HIDUPKATOLIK.com – Banyak orang menilai, keberhasilan Pemilu dan Pilkada serentak 17 April 2019, tergantung pada partisipasi warga negara. Partisipasi itu sendiri terkait dengan kesadaran mengenai makna sebuah kewajiban dalam kehidupan konkret. Injil Markus menunjukkan masalah ini dalam perikop tentang ‘Membayar Pajak kepada Kaisar’ (lih. Mrk. 12:13-17).
Konteks penulisan dalam Injil paling tua itu adalah sejarah dan budaya Palestina, Romawi dan Yunani, yang saling terkait (Walter Kelber, 1983). Ujung dialog Yesus dengan para utusan kelompok Herodian dan Farisi mengenai kewajiban pajak itu, memang berakhir dengan kesimpulan praktis. “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah!” (ay. 17).
Dalam penyimpulan itu, Yesus sama sekali tidak memakai kutipan Alkitab. Yang ditunjuk adalah realitas pragmatis. Pada zaman Yesus (sekitar th. 30-an), pajak kepada Kaisar/ Negara dibayar dengan mata uang denarius (dinar), yang dibuat oleh pemerintah. Asal usul itu menjadi dasar, setiap mata uang adalah “milik” Kaisar, dan karenanya wajib diberikan kembali kepadanya sebagai penguasa tunggal negara.
Itulah makna, gambar kaisar dan tulisan pada mata uang dinar. Di zaman Yesus, pada sisi pertama dinar, ada gambar Kaisar Tiberius (42 Seb. Mas.- 37 M), dan tulisan: “TI[berivs] CAESAR DIVI AVG[vsti] F[ilivs] AVGVSTVS ‘Kaisar Augustus Tiberius, putra Augustus yang ilahi’. Di sisi sebaliknya, ada gambar Dewi Livia (dewi perdamaian), yang memegang tongkat kerajaan dan daun palma lambang perdamaian, dan tulisan PONTIF(ex) MAXIM(us)US (Imam Agung: gelar Kaisar). Gambar dan tulisan pada dinar Romawi itu menjadi dasar kewajiban mengembalikannya (dalam bentuk aneka pajak) kepada negara. Ini realitas pertama.
Realitas kedua terkait dengan teks: “berikanlah kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah!” (ay. 17b). Teks ini harus dibaca dalam konteks sosial, keagamaan, dan politik Palestina Abad Pertama. Yudaisme zaman itu mewajibkan setiap orang Yahudi dewasa untuk “memberikan kepada Allah”, yang ditafsirkan sebagai pajak kepada Bait Allah, “tempat Yahwe bersemayam”.
Untuk kewajiban kepada Allah itu, mata uang asing, yang memiliki gambar, simbol, dan tulisan dewa dan penguasa duniawi (kafir), tidak boleh dipakai. Yang boleh dipakai hanyalah mata uang perak Yahudi, shekel atau syikal, yang tidak memiliki gambar penguasa duniawi. Inilah pragmatisme Yesus saat menghadapi jebakan!
Pemakaian dua jenis mata uang ini—denarius dan shekel—memungkinkan dua kelompok, Hērōdiānī, pendukung policy wangsa Raja Herodes dan Romawi, maupun kelompok Perushim, ‘Farisi’, ormas keagamaan fundamentals, bisa melaksanakan dua kewajiban, kepada Negara maupun agama, secara bersamaan. Tetapi bagaimana makna perikop ini bila dibaca dalam konteks Indonesia yang hanya memiliki satu jenis mata uang, sebagai asal usul sebuah kewajiban berwarganegara?
Karya Yesus
Karya dan pengajaran Yesus memang ditujukan untuk siapa saja, yang percaya kepada-Nya. Karakter dan arah kehadiran-Nya bersifat “katholikos”, yaitu ‘melalui’ (Yun. katá) ‘keseluruhan’ (Yun. hólos), yaitu Yesus Kristus Sang Hólos, “segala kebenaran-Nya” menyebar ke seluruh “tanah kemanusiaan” (lih. Yoh. 16:13). Isi ajaran dan karya Yesus itu memang inklusif. Namun, beberapa ungkapan yang dipakai mengenai Dia, dalam Perjanjian Baru, bisa bersifat eksklusif, terkait dengan bahasa dan budaya zaman tertentu. Konteks ini yang harus dipakai untuk memahami perikop Mrk. 12:13-17.
Pada perikop ini, Yesus menekankan dua hal, yaitu kepemilikan dan kewajiban. Seluruh hidup kita adalah milik Allah. “Karena segalanya adalah pemberian-Mu, dan apa yang kami berikan ini adalah kepunyaan-Mu juga”, begitu doa Daud pada 1 Taw. 29:14. Dalam praktik Kekristenan, Paulus menafsirkannya: “Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan” (Rom. 14:8).
Setiap kepemilikan ada asal-usulnya. Kepada asal-usul itulah, kewajiban setiap ciptaan. Menurut iman, asal usul kita adalah Allah yang abadi. Keabadian itu membuat keputusan dan kewajiban kita kepada Sang Pencipta, bersifat mutlak. Menurut daging, asal usul kita adalah ayah-ibu, yang “dibentuk” oleh karakter keluarga, etnis, bangsa, dan negara. Karena kefanaan mereka, maka sifat kewajiban kita kepada mereka adalah temporalis, terkait dengan waktu yang menyejarah.
Paulus menggabungkan konteks keabadian dan temporalis ini dengan mengatakan: “Tiap-tiap orang harus ‘berada di bawah penyelenggaraan’ pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah” (Rom. 13:1; lih. juga ay. 2-7). Melalui Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, Konsili Vatikan II menyatakan: “Dengan demikian jelaslah negara dan pemerintah mempunyai dasarnya pada kodrat manusia, dan karena itu termasuk tatanan yang ditetapkan oleh Allah. Sedangkan penentuan sistim pemerintahan dan penunjukan para pejabat pemerintah hendaknya diserahkan kepada kebebasan kehendak para warganegara” (GS, art. 74).
Ajaran-ajaran di atas itulah yang menjadi dasar kewajiban untuk taat kepada pemerintah, meskipun sifatnya temporalis, ‘terbatas oleh waktu dan tempat’. Karakter temporalis inilah, yang memberi ruang untuk berbagai alternatif bentuk kewajiban dan ketaatan kepada negara. Kewajiban yang menyangkut pilihan ini, tidak pernah menjadi mutlak, karena manusia bukan malaikat, yang dunianya bersifat final (St. Thomas Aquinas).
Pilihan Bebas
Maka, pilihan kewajiban yang bersifat temporalis itu selalu mengandung unsur “minus malum” atau “minus bonum”. Kendati “minus-minus” itu ada dalam realitas setiap keputusan, namun Yohanes—yang cenderung ‘hitam-putih’—tetap menekankan pada jemaatnya, agar “alangkah baiknya jika engkau dingin atau panas!” (Why.3:15). Sedangkan pada mereka yang “suam-suam kuku (Yun. chliaros: setengah hati), dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan (Yun. eméō: menolak dan membuang) engkau dari mulut-Ku” (Why. 3:16).
Nah, ketika 17 April, kita, sebagai warga negara, datang ke TPS untuk memilih pemimpin negara, dan para wakil kita di lembaga legistatif, sebaiknya lebih dahulu diam sejenak merenungkan Rom. 13:1-7 dan Why. 3:15-16. Mari kita ingat pula kata-kata Mgr. A. Soegijapranata (1896-1963): “Jika kita merasa sebagai orang Kristen yang baik, kita semestinya juga menjadi seorang patriot yang baik. Karenanya, kita merasa bahwa kita 100% patriotik sebab kita juga merasa 100% Katolik. Malahan, menurut perintah keempat dari Sepuluh Perintah Allah, sebagaimana tertulis dalam Katekismu, kita harus mengasihi Gereja Katolik, dan dengan demikian juga mengasihi negara, dengan segenap hati” (G. Budi Subanar, Menuju Gereja Mandiri (2005), hlm. 82). Rasa atau kepekaan hati nurani itulah yang menjadi dasar kita untuk memilih bentuk-bentuk kehidupan ‘duniawi’ kita.
Henricus Witdarmono
HIDUP NO.16 2019, 21 April 2019