HIDUPKATOLIK.com – Tak hanya merawat tradisi, Sedekah Bumi juga menyatukan umat dan menyemai persaudaraan dengan masyarakat sekitar.
Gereja St Servatius Kampung Sawah, Bekasi amat berbeda, Minggu, pertengahan Mei lalu. Altar berhias hasil bumi, seperti buah-buahan dan sayur-mayur. Banyak umat yang datang mengenakan busana Betawi. Lagu-lagu yang dinyanyikan dalam Perayaan Ekaristi pun berirama daerah itu.
Tiap 13 Mei, Paroki Kampung Sawah merayakan Sedekah Bumi sekaligus pelindung gereja, St Servatius. Lantaran tanggal tersebut jatuh pada hari Senin, maka paroki memajukan jadwal acara tersebut. Tahun ini, acara itu mengusung tema “Sedekah Bumi Membawa Hikmat”. Misa diadakan secara konselebrasi. Selebran utama adalah Kepala Paroki Kampung Sawah Pastor Yohanes Wartaya Winangun SJ, dan didampingi Pastor Ferdinandus Tuhu Jati Setya Adi SJ .
Dalam khotbah, Pastor Wartaya sempat menyinggung tentang tradisi tersebut. Sedekah Bumi diadakan oleh Paroki Kampung Sawah sejak 1935. Tradisi yang terus dipertahankan hingga kini merupakan ungkapan syukur atas hasil bumi yang mereka terima. Acara ini juga mengajak seluruh umat untuk berkumpul dan bergembira besama atas berkah yang mereka terima.
Tak Sekadar Pesta
Ketua panitia, Adrianus Wisnu Kurniawan, menyebut Sedekah Bumi tak hanya berupa pesta rakyat di area gereja. “Paroki Santo Servatius sebagai bagian dari KAJ turut menjalani Tahun Berhikmat. Maka, salah satunya kita mengadakan kerja bakti membersihkan makam. Sehingga kita berkontribusi untuk masyarakat luas juga,” ungkapnya.
Usai Misa, umat menikmati pesta rakyat Sedekah Bumi. Setiap lingkungan diberi tempat untuk menyediakan makanan tradisional dan minuman. Setiap umat bisa mengambil penganan itu secara gratis. Sembari menikmati camilan, umat disuguhkan berbagai hiburan. Lokasi acara yang tiap tahun digelar di depan gereja, kali ini diadakan di amfiteater di belakang rumah ibadah itu. Tujuannya untuk menghormati umat Islam yang sedang menjalani ibadah puasa.
Ada satu aktivitas yang menjadi kekhasan dan magnet acara Sedekah Bumi yakni ngaduk (mengaduk) dodol Betawi. Dodol merupakan penganan terbuat dari tepung ketan, santan kelapa, dan gula merah. Kadang campilan ini dicampur dengan buah-buahan, seperti durian atau sirsak. Makanan ringan itu dibungkus daun ( jagung), kertas, dan sebagainya.
Dodol dalam Sedekah Bumi dimasak dengan menggunakan kuali dan tungku besar serta memakai kayu api. Pastor dan sejumlah umat tertarik untuk ngaduk dodol.
Menurut Wisnu, mereka yang ngaduk dodol adalah umat dari suku Betawi. Hal ini juga disampaikan oleh tokoh umat sekaligus masyarakat setempat, Martin Napiun. “Kami dari keluarga besar Napiun, ada juga dibantu teman-teman. Kami juga memiliki riwayat setahun sekali sering mengadakan ini (pembuatan dodol),” ungkapnya.
Martin menjelaskan nilai-nilai yang terdapat dalam pembuatan dodol. Menurutnya, ada semangat persaudaraan dalam pembuatan penganan itu. Dodol dibuat secara bergotong-royong. Begitu jadi, makanan itu dinikmati bersama.
Membuat dodol, lanjut Martin, memakan waktu tak sebentar, menuntut kesabaran dan ketelitian. Sehingga demi mendapatkan hasil optimal tak bisa dikerjakan seorang diri. Bila ada umat yang letih, maka akan segera digantikan oleh umat lain. Karena itu, mereka yang membuat dodol harus peka dan sigap bila ada rekannya yang kelelahan. Mereka harus menggantikan posisi dan peran orang itu agar bisa beristirahat.
Tantangan lain dalam membuat dodol adalah tak boleh berhenti selama ngaduk makanan tersebut. Bagi Martin, hal itu punya makna filosofi bahwa hidup harus terus berjalan, tidak boleh menyerah.
Proses ngaduk dodol dalam Sedekah Bumi, sambung Martin, dimulai sejak Sabtu sore. Semua bahan dibuat secara tradisional. Ini yang membuat dodol mampu bertahan hingga berbulan-bulan tanpa pengawet. “Ini ada filosofinya juga bahwa sesuatu yang dibuat melalui proses lama, yang menuntut kesabaran serta disikapi dengan perilaku yang manis akan menghasilkan sesuatu yang memuaskan (awet),” jelasnya.
Selain itu, menurut Martin, dodol memiliki makna kebersamaan. Dalam hubungan bermasyakarat harus kenyal (lengket) di mana satu warga dengan yang lain memiliki kedekatan secara lahir dan batin tanpa memandang suku, agama dan ras. Rasa dodol yang manis artinya kebaikan-kebaikan yang kita berikan kepada orang lain harus diwujudkan secara manis tanpa ada unsur saling menyakiti, menghina, serta kedengkian.
Lintas Agama
Acara Sedekah Bumi di Gereja St Servatius juga dihadiri oleh tokoh dan masyarakat lintas agama. “Acara Sedekah Bumi adalah acara yang sangat menarik agar perbedaan agama bukan berarti membuat kita semakin jauh dan bermusuhan. Sebab, agama adalah keyakinan individu. Menjaga kesatuan dan persatuan adalah kewajiban setiap warga negara,” ujar KH Muqorrobin dari pesantern Al-Aziz.
Muqorrobin berharap, terutama kepada kaum muda, untuk menciptakan kerukunan dan perdamaian dengan sesama. Ia juga meminta kepada mereka agar tak lengah dari upaya oknum-oknum tertentu yang memainkan isu agama untuk mengikis persatuan.
Acara Sedekah Bumi ditutup dengan doa bersama yang dibawakan oleh tiga pemuka agama yakni Islam, Katolik, dan Protestan. Mereka memohon agar Indonesia tetap damai selamanya.
Raimundus Brian Prasetyawan/Elisabeth Febriani B. W/Theodorus Adriel M. G.
HIDUP NO.22 2019, 2 Juni 2019