web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Wanita di Depan Pojok Pagar Rumah

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Sore itu, hujan mulai reda. Sisa tetesannya membasahi jendela kamarku. Kicauan burung merdu terdengar di bawah rintikan hujan. Aku menatap ke arah depan rumah. Seorang wanita berdiam diri di depan pojok pagar rumahku dengan payung hitam yang membentengi tubuh kurusnya dari tetesan air hujan. Ia berdiri dengan pandangan penuh harapan dan pertanyaan ke arah rumahku.

Kupukul keningku dan menghela nafas panjang, menenangkan denyut jantungku yang tak karuan karena melihatnya. Jika menuruti kata hati, aku tak sanggup melihatnya dan ingin membukakan pintu, dan mempersilahkan wanita itu masuk ke rumah. Namun ada hati yang harus kubentengi, yaitu hati ayah yang terluka.

Kualihkan bola mataku kepada ayah, laki-laki tangguh yang kuhormati dan kujaga itu tekun memencet keyboard laptopnya. Sesekali, ia melayangkan pandangannya ke arahku dan menyunggingkan senyumnya. Senyum yang terlihat lesu namun menggenggam sejuta rindu.

Wanita itu kerap kali berdiri di tempat yang sama, sejak aku berusia delapan tahun. Membuat diriku tak sanggup membenamkannya dari ingatanku. Terukir dengan jelas peristiwa perdana, saat wanita itu berdiri di depan gerbang. Ia meminta agar pintu dibukakan baginya. Tapi ayah memarahinya dan mengusirnya dengan kata-kata kasar dan tak sopan untuk telinga seusiaku. Jarang sekali aku melihat ayah segusar itu pada seseorang.

***

“Jhon masuk, jangan pernah kau gubris wanita itu!” Kata ayah seraya menarik lengan bajuku.

Wanita itu merunduk dan meneteskan air mata yang tidak bisa dibendungnya. Sorotan matanya memancarkan kerinduan mendalam. Ada kepedihan yang mewarnai wajah indahnya.

Bagiku, wanita yang berdiri di sana itu, bukan seseorang yang harus dilempari dengan kata-kata kasar dan tajam.

“Siapa wanita itu, Yah?” Tanyaku penasaran.

Sedikitpun tak kutangkap maksud jahat pada bola mata wanita itu. Namun, cara Ayah bersikap kepadanya membuatku terus bertanya-tanya. Apa kira-kira yang membuat Ayah memperlakukan wanita itu seperti ini? Sedangkan Ayah sendiri sering mengajariku untuk meng ampuni sesama. Ada apa gerangan yang terjadi pada wanita itu?

“Ia kedinginan, Yah. Masa Ayah tega melihat seorang wanita berdiri di bawah guyuran hujan yang deras,” kataku waktu itu.

Namun Ayah justru balik menatapku dengan mata tak berkedip. Belum pernah aku merasakan dan melihat Ayah seperti itu. Aku pun dihimpit oleh rasa takut dan cemas yang menusuk saraf. Mengapa sikap Ayah tiba-tiba berubah seperti ini? Aku hanya bisa menundukkan kepala.

***

Waktu mengayunkan langkahnya dan menghantarku pada dunia dewasa. Sampai saat ini, wanita itu masih sering kulihat berdiri di tempat yang sama, memandang dengan raut penyesalan yang terpancar. Namun, kerasnya hati Ayah untuk selalu mengunci pagar, membuatnya berhenti pada posisi yang sama. Aku hanya mengintip dari celah gorden jendela, memperhatikan sorot mata wanita itu.

Saat itu usiaku menginjak delapan belas tahun. Aku mendapat jawaban atas semuanya itu. Dalam gelap yang mulai menjemput, wanita itu berada di depan pintu rumah. Ayah tak sempat menggembok pintu gerbang. Ditelingaku masih terngiang teriakan Ayah menyuruh wanita itu pergi.

“Densi, lebih baik kamu pergi sekarang!”

“Andaikan aku tahu laki-laki yang bersamaku itu hanya mau memperalatku, aku tak sudi pergi bersamanya. Maafkan aku, Jery. Delapan belas tahun anak itu tidak mendapat kasih sayang dari seorang ibu. Ia harus tahu bahwa akulah yang melahirkannya!” Kata wanita itu.

Aku tergelak mendengar itu dan beranjak dari peraduanku. Ayah mengusir kembali wanita itu untuk segera pergi dari hadapannya. Ketika aku keluar, Ayah yang tadinya berdiri tegak, kini tak karuan melihat aku berada di sana. Dadaku terasa sesak saat wanita itu memandangku dengan penuh harap dan kasih yang mendalam.

Ayah yang tadi tercengang melihat aku, kini menyuruhku untuk masuk dengan bibir gemetar. Aku segera membalikan badan dan mentaati kata-kata Ayah dengan iringan pertanyaan yang ada di dalam benakku. Aku tak sudi menentang Ayah. Aku tidak ingin melihat Ayah yang telah bertahun-tahun menyimpan kekesalan dan luka, bersedih lagi.

Sembari kembali ke bilik kecilku, aku memikul erat pertanyaan serta membawanya dalam-dalam. Pasti yang melahirkan aku adalah wanita yang berdiri di depan pagar rumah itu! Ayah tak lagi menerimanya kembali, karena saat aku masih bayi, ibu pergi bersama laki-laki lain meninggalkan kami. Bila kupikirkan, betapa dalamnya luka Ayah. Di balik itu semua hatiku terasa lega dan aku pun melonjak kegirangan. Ternyata ibu masih hidup.

***

Sejak saat itu, wanita itu tak lagi menampakkan batang hidungnya. Padahal aku ingin berjumpa dan memandang keelokannya. Dalam devosi yang kusenandung kan setiap hari, aku menyelipkan permohonan, biar Ibu tak kenal lelah berusaha untuk membalut luka di hati ayah. Aku berkeyakinan bahwa Ayah masih sangat mencintai Ibu. Luka yang lama terendap di hatinya, hanya karena Ibu tidak setia pada Sakramen Suci, yang telah mereka janjikan, demi laki-laki berandongan itu.

Aku tahu luka itu tak mudah di sembuhkan. Namun, aku percaya bahwa waktu akan selalu memberi kesempatan untuk memulihkannya. Termasuk memaafkan wanita itu. Bukankah dalam doa Bapa Kami dikatakan, “Ampunilah dosa kami, seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami..,” dan bukankah pada masa prapaskah adalah momen yang pas untuk saling mengampuni satu dengan yang lain?

Permohonanku mendapat jawaban. Dua tahun setelah peristiwa itu, wanita itu kembali menampakkan batang hidungnya dan berdiri di depan pojok pagar rumah. Sorot matanya memancarkan rindu dan harapan yang tak pernah dikubur oleh waktu.

Jantungku berdebar tak menentu dan aku pun terjerat dalam kebimbangan. Memilih untuk membahagiakan Ayah yang sudah lama mengasuhku, berarti membiarkan Ibu terlarut dalam penderita annya. Aku harus berani memutuskannya sekarang.

Surya hampir kembali keperaduannya.

“Yah, hujan mulai reda,” ucapku dengan bibir gemetar.

Ayah hanya tersenyum mendengar apa yang kukatakan. Tapi Ayah tetap diam. Mataku mulai berkaca-kaca. Ketika kupalingkan wajah ke arah luar, wanita itu sudah tak lagi berdiri di sana. Ia menghilang.

Aku bergegas membuka pintu. Aku berharap belum terlambat untuk mendapatkan wanita itu di balik pagar rumah kami.

“Ibu…,” spontan terucap dari mulutku.

Wanita itu sontak membalikkan badan dengan senyum merekah dan menyodorkan kedua tangannya ke arahku. Akupun segera berlari untuk merangkulnya dan bersandar dalam peluknya.

“Maafkan Ibumu, nak…,” ucapnya lirih.”

Isak tangis dan rindu yang tersimpan selama ini tersekat karena luka di hati ayah, kini tak terbendung mengalir deras. Tak kuhitung berapa lama kami saling merangkul, sampai kudengar isak tangisan dibalik punggungku. Air mata terharu menghiasi wajah Ayah yang melihat ke arah kami.

“Yah, ini Ibuku. Wanita yang telah lama pergi dan hilang dari kehidupanku dan ayah, kini kembali. Ibu kembali ke keluarga kita, Ayah,” kataku sambil terisak.

Ayah hanya berdiam diri dengan mulut terkatub. Namun, hatiku sangat lega, karena tak ada lagi cercaan kata-kata tajam dan makian yang keluar dari mulut ayah. Aku percaya bahwa kejadian ini adalah sebuah titik balik untuk bahtera keluarga kami. Walaupun luka memang mungkin belum bisa menghilangkan jejaknya tetapi yakinlah waktu akan menyembuhkannya.

Fr Sergius Cangkung

HIDUP NO.17 2019, 28 April 2019

ARTIKEL SEBELUMNYA
ARTIKEL SELANJUTNYA

2 KOMENTAR

  1. Maaf …membaca cerpen ini kok mengingatkan saya pada cerpen yang pernah dimuat HIDUP sekitar bulan January..Kalau tidak salah judulnya “Lelaki di bawah Hujan”…Saya lupa penulisnya siapa. Setting dan alur kisahnya sangat mirip hanya dibalik tokohnya saja. Pada cerpen “Lelaki di bawah hujan” sosok yang ingin kembali pulang adalah si lelaki, sedangkan dalam cerpen ini tokoh yang ingin pulang adalah si perempuan.
    Mungkin hanya kebetulan saja kalau kedua cerpen ini ada kemiripan dari segi setting dan alur.

    Terima kasih

  2. Maaf saya tambahkan …Setelah saya bandingkan kedua cerpen per paragraf..nampak sekali kesamaannya – yang membedakan hanya diksi dan seperti dikisahkan ulang dengan diksi berbeda tapi semuanya sama… Kesimpulan saya ini DISENGAJA oleh si penulisnya..entah penulisnya siapa.
    Mohon perhatian dari majalah Hidup.
    terima kasih

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles