web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Fasilitas dan Gaji Minim, Semangat Membara

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Ada upaya kasih pemerintah meningkatkan fasilitas kesehatan para bidan di pelosok. Gereja diharapkan ambil bagian.

Pemerintah Indonesia sejauh ini sangat memperhatikan sarana dan prasarana rumah sakit. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia nomor 24 tahun 2016 tentang persyaratan teknis bangunan dan prasarana rumah sakit. Dalam pasal 1 ayat 1 disebutkan, bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna.

Perhatian pemerintah ini tidak saja lewat seruan tetapi tindakan kongret. Kala kunjungan Presiden Joko Widodo ke daerah-daerah di Indonesia, Presiden meminta agar Kepala Daerah atau wakil rakyat memperhatikan sarana dan prasarana di setiap rumah sakit daerah hingga rumah sakit yang dikelola swasta termasuk Puskesmas kecamatan, dan klinik-klinik di pedesaan.

Perhatian untuk Bidan
Pemerintah tidak saja menyasar segi pembangunan medis. Kualitas dan kesejahteraan pelayan kesehatan juga tak lepas dari perhatian pemerintah. Tahun 2018 lalu, presiden telah menandatangani dan menerbitkan Keputusan Presiden (Kepres) mengenai pengangkatan 4.153 bidan Pegawai Tidak Tetap (PTT) menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Wakil Ketua Komisi IX, Saleh Partaonam Daulay kala ditemui di Gedung DPR RI, Kamis, 9/5 mengatakan, Komisi IX DPR telah menyetujui Kepres itu. Sebab para bidan di daerah terluar, terpinggir, dan terpelosok adalah tulang punggung penggerak kesehatan masyarakat daerah. Ini kabar gembira bagi para bidan di pelosok-pelosok. “Semoga Kepres ini cepat terealisasi dan kesejahteraan para bidan lebih diperhatikan lagi,” harap Saleh.

Baca Juga:  Buah-buah Sinode III Keuskupan Sibolga Harus Menjadi Milik Seluruh Umat

Diketahui, dari sekian banyak bidan PTT itu, pemerintah akan memprioritaskan bidan yang berusia 35-40 tahun menjadi PNS. Di satu sisi, pemerintah bersama wakil rakyat terus menggodok dan mencari alternatif lain bagi para bidan PTT yang berusia 40 tahun ke atas atau yang telah lama mengabdi. “Ini soal rasa kemanusiaan. Tetapi tentu pemerintah akan terus mengkaji lebih jauh lagi,” ujar Saleh.

Saleh menambahkan terkait rumah sakit milik swasta seperti Gereja atau perorangan, pemerintah tidak terlalu jauh mencampurinya. Ada indepedensi sehingga tidak semua bisa diatur pemerintah. Tetapi pemerintah memiliki tanggungjawab untuk mengharuskan karya-karya kesehatan tersebut sesuai standar operasional kesehatan. Misalkan, sebut Saleh, bangunan dan fasilitas-fasilitas lainnya sesuai Kemenkes.

Segi Preventif
Karya kesehatan Katolik memang sudah sejak lama dirasakan manfaatnya oleh masyarakat umum, khususnya masyarakat yang bermukiman di daerah terpencil. Jauh sebelum pemerintah mampu memberi layanan kesehatan kepada daerah-daerah sulit itu, karya kesehatan Katolik telah ada di sana.

Meski menjadi andalan dalam pelayanan, klinik atau rumah sakit di daerah terpencil berkembang dalam status “waspada” Persoalannya kembali pada ketersediaan dana. Tenaga medis tentu mengharapkan imbalan yang menarik, gaji besar, dan fasilitas. Belum lagi untuk peralatan kesehatan. Rata-rata karya kesehatan Katolik itu belum sanggup menyediakan semua itu.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga Lima Tahun ke Depan

Dari data Persatuan Karya Dharma Kesehatan Indonesia (Perdhaki) disebutkan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, tercatat ada sekitar 40 klinik Katolik yang tutup. Sekitar 100 buah klinik lainnya dalam keadaan memprihatinkan. Dari data yang tercatat, saat ini ada sekitar 415 unit karya kesehatan Katolik di wilayah perhatian Perdhaki.

Dalam Rapat Paripurna Anggota Perdhaki di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, 2016 lalu, Dokter Wasista Budi Waluya yang kalah itu terpilih sebagai Ketua Perdhaki 2016-2020, mengatakan angka ini tentu akan terus bertambah bila klinik-klinik tersebut hanya menekankan pelayanan kepada aspek kuratif dan rehabilitatif. Sementara segi preventif masih sangat minim. Meningkatkan kemampuan pasien, klien, dan kelompok-kelompok masyarakat agar secara mandiri mencegah penyakit itu sebuah pekerjaan yang sulit.

Dari hasil analisa, Perdhaki juga menemukan kurangnya promosi kesehatan yang berorientasi kepada klien bukan saja orang sakit tetapi juga orang sehat.

Waluya setuju bahwa peningkatan kapasitas dinamis karya kesehatan Perdhaki dalam membangun kesehatan masyarakat harusnya diterima dari kalangan klerus, biarawan-biarawati, lembaga sosial masyarakat di lingkungan Gereja.

Perlu Terobosan
Kendati karya kesehatan Katolik memprihatinkan, tetapi nyatanya masih banyak bidan lulusan terbaik lebih ingin berkarya di unit karya kesehatan milik Gereja Katolik. Hal ini diakui oleh Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia, Emi Nurjasmi. Dalam pesan singkatnya, Emi mengatakan hal ini karena beberapa Rumah Sakit Katolik atau klinik hingga saat ini menerapkan terobosan baru “sisters hospital”. Rumah Sakit Katolik yang kuat membantu yang masih kecil di daerah pedesaan. Bantuan bisa berupa pengiriman tenaga profesional yang langka dan bantuan bimbingan manajemen.

Baca Juga:  Buah-buah Sinode III Keuskupan Sibolga Harus Menjadi Milik Seluruh Umat

Selain itu, Emi menjelaskan, di wilayah-wilayah terluar, banyak keuskupan, paroki atau tarekat yang telah membentuk holding company yang mengefisiensikan tenaga profesional, peralatan medis, dan obat-obatan. “Inilah yang masih menjadi kekuatan karya-karya milik swasta baik perorangan atau Gereja,” sebut Emi.

Hal ini dialami bidan Maria Koten yang saat ini bertugas di Klinik St Monika, Kabupaten Memberamo Raya, Papua. Sejak lulus dari Akademi Kebidanan tahun 2013, ia lebih memilih berkarya di klinik atau rumah sakit milik Gereja. Bukan perkara gaji besar atau kecil tetapi semangat yang mau dibangun di rumah sakit milik Gereja.

Bertugas di tempat lain tentu kesejahteraan akan terjamin karena difasilitasi pemerintah. Tetapi soal rasa aman tentu sangat berbeda. Bekerja, kata Maria, bukan mencari menjadi orang kaya tetapi agar bahagia. Rasa aman dalam pekerjaan dan persaudaraan itu yang paling utama. “Saat ini banyak orang berusaha mengejar kekayaan lewat profesi kebidanan tetapi kalau tidak bahagia, untuk apa bekerja?” imbuhnya.

Yusti H. Wuarmanuk
Laporan: Willy Matrona/Odorikus Holang/Richie Steven

HIDUP NO.20 2019, 19 Mei 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles