Ia lalu memegang jenazah tersebut, dan seketika itu juga jenazah tersebut melemaskan tangannya, pakaian bisa dikenakan. “Keluarga sambil menangis, memeluk, mencium, dan mengucapkan terima kasih,” kenangnya.
Domi sudah banyak makan garam merawat jenazah, termasuk orang yang meninggal karena tak normal, seperti kecelakaan, pembunuhan, atau bunuh diri. “Kalau kecelakaan dan pembunuhan, bagian-bagian tubuhnya ada yang terlepas bahkan hancur. Namun, bagaimana caranya, saya usahakan sebisa mungkin agar tubuhnya tampak utuh kembali seperti semula,” katanya.
Ia mengaku yang paling berat adalah otopsi. Ada jenazah yang diambil kembali dari dalam kubur untuk diselidiki. Aroma jenazah itu yang paling menjadi tantangan.
Sebagai karyawan RS, Domi tak hanya merawat jenazah orang Kristiani. Ia juga menangani jenazah beragama Islam. “Saya berdoa dalam hati secara Katolik seperti saat merawat jenazah lain,” ungkap umat Paroki Spiritus Santu Misir ini.
Memang tidak ada ritual khusus berupa rangkaian doa yang dilalukan. Namun, bagi Domi, doa pribadi dalam hati adalah hukum wajib baginya selama merawat jenazah.
Menangani jenazah yang beragama Islam, Domi beberapa kali kesulitan saat menggunting kain kafan. Proses tersebut tak bisa sembarangan. Domi pun membuka diri terhadap keterbatasannya itu. Ia “berguru” kepada sejumlah haji di Maumere untuk mengatasi kendalanya.
Bayaran yang ia terima sebagai perawat jenazah tak sebanding dengan jasa yang telah dilakukannya. Ia tak bisa mengandalkan hidup hanya dengan profesi itu. Setelah tugasnya di RS selesai, ia menyambi pekerjaan lain demi bisa menguliahkan kedua kedua putrinya di salah satu universitas di Maumere. Domi ingin terus menjadi perawat jenazah. “Ini adalah pelayanan saya dan sudah menjadi bagian dari diri saya,” ujarnya.
Keterlibatan Orang Muda
Tak banyak orang muda yang terlibat atau mau bergabung sebagai relawan pelayanan kematian di lingkungan, wilayah, atau paroki. Satu dari jumlah yang sedikit itu adalah Immanuel Guido Fan Areso.
Tahun 2015, pria kelahiran Jakarta, 15 Desember 1986 itu diminta oleh ketua lingkungan menjadi pengurus St Yusuf (pelayanan kematian) di lingkungan. “Ketua Lingkungan meminta ada orang muda di dalam kepengurusan (St Yusuf ) agar lebih cekatan ketika harus keliling menagih iuran St Yusuf. Selain itu, agar saya bisa mengenal dan lebih aktif di lingkungan,” ujar umat Lingkungan Fransisco 4, Paroki St Arnoldus Janssen Bekasi, Keuskupan Agung Jakarta, Kamis, 4/4.
Ido, demikian panggilannya, memang belum sempat memandikan dan memakaikan busana untuk jenazah. Selama ini, ia menangani berkas administrasi jenazah mulai dari tingkat RT hingga ke kantor Tempat Pemakaman Umum (TPU). Peranannya juga amat vital. Jika ia tak menjalankan fungsinya secara baik, jenazah bakal terhambat untuk dimakamkan. Kesalahan kerap kali muncul karena semasa hidup orang yang meninggal atau keluarga acuh mengurus dan merapikan administrasi.
Kejadian seperti itu Ido alami saat baru menjadi pengurus St Yusuf. Alkisah, ada umat di lingkungannya meninggal. Umat tersebut berdomisili di Bekasi tapi masih ber-KTP Jakarta. Proses mengurus berkas tersebut menguras banyak energi. Ido harus bolak-balik Jakarta-Bekasi. Beruntung, semua rampung dalam sehari.
Dengan kejadian ini, Ido menyarankan agar umat tak meremehkan persoalan administrasi kependudukan. Ia juga mengajak umat untuk tertib membayar iuran St Yusuf. Sebab, uang tersebut untuk peruntukan pribadi yang bersangkutan. “Jangan menganggap remeh soal itu. Kadang, kesulitan merawat jenazah datang dari diri atau keluarga sendiri,” pungkasnya.
Yanuari Marwanto
Laporan: Hermina Wulohering (Maumere)
HIDUP NO.15 2019, 14 April 2019