web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Kisah Pahlawan tanpa Pendamping

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Di pelosok-pelosok Nusantara, mereka melayani dalam kesendirian. Tugas ini dilaksanakan sebagai solidaritas kepada orang sakit yang membutuhkan pertolongan.

Penampilannya sederhana, tapi penuh energik. Begitu kesan pertama saat bertemu sosok Agata Kandingo, bidan desa yang kini bertugas di distrik Mandobo, Boven Digoel, Tanah Merah, Papua. Sudah 10 tahun, Agata menjadi bidan di Distrik Mandobo di mana lima desa berada yaitu Desa Ampera, Mariam, Mawan, Persatuan, dan Desa Sakonggo.

Di kalangan anak-anak Mandobo, ia mendapat julukan “tukang suntik”, panggilan kesayangannya ini sehubungan dengan perannya sebagai bidan. Sudah banyak anak daerah itu yang menjadi “korban suntik” Agata. “Baru tiba di ujung kampung, anak-anak akan berteriak awas ‘tukang suntik’ datang. Mereka berteriak sambil berlari dan bersembunyi,” kisah Agata.

Anak-anak di Distrik Mandobo sudah mengetahui jadwal kunjungannya. Setiap tanggal 5-10 setiap bulan, Agata datang memberi pelayan kesehatan kepada masyarakat. Pada saat itu, anak-anak lebih memilih pergi ke hutan untuk berburu atau berkebun. Mereka takut bila disuntik. “Jadi kalau saya di kampung itu ada anak-anak yang malas makan atau nakal, mama-mama mereka memanggil saya dan anak-anak langsung makan,” tuturnya.

Baca Juga:  Buah-buah Sinode III Keuskupan Sibolga Harus Menjadi Milik Seluruh Umat

Menyelamatkan Nyawa
Awalnya, adalah Almarhum Pastor Gerardus Ohoduan MSC yang berikhtiar mencari seorang bidan yang rela melayani di daerah sekitar Paroki Hati Kudus, Tanah Merah, Keuskupan Agung Merauke. Setelah beberapa saat mencari, ia pun bertemu Agata. Putri asli Papua itu baru saja lulus dari Akademi Kebidanan Sukawati Lawang, Malang, Jawa Timur.

Bagi Agata, sebenarnya mengikuti ajakan Pastor Gerard bukan satu-satunya pilihan. Saat itu, ada kemungkinan lain yang lebih menggiurkan yaitu menjadi bidan berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Apalagi, salah satu alasan kenapa ia pulang kampung adalah ingin mengikuti seleksi menjadi bidan abdi negara. Baginya, kemungkinan lolos ujian PNS terbuka lebar karena ia termasuk putra daerah.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga Lima Tahun ke Depan

Namun, pada akhirnya Agata memilih melayani Gereja. Tahun 2010, ia mulai ditugaskan paroki sebagai bidan untuk lima desa di Distrik Mandobo hingga kini. Sejak itu, meski berdomisili di Desa Ampera, ia juga bertangungjawab melayani empat desa lainnya. Situasi ini dilakoninya karena belum ada bidan desa yang ditugaskan di situ. Ia menuturkan, dulu pernah ada, tetapi bidan berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) itu lebih banyak menghabiskan waktunya di Boven Digoel dan akan bertolak ke Distrik Mandobo hanya bila ada sesuatu yang mendesak.

Agata bercerita, kendati jauh dari harapan, ia tidak pernah kesepian. Ia bahkan menikmati dan tertantang menolong kebiasaan persalinan berisiko yang masih dilakoni masyarakat. Ia mencontohkan, memotong tali pusar bayi dengan pisau dapur sampai pecahan kaca itu biasa terjadi di masyarakat pedalaman.

Karena kurangnya pemahaman kesehatan ibu dan bayi, tak jarang terjadi pendarahan berlebihan saat melahirkan. Apalagi masih memegang tradisi, bila ibu melahirkan harus di luar rumah. Ada mitos yang berkembang, darah bayi tidak boleh mengotori rumah. Bila itu terjadi, ada kepercayaan mereka akan mengalami nasib buruk. Banyak ibu memilih melahirkan anaknya di bawah pohon, di pinggir sungai, atau di pondok kebun mereka. Ibu dan bayi boleh kembali bila keduanya benar-benar bersih. Proses ini bisa dilakoni selama seminggu.

Baca Juga:  Buah-buah Sinode III Keuskupan Sibolga Harus Menjadi Milik Seluruh Umat

Pengalaman Agata ini mirip apa yang dialami Suster Priska KFS, bidan berstatus biarawati yang saat ini bertugas di klinik milik Keuskupan Agats-Asmat. Ia senang bisa membantu menyelamatkan dua nyawa sekaligus yaitu ibu dan anak. Suster Priska mencermati, satu kendalanya adalah kurangnya tenaga medis. Sebenarnya pemerintah sudah memperhatikan dengan hadirnya dokter, perawat, bidan, serta mantri desa, tetapi masyarakat belum terbuka menerimanya.

Beberapa kali keuskupan mengusahakan pendekatan-pendekatan personal, akhirnya masyarakat mulai peduli pada kesehatan. Alhasil seiring berjalannya waktu, tenaga medis juga bisa leluasa melayani orang sakit.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles