HIDUPKATOLIK.com – “Hari ini kita menyadari bahwa misi memiliki tujuan ganda: membangun Kerajaan Allah dan Gereja sebagai lambang dan pelayannya”. Kalimat Michael Amaladoss SJ ini menunjukkan dua aspek khas teologi Gereja Katolik Asia yang berkembang subur pasca Konsili Vatikan II : Kerajaan Allah dan Gereja yang melayani. Sesudah Konsili, momentum kebangkitan Gereja Asia lahir hingga puncaknya pada Sinode pertama uskup-uskup Asia tahun 1970 di Manila. Dari Sinode inilah lahir FABC, Federation of Asian Bishops Conference.
Dalam Gereja Asia, bukan semangat plantatio ecclesiae yang dibawa, melainkan bagaimana Kerajaan Allah itu sungguh-sungguh diwujudkan. Kerajaan Allah di sini berarti luas : pribadi-pribadi yang digerakkan oleh hati nurani (“Allah yang meraja di hati setiap orang”), serta tata hidup bersama yang dilandasi nilai-nilai Kristiani.
Sementara itu, Gereja hadir sebagai lambang sekaligus pelayan Kerajaan Allah. Gereja adalah pelayan sekaligus penjaga nilai-nilai Kristiani di tengah masyarakat. Kehadiran Gereja secara simbolis dan karismatis memberi penegasan akan hadirnya nilai Kristiani bagi masyarakat sekitarnya.
Gereja yang mampu memberi inspirasi spiritual dan moral kepada sekelilingnya akan menghadirkan buah-buah Roh itu secara nyata: kasih, suka cita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri, kerendahan hati, kesederhanaan, dan kemurnian (Gal 5:22-23).
Sebaliknya, di tengah masyarakat yang mencirikan hal itu, dapat ditemukan jejak pribadi beriman, komunitas, maupun institusi Katolik yang berani berjuang membawa perubahan.
Semangat inilah yang memberi kesaksian di seluruh Asia. Laku hidup keseharian seorang guru, tenaga kesehatan, buruh, petani, hingga umat Katolik biasa memancarkan nilai-nilai Kristiani bagi dunia sekitarnya. Dan demikianlah para perintis iman Katolik dahulu dikenal di Asia. Inilah kesaksian hidup yang sejati. Semangat berkorban, martyria, dalam tingkat apapun tetaplah benih-benih iman yang sejati.
Tantangan Perjuangan Gereja
Namun demikian, dalam interaksi penulis dengan pegiat keadilan dan perdamaian Asia di berbagai forum, sungguh terasa betapa semangat mewujudkan Kerajaan Allah itu perlahan menghilang. Katolisitas bertahan sebagai identitas, namun semakin kabur sebagai etos profetik.
Ada beberapa faktor penyebab: pertama, menurunnya pendidikan iman sehingga jatidiri dan panggilan iman Katolik kurang tertanam dan “menggerakkan” umat. Kedua, menguatnya penghayatan iman ritualistik. Ketiga, lenyapnya agen dan teladan pejuang gerakan sosial Katolik. Keempat, demografi umat Katolik Asia sebagai kelas menengah ke atas yang mapan sehingga relatif kurang peka pada pergulatan sosial. Kelima, melemahnya dukungan donor terhadap gerakan Katolik profetik Asia.
Tidak ada jalan lain selain berusaha kembali menjadi Gereja yang profetik, agar kerajaan Allah kembali bisa hadir di tengah Asia. Menjadi Gereja yang berani menghidupi semangat kenabian lewat tiga dialog khasnya: dialog dengan kemiskinan, keberagaman budaya, dan agama-agama. Hanya Gereja yang berani memperjuangkan nilai-nilai Kristiani, lewat tiga dialog inilah yang mampu menjelmakan kembali masyarakat Asia yang damai, adil, dan lestari.
Mau tidak mau Gereja, terutama hierarki, harus kembali hadir menjadi pelayan bagi semaraknya nilai-nilai Kristiani. Gereja juga harus semakin aktif menjadi penggerak perjuangan keadilan dan perdamaian di berbagai bangsa di Asia. Dalam semangat inilah, perayaan setengah abad FABC di tahun 2020 mendatang, sungguh-sungguh menjadi momen kelahiran kembali Gereja sebagai Kerajaan Allah di Asia.
Cyprianus Lilik Krismantoro Putro
HIDUP NO.20 2019, 19 Mei 2019