web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Sekolah Transisi, Belajar Kompetensi Awal

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – PAUD dan TK sering dianggap sebagai sekolah transisi menuju sekolah formal. Kendati begitu, di PAUD anak belajar ragam kompetensi awal menjadi manusia dewasa.

Juanita sedang menimang bayinya. Sementara alunan musik klasik gubahan Wolfgang Amadeus Mozart melantun syahdu. Kebiasaan semacam ini ia lakukan sejak ia punya momongan. Bahkan, sebelum sang jabang bayi lahir, ia sudah membiasakan diri mendengarkan musik klasik. “Utamanya untuk menstimulus perkembangan otak anak bayi,” ujarnya.

Keinginannya memiliki anak cerdas telah membuat Juanita mengupayakan berbagai hal. Mulai dari memperdengarkan musik klasik, memberikan terapi pijat, dan terutama memberikan ASI eksklusif, dan makanan bergizi.

Terapi musik klasik berpotensi mengembangkan kecerdasan anak. National Academy for Child Development di Amerika Serikat selama 20 tahun telah menggunakan musik klasik bagi janin, bayi baru lahir, dan anak-anak di sekolah-sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Tujuannya untuk meningkatkan plastisitas saraf dan perkembangan otaknya.

Beragam penelitian membuktikan perkembangan kecerdasan anak erat berkaitan dengan pertumbuhan otaknya. Ada satu periode di mana otak manusia bertumbuh pesat; yakni dari saat konsepsi sampai anak berusia empat tahun. Kesempatan itu mungkin tak terulang lagi.

Masa Transisi
Ada banyak cara efektif yang bisa dibuat untuk menstimulus otak anak usia dini. Dalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hal itu juga bisa didapatkan. Pendapat ini setidaknya diamini Pemerhati Pendidikan Indonesia, Arif Rachman. “Tetapi bukan berarti stimulus otak bekerja hanya lewat suara saja, ada banyak cara efektif yang bisa dibuat. Dan semua itu bisa didapatkan dalam pendidikan PAUD,” ungkapnya.

Arif melanjutkan, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2019, tentang Standar Pelayanan Minimal bagi PAUD disebutkan, kesiapan sekolah merupakan satu bagian yang paling penting dalam fase pendidikan anak. Di Indonesia, istilah kesiapan sekolah lazim digunakan untuk merujuk kesiapan anak masuk Sekolah Dasar (SD), sekaligus masa transisi yaitu periode perpindahan dari Taman Kanak-kanak (TK).

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Masa transisi ini bukan masa yang mudah bagi anak, karena terdapat beberapa perbedaan tuntutan antara TK dengan SD. Arif menuturkan, paling tidak, selama masa transisi ini, anak dituntut untuk dapat melakukan berbagai pernyesuaian secara cepat dan tepat. Tuntutan lain adalah kegiatan di SD berlangsung lebih lama maka tuntutannya adalah bergerak cepat, fokus mendengarkan guru, dan meningkatkan kegiatan rutin di sekolah. Konsekuensinya kesempatan untuk istirahat makin berkurang.

Sementara di PAUD, hubungan interpersonal kepada guru dan teman sebayanya itu perlu diperhatikan. Kegiatan akademik bukan menjadi orientasi di tingkat PAUD. Prestasi akademik dituntut setelah seseorang masuk sekolah formal. Arif melanjutkan, banyak orang beranggapan, masa transisi paling utama sebelum sampai di Sekolah Dasar, bukanlah di Taman Kanak-Kanak, tetapi saat anak mengenyam pendidikan di sekolah PAUD. “Di sini kesiapan sekolah penting untuk memprediksi keberhasilan seorang anak agar bisa melanjutkan ke jenjang berikut. Di PAUD ini sekolah perlu mengatur ritme perilaku mereka agar transisi ini berjalan lancer,” jelas Arif.

Sebagai sekolah transisi, maka kesiapan cenderung berfokus pada kompetensi sosial. Selama di PAUD, anak diasah tidak saja kualitas kongnitif tetapi juga kualitas sosial dengan rekan sebaya. Ini menjadi prioritas penting. Dari hasil penelitian Professional Association for Childcare and Early Years (PACEY) sebagaimana dikutip dari pacey.org.uk mendapatkan hasil bahwa anak-anak yang berada di sekolah PAUD memiliki ciri-ciri antara lain diajarkan untuk percaya diri, memiliki rasa ingin tahu tentang dunia, keinginan untuk belajar serta memiliki ketrampilan sosial yang baik.

Hal ini berbanding terbalik dengan perilaku anak yang belum menempuh sekolah transisi yang kerapkali menunjukkan perilaku bermasalah di kelas, kurang peka terhadap teman dan guru, serta sulit berkomunikasi terutama menyatakan perasaan. Selain itu ada kecenderungan lebih besar untuk melakukan perilaku negatif seperti agresi fisik bahkan bisa merujuk kepada bullying.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Play Therapy
Senada dengan Arif, Rien Safrina dosen Fakultasi Pendidikan PAUD dari Universitas Negeri Jakarta memaparkan, dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I, Pasal 1, butir 14 dinyatakan, PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun. Pendidikan ini diberikan sebagai rangsangan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar siap menempuh pendidikan formal.

Ada berbagai upaya memberi rangsangan. Salah satu yang menonjol dalam pola asuh anak-anak PAUD adalah play therapy. Program pendidikan ini merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting dalam kehidupan anak-anak. Melalui permainan, anak dapat belajar untuk aktif, kreatif, dan inovatif. Permainan merupakan kegiatan yang dapat menstimulasi anak mengenal aturan masyarakat, mengenal nilai moral, mengenal bagaimana menghadapi berbagai masalah yang terjadi dalam berbagai kehidupan kelak. “Di sini anak juga diajarkan untuk mampu mengendalikan kemampuan emosi diri dengan baik. Tidak saja sekadar menangis tetapi juga mengungkapkan perasaan dominan yang dirasakan,” beber Rien.

Rien menyesalkan, terkadang pendidikan PAUD di Indonesia kurang sesuai dengan kurikulum yang ada. Harusnya, bentuk-bentuk permainan itu sesuai kompetensi sosial misal, solitary independent play (menonton orang lain bermain), pararer play (anak-anak berinteraksi dengan lingkungan baru), associative play (interaksi dengan berbicara atau saling mempengaruhi), atau cooperative play (belajar bekerjasama).

Dengan play theraphy ini, ujar Rien, diharapkan lahirlah kompetensi dasar yaitu kecerdasan interpersonal. Kecerdasan ini untuk membentuk kemampuan menciptakan, membangun, dan mempertahankan suatu hubungan antar pribadi yang sehat dan saling menguntungkan.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Kecerdasan interpersonal ini dapat membuat kita berpikir lebih keras menuju kesuksesan. Kecerdasan ini juga dapat memungkinkan seorang anak bisa memahami dan berkomunikasi dengan orang lain secara bebas, terbuka dengan tempramen yang tenang, dan motivasi tinggi. Rien menuturkan, ketrampilan yang ditampilkan di sini adalah anak akan memperlihatkan sikap lebih bebas dan memahami keunggulan dan kelemahannya.

“Harusnya juga pada tahapan ini, anak akan dilatih memberi reaksi positif pada isu-isu kontroversi secara mandiri. Bisa juga kemampuan untuk mencapai suatu tujuan dengan lebih terarah yaitu perkembangan fisik dan motorik seorang anak,” harap Rien.

Kurikulum Klasik
Dari data yang dikeluarkan Direktorat Pembinaan TK dan SD Kementerian Pendidikan, mengungkapkan bahwa pada tahun 2007 Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD/TK baru mencapai 26,68% dan sebagian besar pendidikan PAUD diselenggarakan oleh masyarakat (Swasta) yakni sekitar 98,7%. Hal itu menyiratkan bahwa terdapat masalah-masalah yang harus dikaji lebih jauh di antaranya masih lemahnya peran pemerintah dalam mengembangkan PAUD, serta masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pendidikan di usia dini.

Selain itu, ekspektasi masyarakat yang terlalu tinggi terhadap aspek kemampuan kognitif anak menyebabkan arah pengembangan pendidikan anak usia dini dianggap masih kurang tepat. PAUD pada hakekatnya adalah pendidikan yang berusaha mengembangkan seluruh potensi anak baik potensi kognitif, afektif maupun psikomotorik dengan cara-cara yang sesuai dengan masa perkembangannya, di antaranya belajar sambil bermain.

Salah satu kelemahan pendidikan PAUD di Indonesia adalah kurang mengeksplorasi ragam kurikulum yang ada. Banyak sekolah terlalu befokus pada kecerdasan konestetik di mana menggunakan gerakangerakan yang bagus seperti berlari, menari, dan menyanyi. Sepanjang hari anak akan disuruh menyanyi atau menggambar. “Padahal masih banyak metode pembelajaran yang bisa digunakan,” demikian Arief.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.17 2019, 28 April 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles