HIDUPKATOLIK.com – Menekuni urban farming memang harus punya mental pantang menyerah. Ia katakan, tidak bisa kalau satu, dua kali gagal dan langsung patah arang.
Hamparan sayuran hijau yang tertata rapi menyegarkan mata. Lima tahun sudah kebun hidroponik ini dibuka. Siapa sangka kebun seluas beberapa ribu meter persegi ini adalah milik seorang pria yang telah puluhan tahun menggeluti dalam dunia otomotif.
Gunawan Antono menyelesaikan pendidikannya pada jurusan teknik mesin di Institut Teknologi Bandung, Jawa Barat tahun 1977. Sejak itu, ia terjun ke industri otomotif hingga 17 tahun. Pensiun dari produsen kendaraan asal Jepang itu, ia lalu berwiraswasta, masih dalam dunia otomotif.
Rutinitas Gunawan sedikit “berbelok” pada suatu kali ketika ia mulai memiliki perhatian pada lingkungan hidup. Perhatian inilah yang lalu mengantarnya mendalami dunia hidroponik. Sejak itu, ia mulai menekuni dunia baru ini.
Awal Coba-Coba
Suatu hari, Gunawan melihat sebuah iklan tentang pelatihan hidroponik di sebuah majalah. Awalnya iseng, ia pun nekat mengikuti pelatihan hidroponik itu. Entah bagaimana, usai pelatihan itu, ia merasa begitu tertarik dan berniat mencobanya di rumah. Ia pun membeli starter kit dan mencoba bercocok tanam ala hidroponik di rumahnya. “Waktu itu pertama kali coba dengan bantuan si penjual starter kit itu, berhasil ternyata. Lumayan,” ujar ayah tiga anak ini.
Melihat keberhasilan itu, Gunawan semakin ingin menekuni hidroponik. Usianya tak membatasi semangat belajarnya. Ia mengakui ia selalu memiliki rasa ingin tahu yang lebih. Ia bahkan menemui orang-orang yang berpengalaman dalam dunia hidroponik dan belajar dari mereka. Dari orang-orang yang berbeda ini, ia menganalisa perbedaan cara antara yang satu dengan yang lain dan mengambil mana yang paling baik untuk ia aplikasikan.
Bimbingan demi bimbingan yang Gunawan ikuti, membuatnya mantap untuk menjadi seorang urban farmer. Ia lalu membeli tanah di Parung, Bogor dan membuka kebun sendiri. Awalnya, seluruh kebun itu hanya ia tanami lettuce atau selada. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mencoba menanam jenis tanaman lain. Setengah kebun hidroponiknya kemudian ia tanami dengan tanaman oriental, seperti pakcoy, caisim, kangkung, dan bayam.
Sejak awal, Gunawan mengakui, menjalankan kebun hidroponik tak semudah yang ia pelajari. Ia mengatakan, cuaca, hama, termasuk jamurnya menjadi tantangan yang tak bisa disepelekan. “Ini teorinya gampang, menjanjikan, tapi pada praktiknya tidak gampang,” ujar Gunawan sambil tertawa.
Di hadapan semua tantangan itu Gunawan tidak menyerah. Ia maju terus. Di situ, ia sadar, menekuni urban farming memang harus punya mental pantang putus asa. Tak hanya proses di kebunnya yang mendapatkan hambatan. Pada awal-awal panen, ia bahkan tak tahu harus dikemanakan sayur-sayur dari kebunnya tersebut. Dengan panen melimpah, tak mungkin semua dikonsumsi keluarganya saja. Alhasil, sebagian sayur ia bagi-bagikan kepada teman-temannya. Sejak saat itu, pasokan sayur di rumahnya selalu datang dari kebun sendiri. “Awal-awal ya begitu, saya bagi-bagi. Tidak lama, orang mulai pesan dan kami jual.”
Pemasaran Sayuran
Setelah berhasil dalam budidaya sayuran dengan teknik hidroponik. Tantangan selanjutnya adalah pemasaran. Sejauh ini, Gunawan berhasil memasarkan produk sayurnya ke beberapa café. Tak puas dengan itu, kini ia juga sedang berupaya memasukkan produknya ke supermarket di daerah Bogor.
Jualan di supermarket tidak semudah “membalik telapak tangan”. Gunawan menjelaskan ada dua sistem di supermarket. “Yang pertama, beli putus tetapi harga ditekan dan pembayaran bisa lama. Kedua sistem titip tapi risikonya besar karena kalau barangnya tidak laku, akan dikembalikan ke kita,” jelasnya.
Alasan ini membuatnya lebih memilih menjual langsung ke pembeli. Selain lebih mudah karena disebarkan melalui grup aplikasi pesan instan, pembeli langsung biasanya mengerti bahwa sayur yang mereka beli dari Gunawan adalah yang berkualitas baik. Malah, saat ini ada beberapa pembelinya yang mau menjadi reseller. Mereka membeli dari Gunawan dalam jumlah yang cukup besar, kemudian menjualnya kembali.
Harga jual sayur yang dibanderol Gunawan memang sedikit lebih mahal jika dibandingkan harga sayur di pasar tradisional. Namun, lebih murah dibandingkan dari supermarket. Gunawan mengakui, yang membuat harga sayurnya lebih mahal dari pasar, adalah demi keuntungan. Meski demikian ia katakan, harga tersebut masih bisa dijangkau masyarakat kalangan menengah ke bawah.
Penggunaan Lahan
Gunawan mengatakan, sebenarnya banyak pelatihan yang telah dilakukan dan tidak sedikit yang mengikutinya. Namun, ia menyayangkan, tidak banyak yang mempraktikkan usai mengikuti pelatihan. “Saya lihat di paroki ada juga dibuat pelatihan. Dari antara umat pun ada dua macam. Ada yang punya tanah luas tapi lebih suka beli sayur karena finansialnya bagus, ada juga yang tak punya lahan,” ujarnya.
Banyak orang yang masih mempermasalahkan lahan sehingga tak kunjung memulai. Padahal, menurut Gunawan, lahan bukanlah masalah untuk urban farming. “Yang penting, coba dulu,” tambahnya.