web page hit counter
Minggu, 22 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Menghayati Kebangkitan Lewat Warisan Misionaris

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Nusa Tenggara Timur kaya dengan tradisi Paskah, salah satunya datang dari Noemuti yang dikenal dengan Tradisi Kure.

Derap langkah kaki umat Paroki Hati Kudus Yesus Kote-Noemuti, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Keuskupan Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT) terdengar kencang. Tepat saat lonceng berdentang jam 06.00 sore, umat berbondong-bondong menuju rumah adat (ume uis neno).

Pada hari Rabu sebelum memasuki masa Triduum, mereka memiliki kebiasaan untuk melakukan ritual pengosongan diri (boe nekaf) yakni Trebluman. Utusan para rumpun suku yang tergabung dalam ume uis neno, berkumpul bersama untuk berdoa, merenung, dan menyesali dosa di gereja.

Saat di dalam gereja, umat Noemuti menyalakan 13 lilin berbentuk kerucut mengelilingi altar yang melambangkan Yesus dan 12 rasul. Tiap dua lilin dipadamkan di setiap akhir lagu, hingga hanya lilin ke-13 yang dibiarkan menyala dan disimpan di bawah altar. Pada saat yang bersamaan, lampu gereja dipadamkan dan lonceng gereja dibunyikan tiga kali.

Saat lonceng berdentang, mereka bergegas menuju rumah adat. Pastor Rekan Paroki Noemuti yang bertugas pada November 2017 hingga November 2018, Pastor Yohanes Meak berujar, perayaan dimulai dengan pengusiran roh jahat. Ia melanjutkan, sampai di sana umat akan memukul dinding rumah adat sambil menyerukan, “poi ri rabu..!” yang artinya ‘enyahlah roh jahat!’ Ritus pembuka ini merupakan awal dari pembukaan Tradisi Kure yang telah diwariskan dari nenek moyang.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Tradisi Tua
Paroki yang di daulat sebagai paroki tertua di TUU ini merupakan salah satu titik karya misionaris Portugis untuk menaburkan benih Sabda Allah ratusan tahun silam. Tradisi Kure menjadi ikon sentral paroki ini. Usai melakukan ritus awal, umat menghiasi rumah adat dengan janur lalu kembali pulang.

Memasuki Kamis Putih, masing-masing umat yang mewakili 18 suku , yakni suku Salem, Meol, Neonbanu, Helo, Kosat, Silab, Mandosa, Meko, Oetkuni, Taesmuti, Menbam, Uskono, Vios, Woesala, Laot, Lopis, Nitjano, dan Manhitu ini mengeluarkan perlengkapan rohani warisan misionaris Dominikan dan Fransisikan. Warisan itu terdiri dari Patung Yesus, Bunda Maria, St Antonius Padua, Salib, dan Rosario. Patung-patung ini terbuat dari batu dan kayu. Benda-benda rohani yang dikeluarkan ini kemudian dibersihkan.

Pembersihan sarana rohani tersebut dimulai dengan prosesi pengambilan air di kali tempat pertemuan dua kali besar Noemuti yang sebelumnya didahului dengan upacara adat. Air diangkut menggunakan kendi tanah liat. Berpasang-pasangan, setiap suku yang terlebih dahulu berkumpul di gereja dan berdoa untuk pengambilan air oleh pastor.

Dua batu pipih juga diambil untuk menghaluskan batang tebu yang akan digunakan menjadi sikat pembersih. Ritual ini dikenal dengan nama “Taniu Uis Neno” atau memandikan patung-patung, salib suci serta benda kudus lainnya. Prosesi ini dimulai sekitar pukul 07.00 pagi.

Air dari hasil pembersihan benda rohani tidak dibuang begitu saja. Air itu digunakan umat untuk membasuh wajah, tangan, dan kaki. Selain saat membersihkan patung dan benda rohani, ritual ini juga melambangkan pembersihan dini.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Diakhiri Misa
Rangkaian prosesi kemudian dilanjutkan setelah mengikuti Misa Kamis Putih. Prosesi ini mengajak umat untuk doa bergilir dan berkeliling dari tiap rumah adat yang dikenal dengan sebutan “Kure”. Kata Kure diserap dari kata Perancis yakni cure, yang berarti orang yang bertugas untuk menangani urusan pemeliharaan rohani umat beriman dalam wilayah tertentu.

Selama prosesi Kure, umat atau anggota masyarakat dibagi ke dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok akan mengadakan kunjungan ke setiap rumah adat seperti prosesi untuk berdoa secara bergilir. Dahulu doa untuk presesi ini dibuat sendiri oleh umat. Namun mulai tahun 2018, tata doa disusun secara bersama. Jika doa keliling belum selesai di hari Kamis, maka umat akan melanjutkan prosesi tersebut setelah Ibadat Jumat Agung.

Setiap pendoa yang datang akan diberikan suguhan makanan ringan berupa tebu, mentimun, jeruk, dan ut moruk (terbuat dari jagung diolah bersama terigu dan kelapa parut lalu digoreng garing disajikan bersama gula). Makanan ini merupakan simbol perdamaian di mana tebu melambangkan senjata; jeruk sebagai peluru; mentimun sebagai granat; dan ut moruk mesiunya.

Memasuki hari Sabtu, semua kegiatan ditiadakan dan menjadi tenang. Kunjungan tidak diberlakukan lagi. Kemudian pada hari Minggu, setelah Misa Paskah diadakan prosesi pembersihan (Sef Mau). Setiap sisa makanan dan alat prosesi yang masih ada akan dikumpulkan dan dihabiskan bersama di gereja lalu jika masih ada sisa akan dibuang bersama di kali. “Jadi segala bentuk kelemahan, kerapuhan, yang ada dalam satu suku itu dibersihkanlah intinya dosa Mereka dibersihkan lalu dibuangnya ke kali. Itulah Paskah bagi mereka,” ungkap Pastor Yohanes.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Keyakinan Umat
Keyakinan umat Noemuti terhadap peninggalan benda rohani menjadi bukti iman yang nyata. Pada umumnya, banyak umat Katolik NTT masih mengagungkan alat perang seperti pedang dan parang sebagai benda supranatural. Bagi umat Noemuti, benda itu adalah benda rohani peninggalan misionaris. Mereka percaya setiap doa akan dikabulkan saat prosesi Kure.

Tradisi Kure khususnya Sef Mau mengajak umat agar segala kebahagiaan dan kelebihan harus dinikmati bersama. Segala kekurangan yang terjadi selama kebersamaan hendaknya dilupakan dan dibuang bersama. “Jadi kekurangan menjadi kekurangan kita dan kelebihan menjadi kelebihan kita dan itu harus dibersihkan tidak boleh diingat lagi,” ungkap pastor asal Belu ini.

Keseluruhan Tradisi Kure menggambarkan proses metanoia di mana segala kesalahan masa lalu dimaafkan untuk dilupakan agar dapat membuka lembar baru perdamaian seperti Kristus yang bangkit mengalahkan maut. “Nilai kekerasan telah diganti menjadi nilai cinta kasih. Jika dulu mereka saling mengunjungi untuk membinasakan, sekarang saling mengunjungi untuk saling mendoakan dan meneguhkan,” tandas Pastor Yohanes.

Felicia Permata Hanggu

HIDUP NO.16 2019, 21 April 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles