HIDUPKATOLIK.com – Menjadi berkat bagi orang lain adalah salah satu partisipasi kongkret orang Katolik di tengah masyarakat.
Berbicara dalam Diskusi Lintas Agama, yang diprakarsai oleh Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) dan Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan (HAAK) Paroki Santo Herkulanus Depok di aula Paroki pada Sabtu, 18/5, Pastor FX Mudji Sutrisno SJ mengajak peserta memperbanyak dan memperjelas makna kerasulan kehadiran di dalam masyarakat. Ia menjelaskan, kehadiran setiap orang Katolik di mana pun di bumi Pancasila ini harus menjadi tanda kehadiran Kristus untuk tujuan bersama, yakni mencapai bonum commune (kesejahteraan bersama).
Kehadiran itu terekam dalam diri atau profesi yang diemban atau dibawa serta oleh setiap orang Katolik. “Konkretnya, Anda harus menjadi berkat melalui diri, keahlian, keterampilan atau profesimu. Itulah kerasulan kehadiran itu. Kita menjadi solusi, bukan sumber masalah,” ucap Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta ini.
Lebih lanjut, Pastor asal Solo, Jawa Tengah ini mengatakan, kalau bicara dalam konteks politik, politik Katolik itu harus selalu hadir dalam pemikiran yang jernih, tindakan yang tulus, dan refleksi-refleksi yang mencerahi. “Kita wajib terajak memberi diri melalui profesi atau melalui sumbang gagasan cerdas nan bijak di legislatif, eksekutif, yudikatif atau di mana pun. Pemberian ini demi tujuan mewujudkan kebaikan bersama dalam hidup bersama masyarakat di jalan keadaban anti kekerasan,” kata Pastor Mudji.
Menguatkan Pendidikan
Hal yang sangat penting dalam menjalani kerasulan kehadiran, bagi Pastor Mudji, adalah melakukan segala sesuatu dengan ikhlas, tulus seperti merpati dan cerdik seperti ular. “Orang yang tulus dan cerdik itu tidak akan dibodoh-bodohi dan juga tidak akan membodoh-bodohi. Ya, ikhlas itu,” tambahnya.
Kerasulan kehadiran itu, harus merupakan kombinasi dari ajaran Santo Benediktus, yakni spiritualitas ora et labora. Tidak memisahkan antara altar dan kerja keseharian. Semangat atau spirit yang ditimba dari altar lanjutnya, harus dibawa untuk meresapi dan memaknai aktivitas harian apa pun dalam “pasar kehidupan”. “Kita jangan tampak khusyuk berdoa pada hari Minggu di gereja, tapi pada Senin sampai Sabtu pakai nilai lain,” jelasnya.
Pastor Mudji menyerukan, untuk kembali pada pendidikan yang benar dan mencerahi hati nurani. Ia merujuk pada proses pencerdasan kehidupan bangsa Bung Hatta dan pencerahan transformatif para pendiri bangsa. Ia menuturkan, proses pencerdasan ini bertujuan mengikis akar mental kuli dan lancung dalam sejarah mentalitas poskolonial. “Hanya manusia Indonesia yang cerdas budi melalui edukasi serta jernih nuraninya yang bersama rekan-rekan sebangsa akan mampu bergerak untuk Indonesia yang lebih baik baik, adil, sejahtera dan saling menghormati perbedaan dalam sistem bernegara berdasar konstitusi 1945 dan Pancasila,” tegasnya.
Menurut Pastor Mudji, jalan pendidikan dan pendewasaan juga merupakan tantangan buat orang-orang Katolik untuk memberikan yang terbaik. Ia mendorong untuk kembali bercermin pada teladan yang ditampilkan tokoh-tokoh Katolik yang telah menunjukkan menjadi garam dan terang dalam semua bidang kehidupan. Hal ini terutama untuk melawan budaya korupsi dan keserakahan menjarah secara tega dan sangat tamak.
Pembicara lain dalam diskusi ini adalah mantan peneliti CSIS, Yusup Suroso dan Ikrar Fani. Suroso memetakan data dari pemilu ke pemilu untuk memotivasi politikus dari kalangan Katolik untuk menghayati panggilannya dalam politik. Ia berharap pada keikutsertaan politikus dari kalangan Katolik.
Sementara itu, Ikrar, caleg terpilih untuk DPRD Kota Depok, mempresentasikan strategi mengumpulkan suara dari akar rumput. Menurutnya, tidak terlalu efektif berharap mendapatkan suara dari kampanye massal.
Emanuel Dapa Loka (Depok)
HIDUP NO.22 2019, 2 Juni 2019