HIDUPKATOLIK.com – Bukan solusi yang mereka tawarkan tetapi hati hangat dan telinga yang selalu mau mendengar keluh kesah para korban.
Seorang balita perempuan berumur lima tahun tidak bisa berhenti megisap jempolnya. Sang ibu merasa aneh dengan kebiasaan baru anaknya ini. Ia juga sering kali mengeluh sakit di area bawah perut. Penasaran dengan sikap anaknya, ia pun bertanya. Seketika, wajah sang ibu pucat pasi mendengar penuturan polos sang anak. “Aku diajak main dengan kakak cowok itu. Trus bu, bagian yang ini dimainin,” ujarnya sambil menunjuk area kemaluannya.
Tak terima anaknya diperlakukan tidak senonoh, ibu tersebut langsung meminta anaknya menunjuk langsung pelaku kekerasan seksual tersebut. Seorang bocah laki-laki berusia tujuh tahun adalah pelakunya. Mirisnya, bocah itu datang dari keluarga Katolik.
Keluarga Katolik
Alberta Rika Pratiwi atau yang akrab disapa Rika kerap menemukan kasus pelecehan seksual yang terjadi di dalam keluarga Katolik. Tidak hanya itu, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga menjadi makanan sehari-harinya. Pelayanannya memberikan perlindungan bagi para korban ini bermula ketika ia tertarik untuk menekuni studi wanita.
Awalnya, ia diperkenalkan oleh seorang imam dari Serikat Yesus.
Perjuangan Rika dimulai bersama Jaringan Mitra Perempuan (JMP) Semarang, Jawa Tengah. Kala itu, ia memulai memberi pemahaman kesetaraan gender kepada kaum klerus di Keuskupan Agung Semarang (KAS). Perjuangannya ini saat itu juga didukung Pastor Johannes Pujasumarta (sebelum menjadi uskup). Sang imam juga membantu Rika membentuk Forum Sadar Gender di KAS.
Karena ketekunan Rika berkanjang di Pusat Studi Wanita (PSW) Universitas Soegijapranata, ia lalu diminta juga bergabung dengan Komisi Keluarga KAS. Bersamaan dengan itu, ia juga ditunjuk menjadi komisioner di Komisi Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (KPK2BGA) yang dibawahi langsung oleh gubernur Jawa Tengah pada tahun 2013. Ia merupakan komisioner pertama.
Komisioner ini mempunyai tugas memonitoring dan mengevaluasi kegiatan seluruh kabupaten dan kota di Jawa Tengah. Komisioner juga sekaligus memantau pusat pelayanan terpadu bagi korban kekerasan. Saat itu, ia mengaku terkejut. Di lapangan ia menemukan betapa banyaknya data korban dan juga pelaku kekerasan yang datang dari keluarga Katolik.
Dosen Teknologi Pangan ini pun tidak tinggal diam. Ia sadar, penanganan yang dilakukan negara akan berbeda dengan norma Gereja. Saat itu, ia mengusulkan untuk membentuk sebuah wadah pendampingan keluarga Katolik yang mengalami kondisi khusus. Usul ini ditanggapi serius oleh imam yang bertugas di Komisi Keluarga KAS. Seiring waktu, wadah ini kini menjadi Emaus Center (EC). “Tindak kekerasan itu kami sebut dengan kondisi khusus,” ujarnya.
EC menjadi semacam wadah konseling yang bisa digunakan untuk mengurai kondisi-kondisi khusus umat Katolik. Pelatihan konseling yang diberikan meliputi cara mendengarkan dan membentuk jejaring, termasuk jejaring profesional. Setiap pastor paroki diminta menjadi ex officio Ketua EC di setiap paroki.
Sementara itu di kevikepan, mereka juga mengadakan pelatihan. Pesertanya wakil dari setiap kevikepan yang rela menjadi sukarelawan. Pelatihan ini tidak hanya menyiapkan kader untuk mendampingi keluarga khusus, tetapi untuk menjadi pendamping dalam Kursus Persiapan Perkawinan (KPP) di KAS dan juga untuk pendampingan remaja. Untuk pendampingan kasus keluarga khusus, dibututuhkan pelatihan tersendiri yang disebut pelatihan aksesor. “Dengan adanya EC kami memiliki pelatihan bagi para wakil kevikepan yang harapannya akan dibentuk juga di paroki mereka,” ungkapnya.
Aksesor ini diharapkan dapat menjadi tempat untuk mendengarkan, atau menghubungkan kepada pihak yang dirasa perlu bantuan profesinya. Sebagai contoh, jika ada korban kekerasan yang memerlukan visum, maka aksesor ini yang bisa menghubungkan ke dokter yang ditunjuk, atau dokter yang sudah menjadi jejaring. “Artinya aksesor ini menemani bukan menyelesaikan masalah. Mereka juga mampu mendengarkan, memetakan masalah, kemudian merumuskan apa yang harus dilaksanakan,” tuturnya.
Rika mengakui, program ini belum sepenuhnya hadir diseluruh paroki yang tersebar di wilayah KAS. “Perjuangan kami masih lama tetapi bahwa komisi keluarga itu mempunyai program pelatihan aksesor adalah hal yang selalu kami perjuangkan,” akunya.
Teman Peziarahan
Di Keuskupan Agung Kupang, Suster M. Fransisca Romana Yasmini RVM juga menemui kasus kekerasan yang sama. Ia melihat, kasus KDRT tidak hanya datang dari keluarga dengan pendidikan minim. Justru, ia menemukan kasus ini banyak ditemukan pada keluarga berpendidikan. Lebih miris, ia juga mendapatkan kasus perdagangan anak berusia sekitar 17-18 tahun. “Pengiriman itu sempat digagalkan dan kami beri pendampingan rohani sekaligus tempat pengaduan,” terangnya.
Masa pacaran di kalangan anak muda juga tak lepas dari masalah. Suster yang akrab disapa Sr Tyas ini menemukan, kasus di mana kekerasan terjadi saat berpacaran. Dalam hal ini, kekerasan berupa verbal dan fisik dengan melibatkan ancaman dan meninggalkan perempuan dalam kondisi hamil, atau menolak bertanggungjawab.
Dalam pelayanannya mendampingi para korban bias gender, Sr Tyas kerap menyebut dirinya sebagai teman peziarahan. Baginya, teman sepeziarahan dapat meberikan lebih banyak keleluasaan untuk mengenal seorang pribadi lebih dekat secara mendalam. Ia menyadari, bahwa pelayanannya ini membutuhkan hati yang senantiasa mau mendengarkan. Pertolongan pertama bagi para korban adalah mendengarkan kisah pilu mereka dan membantu mereka melihat solusi atas kemalangan yang menimpa mereka.
Pendampingan kadang tidak menyelesaikan masalah sepenuhnya. Untuk itu suster asal Muntilan ini juga memberikan pelatihan menjahit bagi para ibu. Dengan pelatihan ini, mereka akhirnya memiliki kemampuan dan ketrampilan untuk mengembangkan perekonomian keluarga.
Sedangkan menurut Kristina Rahangiar, penggerak gender dari Papua, ketidakadilan yang sangat menonjol di daerah Papua itu KDRT, pemerkosaan, pelecehan seksual terhadap anak-anak, dan tingkat perceraian. Ia menuturkan, pemahaman masyarakat tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan masih jauh dari harapan. Meskipun disosialisasi terus menerus, tapi orang masih pada konsep pemikiran patriarki.
Memasuki tahun keenamnya di SGPP, Kristina mengakui, pendampingan di daerahnya belum terlalu kuat. Masih dengan pendekatan pribadi antar pribadi. Namun sebagai keuskupan, secara besar sudah ada perhatian terhadap permasalah gender ini, meski belum dalam satu gerakan. Juga masih terbatas dengan adanya beberapa kendala selain dana, juga dengan SDM nya yang kurang. “Kami mengunjungi dan kemudian lebih kepada konseling pastoral. Tidak hanya Katolik, ada juga yang bukan Katolik, tetapi sebagian besar memang Katolik yang ditangani,” ucap sekretaris Komisi Pemberdayaan Perempuan dan Anak dari Keuskupan Timika ini.
Kristina berharap, apa yang sudah berjalan dengan baik ini dan memiliki monitoring yang baik ini bisa membantu mereka yang terbatas secara khusus terkait SDM. Adanya SGPP KWI bisa membantu mereka di daerah untuk menutupi kurangnya ketenagaan atau ahli-ahli yang mereka butuhkan. “Semoga kami lebih berkembang lagi dengan masuknya
kader-kader yang baru, lebih banyak berbuat untuk masyarakat terutama yang belum tersentuh. karena pergumulan-pergumulan dalam keluarga,” tandasnya.
Felicia Permata Hanggu
Laporan: Marchella A. Vieba
HIDUP NO.19 2019, 12 Mei 2019