web page hit counter
Sabtu, 2 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Membentuk Karakter Sejak Dini

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Pengembangan anak usia dini yang holistik-integratif tidak akan mungkin terselesaikan bila umat Katolik hanya diam saja. Butuh inisiatif dan kerja keras berbagai pihak.

Saya masih ingat, ketika kami tinggal di Surabaya, ibu saya sangat aktif dalam gerakan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Ini terjadi pada tahun 80-an. Setiap Minggu saya melihat ibu bersama warga kampung menimbang anak-anak Balita. Perkembangan berat badan dan tinggi anak-anak itu dipantau. Kelompok ibu-ibu yang juga tergabung dalam pengurus kelompok Dasa wisma itu memberi mereka program gizi berupa kacang hijau. Kadang anak-anak itu menerima telur rebus. Kalau ada anak yang kurus, berat badan dan tingginya tidak bertambah, ibu saya memberi nasihat agar orangtuanya lebih banyak memberikan makanan yang bergizi seperti telur dan susu dengan cara menghemat kebutuhan keluarga yang lain. “Ini semua demi masa depan anak-anak itu sendiri,” kata ibu saya.

Ibu saya juga ikut mengajar anak-anak Balita yang ikut kegiatan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Waktu itu di tempat kami sekolah PAUD masih jarang. Warga berinisiatif mendirikan sekolah PAUD dengan memanfaatkan balai Rukun Warga (RW) sehingga anak-anak dari keluarga miskin yang tidak bisa menyekolahkan anak-anak mereka di PAUD atau Taman Kanak-Kanak berbayar bisa memperoleh pendidikan di PAUD yang dikelola ibu-ibu PKK.

Berbicara tentang pendidikan karakter sejak dini, saya salalu teringat apa yang dilakukan ibu saya bersama ibu-ibu PKK. Suatu ketika, saya bertanya pada ibu, yang biasa saya panggil mami. Saya bertanya agak kepo. “Mami kan cuma lulusan SPG. Apa bisa mengajar anak-anak PAUD denganbaik?”

Jawabnya sederhana. “Ya, bisalah. Kan kita belajar bersama. Yang penting kita buat anak-anak senang berkumpul, bermain, dan diajari berbuat baik,” jawabnya. Untunglah anak-anak yang ikut PAUD di balai RW berjumpa dengan para ibu yang baik, yang dengan segala keterbatasannya meluangkan waktu untuk mendidik anak-anak. Mereka mau belajar dan mencoba merefleksi terus menerus untuk memberikan layanan pendidikan yang baik.

Baca Juga:  Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus: Meletakkan Pondasi yang Kuat

Sampai sekarang, di usianya yang makin lanjut, saya masih sering mendapat berita lewat WA dari mami yang mengatakan bahwa ia sedang mengikuti seminar pendidikan karakter bersama para mahasiswa dari perguruan tinggi. Ibu saya sangat aktif. Tak mengherankan tahun lalu Ibu Risma memberi penghargaan kepada ibu saya sebagai Kader Pemberdayaan Perempuan tertua.

Bagi ibu saya, pendidikan merupakan hal yang penting yang harus diusahakan oleh setiap keluarga kristiani. Orangtua keluarga Katolik, tentu saja pertama-tama wajib mendidik anak-anaknya dalam iman Katolik sejak kecil. Membaptis anak sejak kecil adalah wujud tanggung jawab orang tua akan keselamatan anak, namun sekaligus sebuah kesadaran bahwa mendidik anak tidak bisa mengandalkan kekuatan manusiawi semata. Keluarga Katolik perlu mengandalkan Roh dan kekuatan Tuhan yang mendampingi anak-anak itu bertumbuh menjadi pribadi kristiani yang baik.

Perubahan Paradigma
Pendidikan PAUD bukan sekadar menjadi dasar kekuatan Gereja, melainkan juga dasar kekuatan sebuah masyarakat dan bangsa. Pemerintah semakin menyadari bahwa pendidikan tidak bisa hanya dimulai dari pendidikan formal Sekolah Dasar, melainkan sudah dimulai dari usia 0 tahun. Bahkan, sudah dimulai sejak individu berada dalam kandungan ibu dengan memberikan asupan gizi yang baik agar perkembangan otak pada masa emas di 1000 hari pertama tumbuh maksimal.

Perubahan paradigma terhadap PAUD tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 60 tahun 2013 tentang Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif (PAUD HI). Yang dulu disebut dengan istilah “pendidikan” sekarang diganti menjadi “pengembangan”. Sebab memang masa-masa 0 – 6 tahun bukanlah masa pendidikan, melainkan masa pengembangan.

Perpres menyatakan bahwa “peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam pencapaian tumbuh kembang optimal sangat ditentukan oleh kualitas perkembangan anak selama periode usia dini yaitu sejak janin sampai anak berusia 6 (enam) tahun yang terlihat dari meningkatnya derajat kesehatan dan status gizi, kecerdasan dan keceriaan, pematangan emosional dan spiritual, dan kesejahteraan anak.”

Baca Juga:  Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus: Meletakkan Pondasi yang Kuat

Perpres juga menyatakan bahwa “untuk menjamin pemenuhan hak tumbuh kembang anak usia dini, diperlukan upaya peningkatan kesehatan, gizi, perawatan, pengasuhan, perlindungan, kesejahteraan, dan rangsangan pendidikan yang dilakukan secara simultan, sistematis, menyeluruh, terintegrasi, dan berkesinambungan.”

Siapa yang bertanggungjawab mengimplementasikan ini? Tentu saja kita semua. Apa yang bisa dilakukan umat Katolik untuk membantu Pemerintah merealisasikan ideal pengembangan anak usia dini holistic-integratif secara lebih efektif?

Umat Katolik umumnya lebih beruntung dalam pendidikan. Baik itu dalam pendidikan keluarga, maupun dalam akses pendidikan formal. Yang jadi masalah adalah tidak semua masyarakat mengenyam kemewahan seperti keluarga kita. Apa yang bisa kita lakukan untuk membantu pembentukan karakter melalui PAUD di lingkungan kita?

Tentu saja, kegiatan sekolah minggu yang ada di paroki dan wilayah masing-masing perlu tetap dikembangkan dan dikelola dengan baik. Umumnya, PAUD yang dikelola Gereja, atau umat Katolik, sudah berjalan dengan baik. Namun ada satu hal yang seringkali membuat saya resah. Ini terkait akses dan kualitas pendidik PAUD di masyarakat.

Hanya anak-anak dari keluarga di kota-kota besar memiliki akses terhadap PAUD. Disparitas PAUD di pusat (kota besar) dan daerah sangat besar. Masih ada 25.000 titik di daerah terpencil tidak memiliki PAUD sehingga memaksa anak-anak langsung masuk Sekolah Dasar. Bahkan, anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus, penyandang disabilitas, tak memiliki akta kelahiran, dan berasal dari keluarga miskin tak memperoleh layanan PAUD yang memadai. Di Papua, hanya 1 dari 10 desa memiliki pusat PAUD. Ini berbeda dengan Yogyakarta yang di semua desa sudah tersedia PAUD.

Dari sisi pedagogis, saya melihat bahwa ideologi kekerasan dan radikal sudah mulai diajarkan di sejak dini. Anak-anak sudah disegregasi berdasarkan agama. Mereka juga mulai diajarkan memusuhi temannya yang berbeda agama oleh pengasuhnya dan gurunya.

Baca Juga:  Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus: Meletakkan Pondasi yang Kuat

Dari sisi partisipasi, hanya 32 persen dari sekitar 20 persen total populasi keluarga miskin yang ikut PAUD. Ini sangat timpang dibandingkan dengan 52 persen partisipasi dari 20 persen anak-anak dari keluarga kaya. Ini artinya, banyak keluarga miskin, di daerah, dan terpencil tidak memiliki akses PAUD yang sangat dibutuhkan demi meretas lingkaran kemiskinan.

Tiga Inisiatif
Menurut saya, umat Katolik bisa terlibat melalui 3 inisiatif. Pertama, lihatlah lingkungan sekitar anda. Apakah ada kantung-kantung kemiskinan yang membuat anak-anak keluarga miskin tidak bisa sekolah? Bersama umat lingkungan, pikirkan apa yang bisa dibantu untuk membantu keluarga miskin tersebut agar anak-anak mereka memperoleh layanan PAUD yang baik.

Kedua, bagi para guru Katolik yang mengajar di PAUD dan sekolah formal, apakah bisa menyisihkan waktu membantu sekolah-sekolah PAUD yang didirikan di masyarakat dan terlibat di sana seperti yang pernah dilakukan ibu saya?

Ketiga, bagi umat Katolik di lingkungan dan wilayah. Reksa pastoral lingkungan dan wilayah yang biasanya sangat eksklusif, pendalaman iman, sekolah minggu, misa, doa Rosario, Jalan Salib, bisakah diperkaya dengan karya pastoral yang bermanfaat bagi warga miskin di sekitar lingkungan dan wilayah anda terutama yang tidak memiliki akses PAUD yang memadai?

Pengembangan Anak Usia Dini yang holistik-integratif tidak akan mungkin terselesaikan bila umat Katolik hanya diam saja atas nasib anak-anak dari keluarga miskin yang tidak memeroleh akses memadai. Bila ingat anak-anak dari keluarga miskin yang tidak memperoleh pendidikan yang memadai ini, saya selalu teringat apa yang dilakukan ibu saya. Saya membayangkan betapa masyarakat kita akan menjadi lebih baik bila banyak umat Katolik terlibat di lingkungan RT/RW, melalui PKK, posyandu, dan mengajar Balita, seperti dicontohkan ibu saya.

Doni Koesoema A., Pemerhati Pendidikan

HIDUP NO.17 2019, 28 April 2019

ARTIKEL SEBELUMNYA
ARTIKEL SELANJUTNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles