedikit yang merasa terintimidasi dengannya.
Pacaran seolah menjadi kebutuhan primer yang harus dipenuhi. Banyak orang menjadi resah karena statusnya menjadi seorang single. Hal ini menghantar banyak orang terjun bebas kepada relasi yang tidak sehat demi menghilangkan rasa intimidasi dan kesepian semata. Pencarian makna terdalam ketika berelasi pun menjadi hilang.
Apa sebenarnya akar permasalahan banyak orang, khususnya orang muda yang jatuh dalam lubang hitam gaya pacaran tidak sehat? Dan bagaimana menjadi seorang single yang bahagia sehingga mampu berelasi sesuai nilai kekatolikan?
Dimulai dari Rumah
Pendiri Komunitas Domus Cordis, Riko Ariefano menuturkan, akar pacaran tidak sehat terutama datang dari pengaruh keluarga. Pacaran tidak sehat bukan hanya terjadi ketika persetubuhan di luar pernikahan, tetapi grepe-grepe sebelum menikah juga sudah termasuk kelewat batas. Yesus mengatakan, “Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya” (Mat 5:28). “Jadi berlebihan itu bukan cuman soal berhubungan sex, tetapi jauh sebelum berhubungan sex pun dia sudah berzinah di dalam hatinya,” ujar Riko.
Untuk membangun kesadaran dan kepekaan moral yang demikian, maka pertama-tama orangtua harus menjadi teladan iman dan moral untuk anakanaknya. Defisit moral terjadi, karena anak sejak kecil kurang mendapat pendidikan iman dan moral dari rumah. Iman dibentuk melalui kebiasaan menjalin relasi dengan Tuhan dan sesama. Hal yang paling sederhana ialah melihat seberapa sering orangtua mengajak anaknya untuk berdoa bersama.
Terkadang orangtua juga tidak tahu bagaimana menjawab anaknya yang bertanya mengapa harus pergi ke gereja setiap Minggu? atau mengapa harus menerima komuni? Orangtua cenderung lepas tangan untuk menjelaskan dan berharap orang lain akan membantunya untuk menjawab. “Penting banget untuk membentuk pola rasa dan sikap dari anaknya!”
Orang muda yang susah menjalankan disiplin rohani seperti berdoa dan baca Kitab Suci setiap hari disebabkan sewaktu kecil tidak mendapat disiplin dari orangtua. Bisa saja orangtuanya merupakan tipe permisif yang menolerir dan memperbolehkan apapun. Perilaku disiplin yang dibangun sejak kecil, seperti tidur tepat waktu, sebenarnya membantu si anak membangun perilaku disiplin, yang buahnya nati akan lebih mudah bagi si anak untuk menjalankan disiplin rohani.
Selain rumah, anak juga terbentuk dari lingkungan sekolah. Riko mengaku prihatin melihat banyak orangtua Katolik sekarang enggan menyekolahkan anaknya ke sekolah Katolik. Padahal, di sinilah anak mendapat pengajaran iman. “Perilaku menyimpang inilah yang didapatkan, ketika orangtua hanya mementingkan prestasi akademis semata dibandingkan pendidikan iman dan moral. Hasilnya seorang anak yang secara akademis maju, tetapi secara iman dan moral mundur,” tutur suami dari Lia Brasali Ariefano ini.