HIDUPKATOLIK.com – Tak banyak umat yang mau terlibat sebagai relawan pelayanan kematian. Mengurus jenazah agar lapang ke hunian terakhir dan pantas saat menghadap Sang Pencipta. Kendala kadang muncul dari diri sendiri atau keluarga.
Agustinus Beda Dua masih duduk di balik kemudi siang itu. Tiba-tiba, telepon genggamnya berdering. “Pak Beda, ada umat yang meninggal di Wilayah X (nama disamarkan). Tolong disurvei dulu Pak jenazahnya,” kenang pria kelahiran Flores, 2 Agustus 1962 itu, ketika menerima panggilan dari Ketua Tim Pelayanan Kematian Paroki St Bartolomeus Taman Galaxy, Keuskupan Agung Jakarta.
Selesai menjalankan tugas, Beda, yang saban hari menjadi pengemudi antar jemput, segera meluncur ke rumah duka. Batinnya usai mengantar murid, Beda meluncur ke rumah duka. Saat memasuki kompleks perumahan tersebut, ia sempat mangkel dengan seorang warga. Persoalannya sepele. Ia menerima respons tak ramah saat menanyakan lokasi rumah duka.
Begitu tiba di rumah duka, perasaan Beda yang dongkol tiba-tiba berubah. Ia mengaku agak kaget ketika melihat roman jenazah. Matanya melotot dan memamerkan giginya. “Ibu punya pegangan, Pak,” ungkap Beda, mengulang informasi yang diterimanya dari salah satu keluarga yang berduka.
Pakai Susuk
Tak hanya menyaksikan rupa jenazah yang tak lazim. Aroma di dalam rumah duka juga tak sedap. Bau itu berasal dari tubuh orang yang meninggal. Rupanya, Beda mendapat informasi dari beberapa keluarga, umat lingkungan, dan warga di sana bahwa almarhumah memakai susuk semasa hidup.
Jenazah tak bisa langsung dimandikan. Beda mengajak beberapa relawan pelayanan kematian untuk berdoa. Mereka merapal doa Tobat, Kerahiman Ilahi, dan Aku Percaya. Setelah itu, Beda mencabut susuk dari wajah jenazah. Bentuk benda itu seperti jarum. Tak hanya di muka, almarhumah juga memasang susuk di bagian perut. Di bagian tersebut, Beda meminta bantuan kepada seorang relawan yang berusia jauh di atasnya. “Saya tak mampu mengambil itu,” aku Beda.
Ada perubahan wajah dan bentuk tubuh setelah susuk dikeluarkan. Muka orang yang meninggal itu menjadi tua. Perut jenazah yang sebelumnya ramping tiba-tiba bergelambir. Usai urusan tersebut, jenazah langsung dimandikan. Karena yang meninggal perempuan, maka yang memandikan jenazah juga kaum perempuan. Ada dua relawan yang menangani.
Selama memandikan hingga memasukan jenazah ke dalam peti, terang Beda, para relawan pelayanan kematian mendaraskan doa. Hal yang sama juga mereka lakukan begitu hendak meninggalkan jenazah. “Kami mohon perlindungan kepada Tuhan agar sesuatu yang tak baik atau tak diinginkan menimpa kami,” harap Beda.
Pada kesempatan lain, Beda juga sempat merawat orang yang meninggal karena penyakit. Tubuh orang itu amat kurus. Tubuhnya juga sudah mengeluarkan aroma tak sedap karena ditemukan setelah dua hari meninggal. Setelah dimandikan, keluarga meminta Beda untuk membungkus jenazah dengan plastik. Kasus seperti ini baru pertama kali Beda alami.