Saat ini, Lily juga membuka warung makan sederhana di rumahnya untuk membantu menghidupi rumah singgah. Ia mempekerjakan tiga mantan TKI di warung makan tersebut. Baginya, apa yang ia lakukan ini bukan apa-apa. “Saya merasa ini adalah panggilan dan saya lakukan ini karena tidak ingin teman-teman saya mengalami nasib seperti saya dan pulang tanpa ada yang memperhatikan,” paparnya.
Meski telah menjadi aktivis bagi teman-teman buruh migran, tidaklah mudah bagi Lily membuka kisahnya. Luka batin yang ia alami tak terobati begitu saja. Ia baru berani terbuka ke publik bahwa ia adalah korban trafficking. Sampai pada tahun 2014, ketika seorang temannya dimutilasi di Hong Kong, baru ia berani terbuka kepada siapa saja. “Butuh waktu yang panjang, saya melalui semuanya dengan doa agar bisa berdamai dengan masa lalu saya,” katanya
Lily kini telah menikah dan dikaruniai seorang putri. Ia mengaku dukungan suaminya adalah yang paling mempengaruhi dirinya. “Support orang-orang terdekat itu amat sangat bermanfaat bagi para korban trafficking,” ujarnya.
Memihak Buruh
Menurut Lily, sosialisasi dari pemerintah tentang ketenegakerjaan kurang sampai ke desa-desa. Para agenlah yang biasanya sampai ke pelosok untuk melakukan sosialisasi ini. Sayangnya, banyak agen yang janji dan iming-imingnya tidak sesuai dengan apa yang nanti dialami oleh para calon TKI. Meski demikian, Lily melihat para agen ini masih dianggap sebagai pahlawan atas upaya mereka melakukan sosialisasi di tempat yang tak terjangkau.
Persoalan dokumen resmi dan tidak resmi tidak melulu menjadi alasan para pekerja migran mendapatkan perlakuan tidak adil bahkan menjadi korban trafficking. Kurangnya keterampilan para calon TKI juga tidak bisa dipungkiri menjadi salah satu penyebab ketidakadilan. “Seandainya skill-nya diupgrade, mungkin tidak akan banyak TKI kita yang mengalami masalah,” ujar Lily. Ia menyebutkan ketidakadilan tak hanya menimpa mereka yang berangkat dengan dokumen ilegal atau tidak resmi saja, tetapi juga yang berangkat secara resmi.
Lily mengharapkan pengawasan pemerintah terhadap PPTKIS lebih dimaksimalkan dan agen-agen gelap ditindak tegas. Peduli Buruh Migran juga kerap memberi masukan kepada pemerintah. Meski demikian ia mengatakan kini pemerintah telah melakukan banyak perubahan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tidak sedikit juga PPTKIS yang memberikan pelatihhan-pelatihan kepada para calon TKI, termasuk mengenalkan kultur budaya di negara penempatan.
Namun, Lily mengkritisi kebijakan pemerintah terutama soal asuransi. Menurutnya, buruh migran membutuhkan asuransi khusus tidak yang sama dengan asuransi-asuransi pekerja yang lain yang ada di Indonesia. “Jaminan sosial, punya Undang-Undang sendiri,” tambahnya.
Lily juga mengharapkan pemerintah Indonesia membuat perjanjian dengan negara tujuan pengiriman TKI, yang benar-benar jelas bahwa negara tersebut juga akan memberi perlindungan kepada tenaga kerja asing.
Hermina Wulohering
HIDUP NO.18 2019, 5 Mei 2019