HIDUPKATOLIK.com – Pengasuh yang baik, anak saya berusia lima tahun. Ia memiliki tubuh paling besar di antara teman-teman TK-nya. Ketika lomba sesama murid TK, seperti memindahkan bola sesuai warna dan memasang benda sesuai bentuk, ia selalu juara. Anak saya bangga pulang ke sekolah sembari membawa piala. Ia selalu bilang kepada saya ingin ikut lomba terus. Nah, satu kali saat open day di sekolahnya, anak saya kembali mengikuti lomba serupa. Namun sayang, ia kalah dan tak dapat piala. Anak saya menangis dan tantrum di depan panggung, teriak-teriak minta bawa pulang piala. Meski akhirnya tangisnya reda, perlu energi dan bujukkan luar biasa agar tangisnya reda. Proses itu pun membutuhkan waktu amat lama. Bagaimana melatih dan memberi pengertian kepada anak untuk bisa menerima kekalahan?
Patricia Riana, Malang.
Ibu Riana yang baik, terima kasih untuk sharing pengalaman ini. Hal pertama perlu disepakati adalah menang-kalah atau berhasil-gagal merupakan bagian dari proses belajar. Siapa pun bisa mengalami situasi tersebut.
Kemenangan atau keberhasilan perlu dialami dan dirasakan anak sebagai pengalaman berharga untuk meningkatkan rasa percaya dirinya. Kekalahan atau kegagalan juga perlu mereka alami untuk melihat kembali hal-hal yang perlu ditingkatkan.
Sebagai orangtua, bisa mengajak anak untuk bermain sambil memberi pengalaman menang dan kalah secara alami, misal, bermain kartu remi, ular tangga, halma, dan bulu tangkis. Silakan melibatkan anggota keluarga lain untuk aktivitas ini. Saat anak menang, berilah apresiasi kepadanya atas kejujuran, kegigihan, dan hal positif lain. Ketika anak kalah, beri penguatan kepadanya bahwa dalam suatu perlombaan, pasti akan ada pihak yang kalah dan menang. Terpenting adalah saat mendampingi anak dengan pengalaman yang tidak menyenangkan, termasuk pengalaman kalah atau gagal, perlu mempersiapkan mental anak dan juga orangtuanya.
Terkadang anak bisa menjadi lebih frustasi saat tuntutan orangtua terus diberikan kepadanya secara intens dan cenderung memaksa. Orangtua juga menginginkan anaknya harus selalu “unggul” tanpa memperhatikan kesejahteraan anaknya sendiri. Kadang ada juga orangtua yang menganggap kemenangan atau keberhasilan anaknya adalah hal biasa dan wajar terjadi, sehingga tak ada apresiasi kepada anak. Dan sebaliknya, ketika anak mengalami kekalahan atau kegagalan, justru banyak ungkapan kekecewaan, kemarahan, rasa malu orangtua yang dilimpahkan kepada anak, yang terkadang berlebihan, sehingga anak makin merasa terpuruk dan bisa jadi meragukan kemampuannya sendiri.
Dalam pendampingan anak saat menghadapi suatu pengalaman adalah tunjukkan empati Anda sebagai orangtua, baik dalam situasi yang menyenangkan maupun menyedihkan. Berempati artinya memahami dan ikut merasakan yang dirasakan oleh anak. Misalnya bisa dengan mengatakan, “Nak, gagal itu memang tidak enak dan Ibu tahu rasanya tidak enak”. Kemudian, bantu anak untuk memahami gunanya kekalahan atau kegagalan. Dengan begitu anak belajar untuk melihat kembali suatu yang kurang untuk diperbaiki. Setelah itu, orangtua bisa membantu anak untuk merencanakan hal-hal yang bisa dilakukan pada kemudian hari. Harapannya anak bisa lebih belajar untuk menyiapkan diri dan menerima bahwa dalam perlombaan atau ujian akan ada pihak menang/kalah, berhasil/gagal.
Penting juga dalam memberi pesan sebelum anak menghadapi sebuah perlombaan atau mengikuti suatu ujian tertentu. Lebih baik berpesan, “Kakak sayang, enjoy perlombaannya ya… santai saja tapi tetap fokus yah,” daripada mengatakan, “Kakak harus menang dan juara satu yah”. Dengan begitu, kita mengajak anak untuk menikmati proses dari berlatih dan menyiapkan segala sesuatu sebaik mungkin, serta mengajak anak untuk merasa rileks dan menikmati kegiatan, tapi juga mengajak anak untuk tetap konsentrasi.
Mari kita terus belajar menjadi orangtua yang baik bagi anak. Dan jadikan anak kita bangga atas dirinya.
Fransisca Rosa Mira Lentari, M.Psi, Psikolog
HIDUP NO.21 2019, 26 Mei 2019