Ini yang saya tekankan: kunjungan keluarga. Kalau pastor paroki tidak pernah melakukan kunjungan keluarga, ia tidak akan tahu masalah keluarga umatnya. Ketika mengunjungi keluarga, imam juga akan melewati tempat-tempat orang yang tidak Katolik. Ia akan melihat masalah orang-orang di sekitar situ. Imam yang kreatif, yang terbuka matanya, akan melakukan karya di situ, tak hanya karena keinginan atau hobi, tetapi bekerja berdasarkan data.
Dia akan melihat komposisi umatnya seperti apa sebelum memutuskan melakukan karya tertentu. Misal, ingin mengembangkan OMK, tetapi di paroki itu sebagian besar anak mudanya pergi ke kota. Yang tinggal kebanyakan anak-anak dan orangtua. Itu berarti ia bekerja tak berdasarkan data. Dalam situasi seperti ini, lebih baik ia mengembangkan pastoral orangtua.
Lebih mungkin bagi imam-imam tarekat untuk melakukan pengembangan karya, terutama yang tak memegang paroki. Kalau di paroki ada Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi yang karya sosialnya banyak sekali, misal ikut membantu daerah yang terkena bencana longsor, hubungan antaragama dan kemasyarakatan , itu kan karya kemanusiaan dan lingkungan hidup. Selain itu ada Komisi HAAK, Keadilan, dan Perdamaian yang juga berkarya bagi kemanusiaan dan lingkungan hidup.
Adakah pengaruh tertentu baik positif maupun negatif, bagi imam itu sendiri, Gereja, dan masyarakat, dari pengembangan karya imam di masyarakat?
Pengaruh, jelas ada. Bila imam berbuat baik, mengerjakan karya sosial, maka akan berdampak bagi masyarakat dan menaikkan nama Gereja. Misal, di Sekolah Mangunan, imam mendidik orang-orang di sekitar itu, lalu orang-orang di sekitar itu boleh jualan. Kalau Mangunan terkenal, daerah di situ juga menjadi terkenal dan banyak dikunjungi, misal untuk studi banding.
Ketika imam itu bekerja maka tidak hanya nama imam itu sendiri tetapi juga membawa nama keuskupan. Tentu nantinya kalau mencoreng nama Gereja, ya berdampak juga bagi Gereja. Paling dekat adalah Gereja di keuskupan tersebut, Gereja Indonesia, dan Gereja secara universal.
Karya ini bisa juga berdampak negatif, misal kalau menangani yang berhubungan dengan uang, imam bisa jadi lupa diri. Mungkin karena karyanya itu berhubungan dengan orang-orang, sehingga lupa pada imamatnya. Bisa seperti itu, meskipun sebenarnya itu karya yang baik. Ada juga yang karena karyanya terlalu sering bersama awam, nanti malah jadi sama awamnya. Memang tidak ada yang salah orang jatuh cinta. Tidak bisa disalahkan karena itu manusiawi. Namun, kembali kepada bagaimana komitmennya masing-masing. Orang jatuh boleh saja. Fatal tidak? Mau berdiri lagi tidak?
Selama karya imam tak mengganggu tugas dan tanggung jawabnya tidak masalah. Untuk imam diosesan, kalau mengganggu, imam itu langsung menyampaikan kepada uskup. Sebab, para imam diosesan merupakan “pembantu” uskup. Nah, seandainya uskup minta bantuan kepada saya, tapi saya tak mau, apakah itu namanya pembantu? Lagipula, pada saat tahbisan, imam berjanji taat kepada uskup dan para penggantinya. Banyak yang lupa ini.
Bagaimana sebaiknya umat mendukung pengembangan karya para imam ini?
Imam muncul dari keluarga. Dari umat kembali ke umat. Imam itu begitu ditahbiskan langsung ke umat. Sepertinya kan umat hanya tahu mendapatkan setelah jadi imam. Tapi tahukah proses menjadi imam itu membutuhkan biaya yang mahal? Bisa ratusan juta untuk seminari tinggi. Maka selain umat membantu dengan doa, ya dukunglah biaya untuk pendidikan calon imam yang tidak kecil itu.
Hermina Wulohering/Yanuari Marwanto
HIDUP NO.21 2019, 26 Mei 2019