HIDUPKATOLIK.com – Gereja Jayapura rela berkotor tangan dengan para korban banjir bandang. Bagi Mgr Leo Laba Ladjar OFM, banjir bandang adalah kado dari Tuhan.
“Papua, surga kecil yang jatuh ke dunia”. Lirik lagu ciptaan Franky Sahilatua yang dinyanyikan oleh Edo Kondologit mengisahkan bagaimana kecintaan orang Papua terhadap tanahnya. Tanah yang subur kerap digambarkan sebagai representasi dari surga.
Representasi surga ini berangkat dari pandangan bahwa Papua menjadi ibu bagi sekian “anak” yang lahir dari rahimnya. Anak-anaknya belajar menimba kehidupan darinya. Satu demi satu dikenali dan diasuh dengan cinta mulia. Tidak ada yang terlewatkan.
Salah satu “anaknya” yang terbesar adalah Kota Jayapura. Kota ini menjadi penting karena menjadi ibu kota Provinsi Papua. Sayang, kota teluk ini harus berubah menjadi negeri berdarah. Pertengahan Maret 2019, banjir bandang menerpa kota itu. Dari data yang dihimpun Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 25 Maret 2019, sekitar 89 orang tewas dan 159 orang mengalami luka-luka sementara masih ada 74 orang dinyatakan hilang.
Sapaan Tuhan
Bertepatan dengan kisah pilu ini, Uskup Jayapura Mgr Leo Laba Ladjar OFM, pada 10 April mendatang, merayakan Pesta Perak Episkopal. Pesta, dalam tradisi masyarakat Jayapura adalah perayaan kebersamaan. Dalam perayaan ini, tidak ada pembedaan antara miskin atau kaya, pendatang atau pribumi. Semua menyatu dalam kegembiraan yang sama. Pesta ini semakin meriah bila pribadi yang dipestakan adalah seorang tokoh yang dihormati seperti uskup atau imam.
Harusnya, pesta perak Mgr Leo menjadi pesta kegembiraan bagi umat Keuskupan Jayapura. Pesta rakyat ini semestinya menjadi pesta persaudaraan dari setiap klan (suku) sekaligus momen damai bagi sukusuku yang mungkin pernah berseteru. Tetapi harapan kadang tak sejalan dengan kenyataan. Selalu saja ada aral melintang. Bencana ini kononnya menjadi yang terparah dalam sejarah.
Merefleksikan ini, Mgr Leo sampai pada pemahaman, bencana ini menjadi hadiah terindah dari Tuhan untuknya. Banjir menjadi kesempatan baginya untuk melihat lebih dalam apa rencana Tuhan bagi Keuskupan Jayapura.
Lewat semangat belarasa, Mgr Leo memilih merayakan pesta dalam kesederhanaan. Ia tak ingin berpesta di atas derita umat. Ia menggunakan kata hadiah dari surga untuk menjelaskan curah hujan yang dikirim Tuhan dari “atas” (surga) di hari ulang tahunnya. “Ini sebuah tanda atau cara Tuhan menyapa diri saya di hari ulang tahun ini,” ungkap Mgr Leo beberapa waktu lalu setelah banjir bandang menerpa Sentani.
Mempertimbangkan sisi keterlibatan Gereja dalam membantu para korban, Mgr Leo memilih merayakan pesta peraknya dengan Misa syukur. Tidak ada pesta yang meriah, tidak ada hura-hura, atau pesta rakyat. Akan ada perayaan Misa syukur pada 10 April di Gereja Kristus Raja Katedral Jayapura. Dalam Misa ini, intensi khusus tidak saja untuk Mgr Leo tetapi juga kepada para korban bencana alam di Jayapura.
Suara Gereja
Kebijakan yang dibuat Mgr Leo mendapat dukungan dari banyak pihak, termasuk para imam. Visi yang dikembangkan Mgr Leo adalah Gereja perlu berkotor tangan dengan memahami kondisi riil umat. Pelayanan kepada para korban bencana alam adalah kondisi riil yang sedang dihadapi Gereja Jayapura. Banyak orang menilai, cara ini sebagai bentuk dukungan penuh Gereja terhadap para korban, tidak saja umat Katolik tetapi juga umat beragama lain.
Meskipun sampai saat ini, betapa sulitnya menyentuh akar persoalan banjir bandang yang menimpah wilayah Jayapura. Ada yang mengatakan persoalan hakiki adalah pola pikir, soal keserakahan manusia untuk tidak merawat alam semesta. Ada juga yang melihat sebagai bentuk teguran Tuhan. Intinya persoalan banjir di Jayapura butuh kajian lebih lanjut.
Bila Gereja tidak tinggal diam, itu benar. Sebab sejak bencana ini terjadi beberapa organisasi dan lembaga sosial masyarakat telah terjun langsung membantu korban banjir. Mereka membantu membersihkan sarana prasarana umum. Beberapa diantaranya adalah Tim Gabungan Baznas Tanggap Bencana Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, TNI-Polri, Pertamina, juga pihak Keuskupan Jayapura.
Ketua Komisi Sosial Keuskupan Jayapura Pastor Goklian Paraduan Haposan OFM mengatakan, sejauh ini sudah ada gerakan dari berbagai paroki, instansi, paguyuban, dan Rumah Sakit Katolik. Ia memberi contoh di Paroki Sang Penebus Sentani, pastor paroki dan orang muda langsung turun membantu para korban. Umat Katolik juga sudah turun membersihkan jalan-jalan dan mengevakuasi para korban.
Rumah Sakit Provita Jayapura, rumah sakit yang dikelola Ordo Fransiskan (Ordo Fratrum Minorum/OFM) mengirimkan dua armada ambulans dengan masing-masing tujuh orang tenaga medis, yang terdiri dari dokter, perawat, dan tenaga lapangan. “Jadi bantuan secara nyata adalah terjun ke lapangan membantu korban yang mengalami luka-luka seperti patah tulang,” ujar Pastor Goklian.
Bantuan juga datang dari para frater Seminari Tinggi Yerusalem Baru Abepura, Jayapura. Mgr Leo mengajak para frater agar terjun langsung membantu para korban bencana alam. Beberapa pastor juga ikut serta dalam evakuasi korban banjir. Bahkan, ada beberapa tingkat yang aktivitas perkuliahan tetap berjalan tetapi tidak efektif. Pada pagi hari mengikuti kuliah tetapi siang sampai sore ke lapangan membantu para korban bencana.
Para frater ini dibagi dalam beberapa kelompok relawan untuk melayani posko-posko bencana alam. Beberapa juga terlibat langsung di dapur umum dengan menyediakan makanan, obat-obatan, pakaian layak pakai, dan lainnya. Selain itu, ada juga kelompok yang membantu mengevakuasi korban yang terluka. Sementara yang lain membersihkan lumpur atau air di rumah-rumah warga.
Frater Antonio Rahankey mengatakan para frater memberi bantuan sebagai wujud partisipasi terhadap korban bencana alam. Menyaksikan begitu banyak orang yang peduli dengan para korban. Para frater STFT Fajar Timur Abepura merasa perlu berbuat sesuatu untuk para korban. “Atas kerelaan dan dukungan staf pembina, uskup, kami terjun langsung membantu para korban. Meski banyak tugas kuliah dan ujian kami berusaha ada menguatkan para korban. Bantuan kami tidak saja kepada umat Katolik tetapi menyasar semua umat,” ujar Fr Antonio.
Gereja Jayapura benar-benar hadir dan merasakan perjuangan hidup para anggotanya. Ketika warga Jayapura yang menjadi anggota Gereja mengalami duka derita, itulah pengalaman Gereja. Bahkan, umat direndahkan martabatnya sekalipun, Gereja solider terhadap kondisi tersebut. Sebab, sukacita dan kegembiraan masyarakat Jayapura, juga menjadi sukacita dan kegembiraan Gereja.
Dalam Surat Gembala 2008, Mgr Leo menulis, ketika anggota Gereja terlalu lembut dan lirih menyuarakan pengalaman hati nuraninya, maka pemuka Gereja segera menangkap aspirasi dan cita-cita umat. Sebab di Jayapura, jeritan itu seringkali didengarkan oleh pemerintah ketika disuarahkan oleh pemimpin Gereja. Dengan carai ini, Gereja sebenarnya telah menunjukkan integritasnya sebagai Gereja yang mandiri dan misioner.”
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP NO.14 2019, 7 April 2019