HIDUPKATOLIK.com – Saat ini Gereja Katolik sedang memasuki Masa Puasa yang akan berlangsung selama empat puluh hari, empat puluh malam. Apakah ada konsep pembatalan puasa di dalam Gereja dan bagaimana menggantikannya?
Shanti, Riau
Sebelum memberikan jawaban soal “Apakah ada pembatalan puasa di dalam Gereja Katolik?”, pendasaran utama yang perlu dipegang oleh Umat Katolik adalah pemahaman akan arti puasa itu sendiri dalam Gereja Katolik. Puasa dalam Tradisi Gereja sebenarnya bukan soal tidak makan atau tidak minum, tetapi puasa adalah bentuk perwujudan pertobatan seorang Kristiani (Bdk. KGK 1434). Dalam Tradisi Gereja, masa Prapaskah dipahami sebagai masa pertobatan. Inilah sebabnya pada masa Prapaskah setiap orang Kristiani diundang untuk melakukan pertobatan melalui bentuk pantang dan puasa.
Secara khusus, Gereja mengajak pada masa Prapaskah tersebut umat beriman melakukan puasa pada dua hari yang ditetapkan, yaitu Hari Rabu Abu dan Jumat Agung. Namun, Gereja tidak menutup kemungkinan selama masa Prapaskah di luar hari tersebut umat Katolik boleh menjalankan puasa tambahan. Dalam hal puasa ini, Gereja memang memberikan suatu aturan tentang siapa pelaku puasa, yaitu setiap orang Katolik yang genap berumur 18 tahun sampai awal 60 tahun (KHK Kan 1252). Akan tetapi, “Betulkah kewajiban puasa itu berarti juga bahwa orang tidak boleh batal melakunnya?”
Pemahaman Puasa Gereja Katolik di atas sebenarnya telah memberikan penjelasan bahwa ‘puasa dalam Gereja Katolik tidak berkaitan dengan batal atau tidak batalnya’ tindakan berpuasa. Namun, puasa Gereja Katolik selalu berelasi dengan sikap tobat seorang, terutama tobat batin. Secara jelas, tobat batin itu memiliki arti suatu penataan diri dari segenap kejahatan yang dilakukan oleh manusia untuk hidup baru di hadapan Allah. Para Bapa Gereja menekankan bahwa, yang bertobat diiringi dengan kesedihan yang menyelamatkan (animi cruniatus) dan kepiluan yang menyembuhkan (compuctio cordis) (Bdk. KGK 1431). Inilah inti utama dari pertobatan batin sehingga puasa tidak dilihat begitu saja berkaitan dengan soal aturan puasa semata, soal kewajiban melakukan puasa, tetapi Gereja mengajak bahwa laku puasa tersebut adalah ungkapan tobat yang keluar dari batin seseorang.
Maka, puasa yang selalu berkaitan dengan pertobatan jiwa yang mendalam bagi umat Katolik, disebut batal ketika seorang tidak melakukan pertobatan sekalipun dia melakukan puasa. Ini mau menegaskan tindakan fisik berpuasa tidak memiliki makna meskipun seorang melakukannya dengan baik tanpa disertai pertobatan. Seorang yang menjalankan puasa lalu tiba-tiba sakit, menstruasi, tiba-tiba harus makan atau minum karena periksa kesehatan tidak dapat dikatakan dia itu batal dalam olah pertobatan. Memang, orang itu “batal” melakukan tindakan puasa, tetapi secara rohani ketika penghayatan puasa sebagai olah tobat tetap ada, maka orang itu tidak bisa serta merta dikatakan batal dalam olah tobatnya. Secara tegas Gereja menyatakan, bentuk kewajiban berpuasa dapat digantikan dengan bentuk-bentuk lain seperti latihan-latihan rohani dan terutama karya amal kasih (Bdk. KHK Kan 1253).
Akhirnya, pertanyaan “Bagaimana seorang mengganti ketidakmampuan atau kegagalan puasa secara fisik pada Hari Rabu Abu dan Jumat Agung?” Pertanyaan ini tidak relevan lagi karena pemahaman puasa secara Katolik sebagai olah pertobatan menggambarkan bahwa puasa adalah salah satu sarana pertobatan bukan keharusan seorang untuk melakukan puasa. Aturan yang dibuat maka, seorang yang karena tidak mampu berpuasa karena alasan berat tidak disebut batal bertobat meskipun puasanya tidak berhasil dilakukan. Ia dapat menjalankannya dengan bentuk-bentuk pertobatan yang lain.
Pastor Yohanes Benny Suwito
HIDUP NO.14 2019, 7 April 2019