HIDUPKATOLIK.com – Aku mencintai seorang perempuan. Aku mencintainya dengan sempurna, sesempurna gambaran cinta di film-film India yang sering kutonton di masa remaja. Setiap hari penuh dengan bunga. Setiap hari penuh dengan lagu dan tarian. Setiap hari penuh dengan senyuman. Setiap hari berwarna. Itulah gambaran kesempurnaan cinta bagiku.
Perempuanku ini bukan perempuan biasa. Dia datang dari keluarga yang bisa kubilang ketat. Ayahnya seorang pegawai kemiliteran. Ibunya seorang guru. Informasi ini kudapat dari akun media sosialnya. Tentang saudara saudarinya pun tidak kuketahui. Mereka bertempat tinggal bukan di daerah kelahiran orangtua mereka. Itu terjadi karena sang ayah mendapat tugas di tempat tersebut. Perempuanku dan adik-adiknya lahir di sana, sekalipun dia tidak pernah menyangkal asal muasal darah yang mengalir di nadinya, yang dia catatkan di setiap akun media sosialnya.
Aku mencintainya dengan begitu sederhana pada awal mulanya. Sesederhana derit pintu tua. Begitu sederhananya hingga waktu diulur sebab tak ingin pada esok. Padahal pertemuan pertama kami bukanlah pertemuan yang menghebohkan. Tidak ada kata. Senyum pun tidak. Wajahnya manis, khas. Itulah kata bagiku. Kata yang tidak terkatakan tapi terpahami. Itu yang membuatku enggan dekat apalagi harus terlebih dahulu menyapanya. Maklum, wajahku yang biasa-biasa ini tidak perlulah mendapatkan perhatian darinya.
Hampir setiap sore dia datang mengunjungi lahan perkebunan mereka. Kebetulan kebun itu dekat rumah kami. Dia datang ditemani beberapa teman yang kukenali. Dari mereka inilah aku mengenalnya. Sekali lagi, mengenalnya secara tidak langsung.
Waktu yang berjalan tidak mau tahu itu, menempatkanku sebagai orang yang mencintainya, walau masih dalam hati. Atau lebih tepatnya, aku mengaguminya. Dia yang selalu datang, akhirnya mau dibukakan percakapan. Aku menanyakan beberapa hal formalitas, seperti asal, tempat kuliah, apa lagu kesayangannya, dan tetak bengek lainnya. Dari setiap jawabannya, dia bukan pribadi yang terlalu tertutup. Dari setiap jawabannya, sinyal positif kuterima. Dari sanalah petualangan cinta kami dimulai. Dari sanalah hari penuh warna itu dimulai.
Tidak ada hari tanpa mendengar suaranya. Tidak ada hari tanpa mendengar suaraku. Apa yang kulakukan diketahuinya. Apa yang dia lakukan kuketahui. Ini lumrah ternyata bagi pasangan pacaran baru seperti kami. Banyak sekali mimpi yang dilukiskan di udara. Pertemuan langsung bagi kami, adalah tatapan-tatapan afirmatif akan kata-kata yang sudah kami jajaki, mungkin semalam, atau kemarin, atau minggu lalu. Mata kami mencari cara supaya cinta ini tetap, cinta ini tidak beralih.
Jika timbul keganjilan dalam setiap tatapannya, kami mencari penjelasan dalam percakapan-percakapan panjang di udara. Percakapan yang terjadi setiap hari. Percakapan yang tidak pernah membosankan. Percakapan hingga menjemput pagi, membuat malam pun cemburu. Memang tidak mudah bagi kami untuk menyatakan di depan publik status percintaan itu. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa harum cinta kami tercium beberapa hidung yang peka, tapi enggan mengeksekusi keputusan. Tapi biarlah, kita tinggalkan mereka dengan segala macam prasangkanya, yang sekalipun benar itu.
***
Kebahagiaan kami itu hanya berjalan 783 hari. Setelah lulus kuliah, perempuanku ini pergi tanpa meninggalkan goresan. Gersang hati, luruh jiwa, menghiasiku. Warnawarni berubah menjadi layar abu-abu. Semuanya hambar. Seperti suatu sore awan tergambar di ujung timur menemani langkahku gontai menyusuri lorong-lorong duka di belahan kota asing. Aku hanya menjumpainya sebatas foto masa lampau di akun yang kami buat sebelum kata pisah menjarakkan tubuhku dengan tubuhnya. Tentang aku, tidak lagi diketahuinya. Tentang dia, aku tak pasti.
Hingga suatu waktu, ketika dalam perjalananku pulang menyusuri kota di malam hari, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri sebuah kecelakaan tabrak lari. Jalanan sepi. Kota ini seperti dibangun atas banyak jiwa yang berlupa. Semua orang sudah tidur. Hanya aku dan sebuah sepeda motor setengah rusak di depanku. Tubuh yang ditabrak itu tak kelihatan bagiku. Setelah mendekat, mataku mencari-cari tubuh pemilik sepeda motor itu. Karena tidak punya pilihan lain, aku mencari dan menemukan tubuh itu.
Tubuh yang terlempar jauh sekitar seratus meter itu, tidak bergerak, seorang perempuan, berlumuran darah, tangannya masih hangat. Dengan sekuat tenaga, aku menggendongnya menuju jalan raya. Menunggu sekitar tiga menit, lewatlah sebuah sepeda motor dari arah berlawanan. Dengan beberapa kalimat permohonan, kami diantar menuju rumah sakit di kota itu. Aku kasihan pada perempuan ini. Perempuan yang malang di sebuah kota yang diam. Di mana orang-orang ini? Sembunyi? Di ujung doa pun tidak. Di bibir harap pun nihil.
Beberapa saat setelah tiba di rumah sakit, aku melihat sebuah gelang yang mengingatkanku pada hari warna-warni itu. Aku terdiam, tak dapat berbicara. Wajah berlumuran darah itu, kini sudah bersih. Dan aku mengenalnya. Dialah perempuanku. Perempuan yang ternyata masih mengenakan gelang pemberianku beberapa tahun silam.
Aku bertanya, apakah ini benar gelang itu atau hanya sebuah kebetulan kemiripan? Kalau memang ia, apakah dengan begitu, dia masih ingat akan hari-hari penuh warna itu? Aku memberikan gelang itu kepadanya pada saat ulang tahunnya. Selain gelang buatanku itu, sebuah buku yang penuh dengan puisiku juga kuberikan. Aku membungkusnya dengan kertas koran bertanggal 12 Februari 2010. Tanggal di mana kami untuk pertama kalinya saling sapa di sebuah akun media sosial, saat belum mengenal. Lima tahun kemudian kami berjumpa dan bercerita tentang pesan-pesan serius waktu itu. Dan kami tertawa.
“Pak, Pak, Pak, apakah anda mengenal perempuan ini? Dia tidak punya tanda pengenal,” dokter laki-laki itu membuyarkan nostalgiaku.
“Ya, ya, ya dia istriku,” aku menjawabnya spontan. Tentu saja perempuan ini adalah istriku dalam mimpi yang pernah kami rajut, walau mimpi yang usang. Aku berusaha menjadikan hari itu seperti sepuluh tahun yang lalu.
“Bagaimana, Dok?”
Penjelasan dan detail yang dokter berikan tidak aku pedulikan. Lalu aku menandatangani beberapa lembar surat tanpa ditanyakan bukti perkawinan kami. Keadaan kritis ternyata membuat beberapa orang lupa akan prosedur apalagi formalitas.
Tiga kantong darah sudah keluar dari tubuhku. Aku pusing. Aku tertidur. Aku terjaga setelah seorang perawat datang dan memintaku menemui dokter. Di sana, di ruang yang serba putih itu hanya aku dan sang dokter. Sang dokter menginformasikan kondisi perempuanku. Dia butuh pertolongan segera. Dua jam ke depan adalah waktunya, selebihnya dokter pun takut membayangkan. Setelah dokter, kini gilirannku. Aku mengatakan semuanya. Aku mengatakan kebenarannya. Aku bahkan mengutuki diriku sendiri. Di ujung prosesi pengakuan itu, aku meminta kepada sang dokter untuk menjaga kalimat-kalimatku, sampai waktu yang menurutnya tepat.
Operasi pun dimulai. Pertama-tama adalah tubuhku. Baru setelah itu tubuh perempuanku. Sebelumnya aku bertekad untuk menambah bukan hanya dua jam, tetapi berjam-jam bagi perempuanku. Sekalipun harus kuambil waktu yang untukku, untuknya.
***
Keesokan harinya, dari kamar sebelah aku melihat beberapa orang mengelilingi perempuanku. Aku berdiri hendak mendekat, tapi enggan. Enggan seperti pertama kali aku melihat perempuanku. Aku bukan siapa-siapa. Kulihat dia duduk dan mencoba tersenyum. Senyuman itu seperti senyuman ketika hari ulang tahunnya. Senyuman yang menutupi pucat dan kelelahan. Hari itu adalah hari bahagiaku. Menemukan perempuanku kembali, senyumannya masih sama, dan gelang di tangan kanannya.
Aku ingat kata-kata seorang teman. Dia bilang, “Bahagia itu serupa pasir yang diam-diam saja memeluk pantai. Air datang air pergi, dia tetap di sana. Menanti, menunggu, entah sampai kapan. Bahagia itu kamu. Ketika ku tatap ke dalam matamu dan menemukan aku pernah ada di sana dan akan tinggal abadi di sana.”
Aku mencintainya dengan sederhana. Sederhanaku adalah kesempurnaannya. Aku berlalu menjauhi kamar itu dan pergi dengan bahagia.
Gregorius B. Mbete CMF
HIDUP NO.14 2019, 7 april 2019