Maka salah satu pastoral yang diwujudukan Mgr Eugéne adalah pastoral kehadiran. Ia ingin umatnya merasakan secara nyata kehadiran pelayan-pelayan pastoral. Lebih dari itu, program pendampingan kepada umat juga diseruhkan kepada para imam yang berkarya di Nikopoli. Ia meminta mereka secara intens hadir dan melayani umat.
Namun, pastoral yang dikembangkan Mgr Eugéne ini justru dilihat sebagai sebuah ancaman oleh Partai Komunis Bulgaria. Sejak mengetahui sepak terjang Mgr Eugéne, maka seketika itu juga nyawanya terancam. Partai Komunis Bulgaria berniat menghabiskan nyawa uskup pribumi ini.
Ancaman ini tidak membuat Mgr Eugéne surut. Ia telah siap akan konsekuensi atas pelayanannya. Seberat apapun penderitaan yang akan ia hadapi, itu tak lebih berat dari perjuangan umatnya menahan lapar dan haus karena membela Kristus. Alhasil, keberanian Mgr Eugéne mempertahankan iman Katolik dengan sendirinya menjadi penyubur bagi benih-benih iman di Nikopoli. Ia tak peduli meski nyawa taruhannya. Baginya mati untuk Kristus adalah sebuah kemenangan.
Siap Mati
Suatu hari, Mgr Eugéne melakukan perjalanan ke Belanda ke tempat di mana ia menghabiskan masa pendidikan di Seminari Menengah Pasionis. Saat itu, ia pun memimpin Misa besama Yacobus Cornelis Stoop (seorang yang kemudian ditahbiskan menjadi imam Pasionis dan diutus ke Indonesia). Dalam khotbahnya, Mgr Eugéne bercerita bahwa ia telah siap menghadapi kematian.
Di tengah gejolak di Bulgaria, para konfrater memintaya untuk tetap tinggal di Belanda. Namun, Mgr Eugéne sudah bulat tekadnya, ia pun kembali ke Keuskupan Nikopoli.
Sekembalinya dari Belanda, Mgr Eugéne ditangkap oleh Tentara Komunis pada 3 Oktober 1952. Saat itu juga, ia dipaksa melepaskan imannya. Tentu Mgr Eugéne tak bergeming. Ia bahkan dengan tegas menolak permintaan dan tawaran-tawaran menarik andaikata dirinya menyangkal imannya.
Saat mendengar penangkapan ini, ribuan umat Nikapoli pun bersedih. Mereka menangisi uskup mereka, seorang figur kebapaan dan gembala sejati. Sayang, tak banyak yang dapat diperbuat mereka bagi sang uskup. Sebaliknya, Mgr Eugéne terus meneguhan mereka dengan berkata. “Penguasa bangsa-bangsa lalim boleh membunuh nyawa kita, tetapi mereka tidak akan dapat membunuh iman kita,” katanya menguatkan ribuan umatnya yang bersedih.
Kata-kata ini sekali lagi membuktikan, Mgr Eugéne telah siap menghadapi maut. Ia adalah gembala yang tak lari meninggalkan dombanya, bahkan saat kematian menjadi taruhan. Pada saat itu juga, ia sadar saatnya telah tiba. Mgr Eugéne wafat sebagai martir Kristus pada 5 Oktober 1952. Ia dieksekusi di hadapan regu tembak di Penjara Sophia, Bulgaria. Sayang hingga kini, jazad Mgr Eugéne tak ditemukan.
Proses beatifikasi Mgr Eugéne dimulai pada 27 Juni 1975. Momen ini ditandai sebuah pertemuan antara Presiden Bulgaria Todor Zhikov dan Paus Paulus VI. Kongregasi Penggelaran Kudus Vatikan meluluskan proses beatifikasi ini tahun 1980. Dekrit beatifikasi disetujui Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1994. Mgr V Eugéne dibeatifikasi di Roma pada 5 Maret 1998.
Fr. Dismas Kwirinus CP/Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP NO.15 2019, 14 April 2019