web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Perkawinan Sepupu

5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Dalam beberapa tradisi di Indonesia pernikahan dengan sepupu sah-sah saja. Akan tetapi Gereja melarang praktik tersebut. Apa alasan kuat Gereja sehingga melarang hal tersebut?

Tono, Jambi

Sebelum memberikan jawaban tentang pertanyaan “perkawinan sepupu” itu dilarang oleh Gereja, sebaiknya kita perlu mengenal dahulu mengenai perkawinan sedarah (consaguinitas). Perkawinan sedarah merupakan bentuk perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang masih memiliki hubungan langsung, yaitu relasi satu garis keturunan: ortu-anak, kakek-cucu, atau garis menyamping (colateral line): pernikahan dengan keponakan atau pernikahan antar saudara sepupu.

Menurut ajaran Gereja, perkawinan sedarah semacam ini tidak dapat dilakukan dalam garis lurus maupun garis menyamping sampai tingkat keempat. Hal ini ditegaskan oleh Gereja dalam Kitab Hukum Kanonik: “Tidak sahlah perkawinan antara mereka semua yang mempunyai hubungan darah dalam garis ketururan ke atas dan ke bawah, baik yang sah maupun yang natural” (Kan 1091§1); dan “Dalam garis keturunan menyamping, perkawinan tidak sah sampai dengan tingkat keempat” (Kan 1091§2).

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Pernyataan Hukum Kanonik tersebut bukan tanpa dasar atau sekadar larangan yang dilakukan oleh Gereja tanpa pemahaman medis yang benar. Sebaliknya, pernyataan itu memiliki keabsahan yang didasarkan oleh dunia genetika di mana perkawinan yang dilangsungkan oleh mereka yang berhubungan darah akan menyebabkan penyakit-penyakit genetis. Penyakit-penyakit ini telah terbukti pada banyak orang yang telah melangsungkan perkawinan sedarah. Berdasarkan penelitian, penyakit-penyakit genetis yang sering terjadi adalah cacat bawahan ketika anak dilahirkan, seperti kematian bayi, cacat lahir, kebutaan, kesulitan belajar, gangguan pendengaran dan gangguan metabolisme.

Selain pemahaman dunia genetika, Gereja sendiri melakukan larangan tersebut atas dasar hukum kodrat bahwa perkawinan antara saudara sedarah tidak bisa dibenarkan, lebih-lebih perkawinan saudara sekandung atau perkawinan ayah dan anak perempuan, atau ibu dan anak laki-laki; termasuk juga perkawinan antara kakek atau nenek dengan cucu-cucunya. Sikap Gereja ini tegas dan tidak bisa diubah meskipun ada budaya yang memungkinkan perkawinan sedarah (incest) semacam ini dilakukan. Dengan kata lain, Gereja tidak pernah memberikan kemungkinan untuk melangsungkan sebuah perkawinan yang berhubungan darah satu garis lurus atau dalam garis menyamping tingkat kedua (bdk. KHK kan 1091§4).

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Apabila Hukum Gereja telah menyatakan demikian, “Apakah mungkin perkawinan antara sepupu itu?” Gereja membedakan hukum menjadi dua: hukum Ilahi dan hukum Gereja. Dalam hal perkawinan antar sepupu, larangan perkawinan ini merupakan larangan yang dibuat oleh hukum Gereja (otoritas Gerejawi). Maka, sebagaimana prinsip Gereja, hukum yang bukan dari Allah atau yang dibuat oleh otoritas Gereja masih bisa mendapatkan dispensasi.

Dengan demikian, perkawinan antar sepupu masih mungkin dilakukan. Namun, Gereja tidak serampangan untuk menyatakan perkawinan antar sepupu itu dapat dilaksanakan. Contoh di Indonesia yang paling seringkali terjadi adalah di budaya Batak. Gereja sangat hati-hati dengan perkawinan semacam ini. Gereja tetap menyuarakan supaya perkawinan sedarah tidak dilangsungkan dengan alasan yang telah disebutkan di atas secara medis.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Mereka yang hendak melakukan perkawinan antar sepupu ini memerlukan dispensasi dari uskup (Ordinaris Wilayah). Ini berarti bahwa perkawinan masih bisa dilangsungkan asalkan secara pasti telah dibuktikan tidak ada halangan yang sebaliknya, yaitu ternyata misalnya ada indikasi relasi menyamping tingkat kedua (perkawinan antara saudara kandung).

Meskipun ada kemungkinan perkawinan sepupu masih dilangsungkan, Gereja tetap mengajak agar umat Katolik tidak melakukannya supaya dapat menghindari bentuk-bentuk penyakit yang tidak diinginkan dalam kehidupan anak-anak sebagaimana bukti medis yang telah ditemukan.

Pastor Yohanes Benny Suwito

HIDUP NO.21 2019, 26 Mei 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles