HIDUPKATOLIK.com – Hari itu Selasa malam. Tak biasanya kedai kopi Mbak Nung bisa seramai malam itu. Biasanya sekitar jam sepuluh malam kedai itu sudah ditutup. Alasanya macam-macam. Entah karena sepi pengunjung atau memang jualannya ludes terjual. Tapi malam itu, meski sudah pukul dua belas, kedai belum tutup. Rupanya Ratih dan beberapa temannya belum minggat juga. Mereka masih ribut-ribut di situ: Ngobrol, ngopi, sambil tertawa seperti orang kesurupan.
Kata Mbak Nung, malam itu mereka sedang arisan. “Ada yang mau jalan jauh makanya mereka bertemu buat kumpul uang,” begitu katanya.
Aku sendiri sempat menguping pembicaraan mereka. Terdengar Ratih membuatkan sebuah puisi yang menggelikan sekali.
Begini kata sang penyair itu: “Teman-teman, suatu saat nanti, entah tanggal berapa di bulan Juni yang gigil, aku bakal bunuh diri jika cintaku kandas di tengah jalan.” Disambut tepukan tangan yang akbar dari teman-temannya.
Tadinya kukira omongannya itu cuma candaan, sebab selama ini Ratih wanita periang. Pribadinya sangat ekstrovert. Suka berpuisi dan ngelawak. Tapi sejak kemarin setelah melayatnya di rumah sakit, aku baru sadar ternyata ucapannya benar. Ratih mati dengan mulut ternganga berbusa. Ia ditemukan sekarat di kamar kosnya. Oleh tetangganya ia dibawa ke rumah sakit. Namun nyawanya tak tertolong. Kata dokter dia minum kapur barus.
Fenomena itu membuat imajinasiku aktif. Di kampungku kalau ada yang orang bunuh diri karena minum kapur barus atau makan baygon biasanya karena masalah putus cinta atau karena soal utang. Itu saja! Jadi kalau Ratih tiba-tiba mati karena itu, bisa ditebak, pasti ia sedang putus cinta atau utangnya banyak. Tapi aku tak mau menuduh. Ratih teman baikku.
Memang selama ini Ratih digosipkan dekat dengan Wawan, anak Pak RT yang baru keluar sel akibat tawuran dua tahun lalu. Setelah dibebaskan, Wawan menghilang entah ke mana tak seorang pun tahu kecuali Pak RT, ayahnya. Ibunya sudah empat tahun mati karena batuk. Katanya karena tak kuasa menahan asap rokok ayahnya dan batuk sampai meninggal di atas kasur. Mayatnya langsung dikubur di samping rumah pada pagi harinya. Tak ada pilihan lain sebab tanah warisan leluhur ibunya, ludes disita akibat utang bapaknya.
Sebutan Pak RT itu sebenarnya hanya sebuah kenangan. Nama aslinya Nadus. Kebetulan dulu ia pernah mengahadiri sebuah seminar di kantor kelurahan dengan status sebagai utusan RT. Waktu itu ketua RT-nya sedang dinas ke luar kota. Maka dari itu, ia ditunjuk menggantikan Pak RT. Sangkanya ada uang duduk atau ada jatah makan siang. Sejak itu, Nadus dipanggil Pak RT sampai saat ini.
***
“Wawan kapan balik, Pak? Sudah lama pergi. Kirim kabar pun tidak. Aku rindu sekali,” rintih Ratih dengan air mata berlinang pada suatu malam yang dingin.
“Wawan sudah bertobat. Sekarang dia sedang dipindahtugaskan,” jawab Pak Lurah enteng.
Sepengetahuanku Wawan tak punya pekerjaan. Beberapa kali ia ke kota tapi bak kedipan mata, ia lekas pulang karena diteror lawan gengnya di sana. Wawan memang anak yang tak kenal Tuhan, begitu kutuk orang di kampungku.
Aku kenal Ratih sejak SMA. Kebetulan kami sekelas di IPA dua. Dia suka bercanda dan bermental tangguh. Itu makanya aku tak percaya pada ucapannya saban hari itu.