HIDUPKATOLIK.com – Ada yang bilang bencana adalah kutukan dari Tuhan. Apakah benar dan bagaimana pandangan Gereja terhadap bencana dan penderitaan?
Gabriela Dinda, Jawa Barat
Tahun 1755 Lisabon diguncang tsunami berat. Peristiwa itu mengundang pertanyaan, di tengah kenyataan bahwa Portugal waktu itu adalah negara yang kekatolikannya kuat, mengapa, apakah Dia marah dan membiarkan itu terjadi, di mana Dia saat itu? Sebelumnya seorang filsuf Gottfried Leibniz di tahun 1710 sudah menuliskan soal itu untuk menjawab pertanyaan, kalau Allah itu maha baik dan maha kuasa, dari manakah kejahatan maupun bencana datang? Refleksi akan hal itu disebutnya sebagai teodice, refleksi tentang Allah yang seakan tiada, atau diam. Ketika Paus Benediktus XVI, yang berasal dari Jerman, di tahun 2006 berkunjung ke kamp konsentrasi Yahudi di Auschwitz, langsung diserukannya pertanyaan, di manakah Allah saat itu, mengapa Dia diam dan membiarkan kejahatan itu terjadi.
Di dalam Kitab Suci, dikatakan Paus Yohanes Paulus II dalam Salvifici Doloris (1984), bisa ditemukan sindiran malahan ejekan kepada orang-orang yang beriman terhadap mereka yang menderita. Bagi mereka tidak ada gunanya percaya kepada Allah, sebab Dia lah yang mendatangkan bencana dan penderitaan. Dengannya dibangun gambaran akan Allah yang pemarah, kejam, pendendam dan suka menghukum. Allah suka mengutuk dan membalas dendam kalau kehendak-Nya tidak dilaksanakan. Demikian pula perang, terlebih perang yang melibatkan umat beragama, mengundang pula gugatan ternyata kepercayaan kepada Allah lebih menghasilkan kekerasan, pembunuhan dan peperangan. Demikian pula dalam perkara bencana alam, bukankah iman Kristiani ikut menyebabkan perusakan lingkungan dan bencana alam.
Kitab Ayub mengajukan persoalan seperti itu. Penderitaan yang dialaminya dikatakan oleh para sahabatnya sebagai hukuman, Allah lah yang menyebabkan penderitaan dan bencana itu. Ayub menentang pandangan itu. Allah itu maha baik, Dia tidak bersalah akan adanya bencana dan penderitaan, kejahatan dan kesusahan. Penderitaan yang dialaminya bukanlah karena kutukan dan hukuman. Penderitaan dan bencana memuat misteri. Misteri terdalam akan penderitaan nyata dalam misteri salib Yesus, betapa Yesus masuk dan mengalami kengerian penderitaan, untuk menunjukkan kasih yang penuh daya, yang membebaskan manusia dan menguatkan dalam mengalami pengalaman luka, derita dan sakit.
Derita dan bencana berbicara tentang realitas kerapuhan dan keterbatasan. Pertama tergambar di dalamnya kerapuhan dan keterbatasan alam. Alam mudah retak, tidak stabil dan bisa rusak. Maka dalam hidup kita perlu berdamai dengan kerapuhan dan keterbatasan alam, senantiasa siap-siaga bila terjadi kerusakan dan bencana, dan berusaha untuk tidak menambah lagi kerusakan dan kerapuhan alam. Maka kerapuhan dan keterbatasan, yang kedua, juga berbicara tentang realitas keberdosaan manusia. Manusia yang berdosa nyatanya memuat cara dan sikap hidup yang malahan merusak, sehingga malahan menghasilkan bencana, tidak saja ikut menyebabkan bencana alam namun pula berbagai bencana kehidupan: perang, pertikaian, kemiskinan, perpecahan maupun penderitaan sesama.
Maka adanya bencana dan derita bukan kutukan Allah, namun lebih menunjukkan kenyataan dunia kehidupan serta kenyataan keberdosaan umat manusia. Akan tetapi kita maklum, umat manusia sulit mengakui adanya kenyataan kerapuhan dan keterbatasan, apalagi dalam dirinya. Oleh karena itu, paling mudah adalah melemparkan kesalahan dan tanggungjawabnya kepada Allah, seakan Dia lah yang menyebabkan semuanya itu. Allah harus bertanggungjawab atas segala yang tidak beres di dunia ini, sebab manusia tidak mau mengakui akan adanya ketidakberesan dalam dirinya sendiri.
Sebagai umat beriman, yang lebih penting jika kita menghadapi derita, luka maupun bencana adalah membangun sikap dan cara bertindak atas semua itu, tidak dengan mengutuk atau menyalahkan, namun lebih membangun harapan. Yesus yang tersalib adalah tatapan utama kita. Bahkan Dia mengajarkan kepada kita untuk berani masuk ke dalam pengalaman derita. Malahan dalam Sabda Bahagia dikatakan mereka itu yang berbahagia. Mereka yang tidak berani masuk ke dalam pengalaman derita bisa cenderung hatinya mengeras dan hanya mau mencari dirinya sendiri belaka. Tidak tumbuh sikap peduli, tidak muncul hati yang berbagi. Yohanes Paulus II di akhir Salvifici Doloris berbicara tentang kisah orang Samaria yang murah hati, berhadapan dengan kaum imam dan orang Lewi yang memilih tidak peduli, sebab bagi mereka derita dan luka adalah karena kutukan dan hanya menimpa kaum pendosa. Mereka lupa, bahwa ketidakpedulian dan sikap serba beres tak berhati itu adalah dosa yang sebenarnya. Sebaliknya, orang Samaria yang berbelaskasihan adalah orang yang punya kasih, yang lahir dari hati yang percaya. Kasih adalah hukum yang terutama.
T. Krispurwana Cahyadi SJ
HIDUP NO.17 2019, 28 April 2019