HIDUPKATOLIK.com – Bagi masyarakat Jakarta, melimpahnya air hujan kiriman kerapkali menjadi ancaman serius. Tak jarang juga menimbulkan korban terutama warga yang tinggal di bantaran-bantaran kali atau hunian yang rendah. Oleh karena itu pula, umat di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), sejak beberapa tahun lalu diajak untuk bersama-sama melakukan gerakan yang dapat mengurangi bahaya banjir akibat luapan air. Umat dihimbau untuk membuat lubang-lubang serapan atau biopori-biopori di tempat tinggal masing-masing yang masih memiliki lahan atau pekarangan rumah. Bahkan, di pekarangan gereja paroki pun umat bersama-sama melakukan pengeboran tanah.
Tujuannya jelas, agar air hujan yang melimpah tidak segera mengalir ke tempat yang lebih rendah melainkan masuk dan teresap dalam lubang-lubang tersebut. Lubang-lubang biopori tersebut tidak hanya untuk menampung air hujan tetapi dapat juga diisi dengan sampah-sampah rumah non plastik. Sampah-sampah itu dapat dicecah kecil-kecil lalu dimasukan ke dalam lubang-lubang biopori. Kelak sampah itu akan membusuk dan membantu menyuburkan tanah pekarangan yang pada waktunya bisa ditanami dengan tumbuhan yang mudah dipelihara.
Gerakan biopori ini sepertinya tampak kecil namun jikalau semua umat melakukannya, dan diikuti oleh umat di keuskupan lain, yang mengalami persoalan serupa, maka gerakan ini akan menjadi salah satu upaya konkret kita menyelamatkan bumi dari kerusakan yang lebih fatal. Dengan demikian, air hujan yang melimpah tidak terbuang sia-sia namun ‘disimpan’ atau dikembalikan ke dalam tanah sekaligus menjaga agar permukaan tanah tidak semakin menurun.
Secara tidak langsung, melalui gerakan ini, umat mengimplementasikan seruan Bapa Suci Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’. Dalam ensiklik ini, Paus dengan tegas meminta umatnya untuk peduli pada lingkungan hidup. Bahkan Bapa Suci mengajak umat di seluruh
dunia melakukan pertobatan ekologis karena keserakahan manusia, tidak mau merawat bumi ini sebagai ibu bersama yang memberikan kehidupan bagi semua makhluk.
Tentu saja di dalamnya termasuk bagaimana memaksimalkan air hujan. Untuk daerah-daerah tertentu air hujan menjadi satu-satunya tumpuan harapan. Untuk itu dibangun
waduk-waduk yang mampu menampung air hujan sedemikian banyak, kemudian dimanfaatkan untuk kebutuhan yang maksimal. Entah untuk keperluan pengairan persawahan (irigasi), ladang, perikanan maupun keperluan dan pengadaan air bersih untuk dikonsumsi masyarakat luas.
Kita tahu bahwa, pengadaan air bersih juga masih menjadi persoalan amat serius bagi sebagian masyarakat, tidak hanya di perkotaan tapi juga di desa/pelosok. Keprihatinan ini pula yang mendorong seorang imam di Jawa Tengah melakukan penelitan terhadap air hujan. Sejauh manakah air hujan ini dapat dimanfaatkan alias boleh dikonsumsi setelah melalui ujicoba laboratorium sederhana. Hasilnya? Upaya ini mendapat perhatian dari pelbagai kalangan, tak hanya dari Perguruan Tinggi dalam negeri tetapi juga dari Perguruan Tinggi dari luar negeri. Dengan begitu, limpahan air hujan tidak terbuang, tetapi menjadi berkah bagi banyak orang, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup kita.
HIDUP NO.24 2019, 16 Juni 2019