HIDUPKATOLIK.com – Di Indonesia, CSR sering salah dipahami. Kalau dijalankan dengan baik, CSR mampu berperan besar dalam mengentaskan kemiskinan.
Kepedulian sosial telah menjadi satu bagian penting dari setiap perusahaan. Corporate Social Resposibility (CSR) adalah satu bagian dalam perusahaan yang berperan mengatur setiap kegiatan sosial ini. Namun, di Indonesia, pelaksanaan CSR masih belum maksimal. Bagian ini masih perlu dikaji lebih lanjut.
Maria Rosaline Nindita Radyati berupaya mengadakan berbagai penelitian tentang CSR dan social entrepreneurship. Ia mendirikan Program Studi Magister Manajemen (MM) CSR. Program ini menjadi yang pertama di Indonesia dan Asia Pasifik.
Kontribusi Akademis
Saat lulus dari perguruan tinggi, Nita demikian ia disapa, termasuk dalam tiga besar mahasiswa dengan nilai tertinggi. Karenanya, ia ditawari menjadi dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti pada tahun 1990. Tawaran ini pun ia terima. Setelah menjadi dosen, ia berkeinginan untuk berkarya dalam lembaga pusat studi. Menurutnya, melalui pusat studi, Nita bisa mengaplikasikan teori ke dalam praktik. Ia percaya, bahwa ilmu tidak akan berguna jika tidak diterapkan untuk mempermudah kehidupan manusia.
Sebelas tahun bekerja sebagai dosen, Nita diangkat sebagai Kepala Center for Entrepreneurship Change and Third Sector (CECT). Untuk semakin memperdalam pengetahuannya, ia melanjutkan pendidikan sampai mendapat gelar Doktor di
University of Technology Sydney, Australia dan lulus pada tahun 2004.
Selama menjalani pendidikan ini, Nita tergugah dengan sebuah pertanyaan dari Ford Foundation. “Bagaimana institusi akademis bisa berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan?” tuturnya.
Sebagai jawaban atas pertanyaan ini, Nita merintis Program Studi MM-CSR. Dengan kapasitasnya sebagai Kepala CECT Universitas Trisakti, awalnya ia dipercaya mengelola dana hibah yang berasal dari yayasan yang berpusat di Amerika Serikat itu. Ia mengingat, untuk mendapat kepercayaan ini, ia harus bolak balik Jakarta-Sydney untuk melakukan riset.
Praktis, Nita mengawali semua dari “nol”. Ia merekrut pegawai, menjalankan training dosen, menyusun sistem akademik, dan marketing. Semua itu dilakukannya disela-sela kesibukannya sebagai mahasiswa doktoral.
Nita mendapatkan kenyataan, seluruh kegiatan CSR di Indonesia masih belum holistik. Akibatnya, program ini hampir tidak memiliki dampak. Berdasarkan fakta tersebut, diajukan proposal pendirian sekolah CSR di Indonesia. Tahun 2006, proposalnya disetujui Ford Foundation untuk empat program; melakukan riset CSR, menyelenggarakan training dan seminar, publikasi mengenai CSR berkelanjutan, serta mendirikan Program MMCSR.
Program MM-CSR
Tahun 2007 lahir program MMCSR Universitas Trisakti. Di beberapa kampus lain di Indonesia, CSR diberikan sebagai mata kuliah. Mayoritas mahasiswa MMCSR merupakan level manajerial seperti CEO, komisaris, atau pemilik perusahaan. CSR memang berada pada level strategis. Ratusan alumni MMCSR kini menjadi praktisi CSR yang tersebar di berbagai perusahaan dan organisasi.
Nita mengatakan, kurikulum MMCSR disusun dengan model akademik praktis yang mengacu pada teori dan International Organization for Standardization (ISO) 26000, tentang social responsibility. Kurikulum ini telah disepakati di 162 negara dan dipadukan dengan riset-riset, serta diskusi dengan para profesor dari berbagai negara. “CSR Tools ini berfungsi sebagai panduan praktis bagi mahasiswa dalam menyelesaikan kasus di lapangan atau mendesain sebuah program CSR,“ jelas Nita.
Setiap tahun, CECT sebagai pengelola MMCSR mengadakan survei untuk mengevaluasi manfaat dan dampak pendidikan. Nita mengungkapkan, perubahan utama yang dirasakan mahasiswa adalah thinking system yang mereka bawa ke perusahaan. Mereka mengadakan kebijakan CSR sesuai SOP atau memperbaiki SOP yang telah ada.
Di Indonesia CSR sering salah dipahami. Nita menjelaskan, CSR identik dengan bakti sosial atau pemberian donasi. CSR tidak menjadi kebijakan strategis perusahaan, seolah hanya menjadi kebijakan residu, yaitu alokasi sisa laba. “Banyak perusahaan yang kiss and run, sekali membantu, selesai. Tidak menciptakan kemandirian masyarakat, tidak efisien, bahkan tanpa sadar justru menciptakan mentalitas meminta,” papar Nita.
Perusahaan-perusahaan di Indonesia mulai berupaya menerapkan CSR sejak dikeluarkannya UU No 40 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Negara BUMN No 4/2007. Perusahaan diwajibkan untuk melakukan kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Empat persen laba perusahaan harus diperuntukkan bagi program kemitraan dan bina lingkungan.
Paradigma CSR
Nita menemukan sebuah fenomena, bahwa dana yang dialokasikan perusahaan untuk CSR sangat besar, mencapai miliaran rupiah. Bahkan, salah satu BUMN menyiapkan dana Rp 400 miliar per tahun. “Persoalannya, perusahaan yang melakukan CSR masih bisa dihitung dengan jari,” ujarnya.
Mengingat besarnya potensi dana yang dialokasikan perusahaan untuk kegiatan CSR, Nita berkeyakinan, dana CSR di Indonesia jika dikelola secara benar akan sangat strategis dalam menciptakan kesejahteraan dan mengentaskan kemiskinan di masyarakat. Bila merujuk pada Sustaina ble Development Goals (SDGs) 2030, masa depan keberlangsungan masyarakat akan banyak dipengaruhi oleh CSR. Perusahaan besar maupun kecil nantinya akan sangat terdampak bila menolak untuk melakukan CSR dengan baik.
“Perusahaan besar terutama yang memerlukan investor asing, harus mengikuti tren internasional, SDGs. Jika tidak, tak ada yang mau beli sahamnya sehingga mereka tidak bisa melakukan ekspansi usaha. Sementara perusahaan kecil di daerah misalnya, jika tidak peduli dengan masyarakat di sekitarnya, lama-lama akan diprotes karena tidak memberi manfaat dari keberadaannya. Protes ini akan mengganggu kelancaran produksi,” lanjutnya.
Nita menambahkan, tujuan akhir CSR adalah mengurangi gangguan bisnis. Dalam praktiknya, banyak CSR tidak ditujukan untuk mitigasi risiko. Perusahaan tidak mengerti mengapa sudah banyak mengeluarkan uang untuk CSR, namun masih sering diprotes oleh masyarakat setempat. Nita menekankan, pentingnya merancang CSR yang dikaitkan dengan strategi mitigasi risiko.
CSR yang benar, kata Nita, adalah tanggung jawab seluruh divisi dan merupakan kegiatan di awal kegiatan bisnis, bukan kegiatan di akhir tahun setelah perusahaan memperoleh profit. Justru CSR yang benar dilakukan di awal saat perencanaan bisnis. Jika CSR dilakukan dengan benar maka mudah mengukur keuntungan yang dihasilkan dari CSR.
Nita sangat gigih mengawal agenda pembangunan berkelanjutan di Indonesia dengan menelurkan praktisi-praktisi CSR yang mumpuni. Ia mengaku, kepuasan terbesar dari kiprahnya di dunia CSR selama ini adalah ia mampu membantu masyarakat banyak melalui sektor swasta. “Mimpi saya sejak awal mendirikan program studi ini, saya ingin sektor swasta dapat membantu meningkatkan kesejahteraan komunitas di sekitarnya dengan cara-cara yang sustainable,” tutur umat Paroki Maria Bunda Karmel Tomang, Jakarta Barat ini.
Maria Rosaline Nindita Radyati
Lahir : Malang, 30 Agustus 1967
Suami : Tony Simmonds, MBA
Anak : Albert Agung Arditya dan Benedictus Billy Brilianditya
Pendidikan :
– Sarjana Ekonomi – Universitas Trisakti (1990)
– Magister Ekonomi – Universitas Indonesia (1996)
– Executive Education – Massachusetts Institute of Technology, Sloan School of Management, Boston, Amerika Serikat (2010)
– Doctor of Philosophy – University of Technology Sydney, Australia (2011)
Frater Benediktus Yogie Wandono, SCJ
HIDUP NO.19 2019, 12 Mei 2019