HIDUPKATOLIK.com – Keterbatasan telah melahirkan ide segar untuk memperjuangkan kehidupan ekonomi umat.
Lalu lintas perpindahan orang dan barang amat pesat ketika suatu perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan hasil hutan dan petrokimia masuk ke Kepulauan Sula, Maluku Utara. Banyak orang dari luar Maluku Utara datang dan menetap di sana untuk mencari sesuap nasi. Namun, semenjak perusahaan tersebut dicabut izin beroperasinya oleh pemerintah sekitar tahun 2008, banyak masyarakat menjadi luntang-lantung hidupnya. Perusahaan ini dilarang bergerak karena sumber daya kayu semakin menipis.
Kenyataan ini berimbas pada kehidupan umat Paroki St Maria Immaculata Falabisahaya, Mangole Utara, Kepulauan Sula, Maluku Utara. Dahulu paroki ini dikenal sebagai paroki transmigran karena banyaknya pendatang dari seluruh Indonesia. Kini, gerak paroki terhitung lesu. Umat paroki yang dulu adalah pembesar perusahaan, kini tinggal mantan pekerja. Paroki harus berjuang keras menghidupkan gereja agar tidak terus menerus berada di posisi mati segan hidup tak mau. Untuk itu, program pemberdayaan ekonomi umat menjadi prioritas utama paroki.
Saat ini umat berjumlah 504 jiwa terdiri dari 91 keluarga. Dari jumlah itu terdapat 20-an anak muda. Akibat ditutupnya perusahaan besar di sana, sebagian besar umat bekerja sebagai petani kebun, tukang bangunan serabutan, nelayan, dan petani kopra. Harga kopra yang dulu menjadi primadona kini mengalami penurunan harga. Harga kopra per satu kilogram hanya dihargai Rp 1500 dari Rp 5000. Hidup semakin susah.
Kekurangan lapangan pekerjaan mendorong kaum “bapa paroki” (bapak) untuk membuat semacam pusat cetak batu bata (tela) untuk dipasarkan ke toko bangunan. Kepala Paroki Falabisahaya, Nelis Openg mengapresiasi usaha ini. Banyak tenaga pekerja dapat diserap sebanyak dua hingga tiga orang setiap harinya. Setiap batu bata dihargai Rp 2800.
Tidak berhenti di situ, paroki juga mulai menggunakan aset paroki berupa kebun untuk diolah bagi umat. Kebun paroki memiliki luas sekitar delapan hektar di dua tempat. Berjarak sepuluh kilometer dari pusat paroki. Untuk mencapai kebun, umat harus mendaki dengan kondisi tanah amat licin dan tidak bisa dijangkau oleh moda transportasi. Jika hujan turun, rute tidak bisa dijangkau. Walaupun dengan medan sulit, pengolahan kebun sudah dilakukan sejak tahun 2016. Kebun paroki diolah menjadi kebun cengkeh, pala, durian, dan pisang. “Kita memilih investasi tanaman jangka panjang supaya di kemudian hari pastor yang menggantikan saya sudah bisa mandiri karena kondisi keuangan sekarang sulit,” tuturnya.
Pastor Nelis menemui kesulitan menjalankan program ini karena tidak semua orang mau berkerja di kebun. Bagi beberapa umat, pekerjaan kebun sangat berat dengan konsekuensi harus memikul hasil kebun dengan tenaga yang lumayan akibat akses susah. Tidak hanya menempuh perjalanan sulit, mereka juga harus rela menginap di kebun dan makan seadanya dengan ubi dan jagung. Namun, sebagian umat tetap optimis dengan program ini terlepas tantangannya.
Demi memudahkan pengolahan, Pastor Nelis membagi tanah yang seluas lima hektar menjadi beberapa bagian untuk diolah. Tiap satu wilayah akan mengolah 80 meter kebun. Hasil kebun ini akan dijual ke pasar di Bitung dan Ternate. Tahun lalu, 1 kg cengkeh dijual dengan harga Rp 87.000. Sedangkan Pala laku sekitar Rp 40.000 per kilogram. “Kita buat perjanjian jika misalnya dikemudian hari sudah berhasil, kita bagi keuntungan 60% untuk wilayah lalu 40% untuk paroki,” ujar kelahiran Manggarai Timur ini.
Meskipun diterpa berbagai kesulitan dana, tenaga, dan semangat, Pastor Nelis mengaku tidak pernah patah arang. Baginya, umat paroki adalah bagian dari hidupnya. Ia selalu pergi lebih dulu dan menemani umat yangberkebun sebagai bentuk dukungan nyatanya. “Tidak bisa hanya bersabda tanpa melakukan. Tindakan nyata perlu dilakukan karena itulah bentuk saya mencintai dorang yang hidup ditengah keterbatasan,” pungkasnya.
Felicia Permata Hanggu
HIDUP NO.19 2019, 12 Mei 2019