HIDUPKATOLIK.com – Hingga Selasa (21/5) dini hari KPU berhasil menyelesaikan rekapitulasi penghitungan suara dari 34 provinsi di Indonesia dan 130 PPLN dan sesuai data Hasil Rekapitulasi Suara Nasional Pemilu 2019.
Sebagaimana dibacakan oleh anggota KPU RI Evi Novida Ginting Manik, untuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), Pasangan 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin memperoleh suara akhir 85.607.362 suara (55,50%) sementara Pasangan 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno memperoleh suara akhir 68.650.239 suara (44,50%).
Berkaitan dengan hasil rekapitulasi tersebut, Ketua Badan Pengurus SETARA Institute Hendardi memberikan siaran pers pada Selasa, 21/5/2019:
- Penetapan hasil Pilpres 2019 sudah dilakukan oleh KPU pada dinihari tadi. Hal ini merupakan momentum penting bagi seluruh elemen demokrasi Indonesia untuk mencermati artikulasi mandat rakyat kepada penyelenggara negara.
Penetapan KPU merupakan satu-satunya rujukan yang legitimate mengenai hasil Pemilu. Jika kontestan Pemilu tidak puas dengan hasil Pilpres yang ditetapkan oleh KPU, maka para kontestan dapat menggunakan satu-satunya saluran memperjuangkan keadilan elektoral dan mempersoalkan ketidakadilan—termasuk dugaan kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif, yaitu dengan mengajukan sengketa hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi.
2. Demikianlah aturan main demokratis yang sudah disepakati oleh para kontestan Pemilu, jauh sebelum tahapan Pemilu dilaksanakan. Oleh karena itu, setiap upaya untuk menggunakan cara-cara di luar mekanisme konstitusional yang disediakan oleh aturan main yang disepakati pada dasarnya merupakan tindakan pengkhianatan atas kesepakatan kolektif yang sudah dituangkan dalam seluruh peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan Pemilu dan penegakan keadilan di dalamnya.
3. Aksi massa yang akan dilakukan oleh salah satu kontestan Pilpres pada 22 Mei melalui mobilisasi pendukungnya merupakan tindakan yang secara konstitusional cacat prosedural. Sebab aturan main Pemilu tidak menyediakan prosedur jalanan untuk mempersoalkan hasil Pemilu.
Dalam konteks itu, unjuk rasa yang didorong oleh kekecewaan atas proses dan hasil Pemilu hanya perlu dibaca sebagai hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, bukan mekanisme demokratis tambahan untuk mengartikulasikan kedaulatan rakyat setelah pemungutan suara pada 17 April yang lalu.
4. Dengan perspektif tersebut, maka pemerintah dan aparat keamanan seharusnya menjamin penikmatan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi biasa, sesuai dengan koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sesuai dengan regulasi yang relevan untuk itu, maka aksi demonstrasi dimaksud mesti dilakukan secara damai dengan tidak merusak tertib sosial, tertib politik, dan tertib hukum yang berlaku. Dengan demikian, setiap tindak pidana dan melawan hukum dalam aksi unjuk rasa tersebut harus direspons dengan penegakan hukum yang tegas, adil, dan memberikan efek jera.
5. Berkaitan dengan itu, publik semestinya tidak menjadikan aksi dari sekelompok kecil warga pendukung (voters) itu sebagai aspirasi demos secara keseluruhan. Publik hendaknya tenang dan tidak terprovokasi dengan berita-berita bohong dan provokatif di media sosial, terutama dari dan yang mengatasnamakan tokoh-tokoh yang sesungguhnya bukan kontestan dalam perhelatan Pemilu, lebih-lebih mereka yang sejak awal memang nyata-nyata menjadi penumpang gelap Pemilu dengan menjadikan dukungan politik yang diberikan kepada kontestan sebagai alat bargaining dan negosiasi demi kepentingan politik dan ideologis kelompok dan jaringannya semata.
6. Kepada aparat keamanan SETARA Institute mengingatkan mereka untuk memperlakukan provokator-provokator sebelum dan pada saat aksi unjuk rasa tanggal 22 Mei sebagaimana provokator-provokator pada aksi demonstrasi pada umumnya. Penegakan hukum harus dilakukan terhadap mereka, lebih-lebih jika provokasi tersebut mengancam keselamatan pejabat negara seperti Presiden, membahayakan keamanan negara, mendelegitimasi pemerintahan negara, dan menghasut agar terjadi kerusuhan.
Namun begitu, tindakan penegakan hukum atas mereka, seperti dalam bentuk penangkapan dan penahanan, harus dilakukan secara presisi berdasarkan atas bukti permulaan yang memadai.
7. Aparat keamanan juga mesti diimbau untuk senantiasa waspada dan tidak segan-segan menggunakan kerangka hukum pemberantasan terorisme terhadap kelompok-kelompok radikal dan jaringan teroris yang berusaha untuk menjadikan kegagalan politik penumpang gelap dalam Pemilu sebagai momentum untuk melakukan aksi-aksi yang mengancam keselamatan publik dan mengganggu keamanan negara.
8. Elite politik nasional hendaknya memelihara kedamaian dan suasana kondusif dengan tidak menghasut penggunaan aksi-aksi jalanan dan tindakan melawan hukum sebagai respons atas proses dan hasil Pemilu 2019.
Hajatan elektoral kelima pasca reformasi ini jelas belum ideal, tapi sudah menunjukkan tata kelola yang semakin melembaga dengan sistem pengawasan yang berlapis dan berjenjang serta dengan penyediaan institusi dan mekanisme penegakan keadilan elektoral, baik substantif maupun prosedural, yang lebih baik melalui Bawaslu, Gakkumdu, DKPP, dan MK.
Di samping itu, publik pada umumnya menunjukkan sikap politik yang lebih matang terkait politik elektoral. Dalam situasi demikian, elite politik hendaknya membuang jauh setiap skenario politik yang menarik mundur kemajuan politik dan peradaban publik yang sudah semakin baik pasca reformasi.
9. Elemen masyarakat sipil, termasuk ormas-ormas keagamaan, hendaknya memelihara kemurnian politik elektoral dari infiltrasi kelompok konservatif yang menggunakan agama dan doktrin-doktrin keagamaan untuk kepentingan sektarian kelompok keagamaan tertentu.
Dalam konteks itu, SETARA Institute mengapresiasi setinggi-tingginya PBNU dan PP Muhammadiyah yang mengeluarkan sikap resmi untuk; tidak mendukung aksi massa terkait pengumuman hasil Pemilu 2019, tidak mendelegitimasi penyelenggara Pemilu, dan mengimbau agar digunakan mekanisme konstitusional yang tersedia untuk memperjuangkan keadilan elektoral.
Editor: AB