HIDUPKATOLIK.com – Tampaknya kunjungan Paus ke Maroko pada hari Minggu 31 Maret 2019 tak begitu bergaung, berbeda dengan kunjungan Beliau ke Uni Emirat Arab. Tepatnya pada tanggal 4 Februari terjadi penandatanganan Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama antara Paus Fransiskus dengan Rektor Universitas Al Azhar, Kairo di Mesir, Ahmed Al-Tayeb. Namun, peristiwa di Maroko tidak kalah penting, terutama bagi umat Katolik yang hidup di negara dengan mayoritas masyarakat Muslim.
Maroko adalah negara dengan jumlah penduduk Muslim mencapai 98,7%, sementara penganut Katolik Roma hanya mencapai 23.000 atau tidak mencapai 1% dari keseluruhan penduduk, 35 juta. Indonesia dan Maroko pernah menjadi bahan kajian dari antropolog Amerika, Clifford Geertz sebagai dua negara dengan mayoritas muslim dalam bukunya Islam Observed. Dalam hal ini Maroko dan Indonesia punya kemiripan.
Kehadiran Paus di negara dengan mayoritas penduduk Islam ini rasanya kian berkesan menyusul berbagai situasi perpecahan masyarakat karena perbedaan identitas agama. Di tempat lain perbedaan agama menjadi pemecah belah, dalam kehadiran Paus Fransiskus, perbedaan agama menjadi pemersatu. Di Maroko, Paus Fransiskus mengatakan, “Gereja tumbuh bukan melalui ajakan yang memaksa tetapi melalui daya Tarik. Ini artinya, saudara-saudaraku, bahwa misi kita orang-orang yang sudah dibaptis, para imam dan orang-orang yang dikuduskan, sesungguhnya tidak ditentukan oleh jumlah atau ukuran kawasan yang kita kuasai, tapi lebih oleh kapasitas kita mendorong perubahan dan membangkitkan keajaiban kasih sayang” (idntimes.com).
Paus tidak menafikan bahwa membawa orang lain kepada Gereja Katolik adalah penting, tetapi misi pertama-tama adalah membawa kasih sayang Kristus di tengah masyarakat. Beliau menegaskan, “Yang menjadi masalah bukanlah ketika kita sedikit dalam hal jumlah, tetapi ketika kita menjadi tidak signifikan.” Kata-kata ini sangat keras mengingat masyarakat kita mulai melihat agama lain sebagai saingan. Dalam situasi ini, memasukkan orang lain di dalam kelompok menjadi penting. Namun, dalam hidup orang Katolik yang berperan dalam hidup bersama, amatlah mungkin membawa perubahan hidup bersama tanpa harus agresif menambah jumlah. Pewartaan iman terjadi melalui usaha gereja membawa pesan damai di tengah masyarakat.
Gereja membingkai usaha hidup bermasyarakat dalam kata dialog. Sayangnya sekarang ini, dialog harus diformalkan, dibawa ke mimbar-mimbar, ditampilkan di panggung-panggung dan dijadikan tontonan orang. Kita sedih mengingat dialog harus diformalkan dan terwakilkan oleh para pemimpin agama. Sementara sebagian umat (semoga sebagian kecil) suka membangun eksklusifitas dan tidak terlibat dalam hidup bermasyarakat. Menilik pesan Paus, agama bukanlah hal yang perlu diperbincangkan, tetapi menjadi roh hidup bersama.
Kalau saya boleh berpendapat masyarakat kita saat ini sedang kehilangan keluwesan dalam hidup bermasyarakat: menghargai yang berbeda, berbagi ruang bersama, saling membantu dan berkomunikasi lintas identitas. Maka, di ruang-ruang itulah Gereja perlu terlibat sehingga kehadirannya menjadi signifikan. Kita tidak bergerak sendiri. Banyak kalangan sekarang merindukan kehidupan yang harmonis. Rasanya kalau kita mau sedikit mencari, banyak komunitas lintas iman di sekitar kita. Kepekaan ini harus diupayakan di mana pun kita berada.
Di masyarakat, kita perlu menjadi sumber kehangatan. Dengan mengingat pepatah lama, “Tetesan air yang terus-menerus dapat menghancurkan sebuah batu yang teramat keras,” rasanya kecuali sibuk menggereja (mengurusi gereja), kita juga harus sibuk bermasyarakat. Dengan mengingat sabda, “Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang,” (Mat 5: 13) kita diingatkan akan peran kita di tengah hidup bersama.
Adalah keharusan bagi Gereja untuk kembali menjadikan hidup bersama kembali terasa sedap. Anda dan saya dipanggil untuk mengusahakan hal ini.
Martinus Joko Lelono
HIDUP NO.17 2019, 28 April 2019
Sudah saatnya gereja membuka diri lebih luas dalam hidup bermasyarakat supaya umat mengerti arti sesungguhnya menjadi “garam dunia”. Semestinya gerakan ini tidak cukup “mengandalkan” umat. Para imam,biarawan biarawati yg dididik menjadi pewarta iman harus berani berkiprah dalam kancah hidup sosial yg lebih luas dan terbuka. Mereka yg dibina secara khusus dalam hidup keagamaan dalam kurun waktu tertentu juga harus dibekali dengan hidup membaur dalam lintas bidaya,suku dan agama. Intinya dipersiapkan hidup lebih terbuka dalam mewartakan iman dalam masyarakat yang heterogen. Tidak inklusif dalam sekat “tembok biara” Sudah waktunya gereja juga terbuka terhadap pola pendidikan Pondok Pesantren yg kita lihat menghasilkan pemimpin2 umat, para Kiyai yg dapat membaur dalam hidup masyarakat bangsa yang majemuk ini.