HIDUPKATOLIK.com – Gereja Katolik senantiasa memberikan ruang dan memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender demi memuwujudkan misi Allah di tengah dunia.
Kehidupan perempuan telah berubah secara dramatis selama seperempat abad terakhir. Angka melek huruf perempuan telah meningkatkan dibandingkan sebelumnya. Perempuan sekarang bisa mencecap bangku pendidikan dan memperoleh akses pekerjaan.
Namun, perubahan ini tidak serta merta terpukul rata di tiap area dan negara. Kemajuan menuju kesetaraan gender terbatas. Budaya patriarki yang masih kuat telah memperpanjang penderitaan mereka yang tidak berdaya serta mempersulit perjuangan dan perubahan menuju keadilan dan kesetaraan gender (KKG).
Sejarah SGPP KWI
Ketidaksetaraan sosial pada tingkat ideologi dan simbol kebudayaan yang membawa perempuan di berbagai kebudayaan dikaitkan dengan sesuatu yang dipandang rendah oleh hampir setiap kebudayaan, membawa Gereja bersuara. Suara Gereja Indonesia melalui Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) bersepakat, bahwa mewujudkan keadilan bagi kaum perempuan tidaklah mudah.
Oleh karena itu, KWI mendukung lahirnya Jaringan Mitra Perempuan (JMP) pada 9 Desember 1995 sebagai sebuah gerakan untuk mewujudkan kesetaraan gender. Kelahiran JMP tidak melulu karena keharusan manusiawi setelah mendengarkan jeritan kaum perempuan kepada Allah untuk dibebaskan, melainkan juga merupakan perintah Injil agar kaum perempuan yang berjumlah separuh penduduk dunia diakui dan dipulihkan martabatnya (bdk. FABC IV, 1986. art. 3.3.3.).
Menanggapi panggilan Allah menjadi mitra Pencipta, JMP memperjuangkan agar perempuan dan laki-laki mampu berelasi sebagai citra Allah yang setara. Keduanya bersama-sama saling mengembangkan dan membebaskan, untuk membangun hidup
yang penuh dan berkelimpahan. Sebagai murid-murid Yesus, JMP memperjuangkan terwujudnya kehidupan bersama yang lebih manusiawi, berkeadilan gender, serta bebas dari berbagai macam penindasan.
Pada perkembangnya, dalam Musyawarah Nasional Istimewa yang digelar di Yogyakarta pada awal April 2002, JMP memutuskan untuk bergabung dengan KWI dengan menjadi salah satu organ KWI. Sidang tahunan KWI pada 23-26 April 2002, JMP diterima sebagai salah satu sekretariat dalam KWI.
Pada Sidang KWI tahun 2006, KWI menyetujui perubahan nama dari Sekretariat Jaringan Mitra Perempuan menjadi Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan (SGPP). Perubahan ini bukan sekadar perubahan nama, tetapi untuk memperjelas fokus pelayanan pastoralnya.
Gereja Bersuara
Suara keberpihakan Gereja terkait permasalahan gender tertuang dalam magisterium dan kebijakan pastoral. Dokumen Gereja yang berbicara tentang perhatian kepada kaum perempuan cukup banyak, antara lain: Mater et Magistra, Gaudium et Spes (GS), dan Apostolicam Actuositate. Beberapa dokumen dari Federation Asian Bishops’ Conference (FABC) juga membahas tentang hal ini.
Saat masa kepausannya, Paus Yohanes Paulus II juga pernah mempromulgasikan Surat Apostolik, Mulieris Dignitatem, ‘Martabat dan Panggilan Kaum Perempuan’. Dokumen ini secara khusus membahas aneka permasalahan terkait kesetaraan gender.
Lewat dokumen ini, Gereja ingin menunjukkan, setiap manusia memiliki martabat, bukan karena kualitas dan kualifikasi tertentu, tetapi karena anugerah semata dari Tuhan. Maka, sudah sepantasnya anugerah itu dijaga.
Secara jelas Gereja menentukan keberpihakannya pada kesetaraan gender. Secara gamblang, penekanan pada isu kesetaraan gender pada lingkup Asia paling terlihat saat Konferensi FABC di Tokyo pada tahun 1968. Hasil konferensi ini secara khusus menekankan peran kaum awam (laki-laki dan perempuan), untuk mewujudkan misi Allah di tengah dunia.
Sedangkan dalam konteks Gereja Indonesia, KWI mengeluarkan Surat Gembala pada Desember 2004 bertema “Kesetaraan Perempuan dan Laki-Laki sebagai Citra Allah”. Keluarnya Surat Gembala ini menjadi salah satu bentuk ungkapan kepedulian dan dukungan Gereja Katolik Indonesia terhadap perjuangan kaum perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.
Surat Gembala ini menegaskan kembali bahwa Gereja Katolik Indonesia mendukung semua gerakan untuk menghapus berbagai bentuk eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan. Gereja bersedia untuk ikut serta dalam memfasilitasi penyediaan rumah yang aman bagi perempuan dan anak-anak korban kekerasan tanpa memandang agama, golongan, suku, dan aliran politik yang dianut.
Tidak hanya itu, Gereja Katolik Indonesia akan melanjutkan komitmennya untuk membantu para perempuan yang menjadi korban kekerasan, konflik, korban perdagangan perempuan dan anak (trafficking) untuk memperoleh keadilan. Hal ini seperti telah dirintis oleh Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Pastoral Migran-Perantau KWI.
Suara ini merupakan perpanjangan dari Konsili Vatikan II yang menyatakan, berdasarkan hak asasi setiap orang, berbagai macam diskriminasi harus dihapuskan, sebab hal itu bertentangan dengan kehendak Allah sendiri. Oleh karenanya, kaum perempuan harus dimungkinkan untuk memilih suami sendiri, memilih jalan hidupnya sendiri, serta mendapatkan pendidikan dan kebudayaan seperti yang diperoleh kaum laki-laki (GS art 29). Konsili Vatikan II juga menandaskan bahwa bila kaum perempuan belum mendapatkan kesetaraan dan keadilan baik di depan hukum maupun dalam kenyataan hidup sehari-hari dengan laki-laki, mereka berhak menuntutnya (GS art 9).
Felicia Permata Hanggu
HIDUP NO.19 2019, 12 Mei 2019