HIDUPKATOLIK.com – Visualisasi jalan salib dengan memikul salib sebagai ajakan untuk bersama-sama sebagai anak bangsa menjaga persatuan.
Sebuah pemandangan yang tak biasa bagi umat Katolik Keuskupan Agung Semarang, Jawa Tengah. Iwan Purwoko umat Paroki St Maria Assumpta Klaten, Jawa Tengah melakukan sesuatu yang tak biasa. Ia melakukan visualisasi jalan salib dari Taman Wisata Candi Prambanan menuju gapuran gunungan wayang yang berada di Desa Tegalgondo, Kecamatan Wonosari, Yogyakarta, 19/4.
Dengan kaos putih yang dibalut kain ihram pemberian sahabatnya, ditambah balutan kain merah hingga membentuk dua warna merah putih, Iwan melakukan visualisasi jalan salib tersebut. Tidak saja berpakaian warna merah putih, Iwan juga memikul sebuah salib yang dibuat dari pohon waru. Pemilihan kayu waru bukan tanpa alasan. Menurutnya karena daunnya berbentuk jantung. Jantung memaknai perasaan cinta dan sayangnya kepada bangsa Indonesia.
Sambil memikul salib, Iwan menempuh jarak 33 kilometer melewati jalan raya Yogyakarta-Solo, Jl Pemuda serta Jl. Veteran Klaten. Ketika dihubungi, pria 43 tahun ini mengatakan prosesi jalan salib ini bertepatan dengan peristiwa Jumat Agung, wafatnya Kristus Sang Penebus. Tetapi bukan pertama-tama pesan kebangkitan Kristus yang mau disampaikan lewat visualisasi ini, tetapi pesan perdamaian. “Karena itu di atas salib itu saya tidak menulis INRI tetapi saya menulis NKRI. Tujuannya supaya kita hidup damai,” ungkapnya.
Iwan mengakui Paskah tahun ini sedikit berbeda karena bertepatan dengan pesta demokrasi yaitu Pilpres dan Pileg. Lewat banyak cara entah di media sosial atau secara langsung terjadi ujaran kebencian, money politic, nepotisme, korupsi, dan intoleransi dipertontonkan di khalayak ramai. Seakan-akan nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar tidak lagi menjadi pedoman dalam demokrasi.
“Melihat realitas ini, visualisasi jalan salib ini sebagai bentuk seruan perdamaian bagi warga Indonesia. Bisa juga dikatakan ini sebagai bentuk renungan di Jumat Agung bagi saya secara pribadi dan bagi masyarakat Indonesia. Sebab disadari, pelaksanaan Pemilu 2019, energi bangsa terbelah karena perbedaan piliham,” terangnya.
Persaudaraan yang kian terkikis ini membuat Iwan gelisah. Ia melihat bahwa rasa-rasanya persaudaraan tidak lagi menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia. Ada banyak orang memang berbicara bahkan menentang hal ini, tetapi banyak juga yang tinggal diam, tak bersuara. “Visualisasi jalan salib ini saya lakukan secara pribadi sebagai refleksi iman atas fenomena kebangsaan yang tidak lagi seperti yang diharapkan founding fathers, “ tegasnya.
Iwan berharap agar setelah Pemilu ini, setiap orang merasa terpanggil untuk menyuarakan perdamaian. “Saya berharap bila sebelum Pemilu ada hastag01 atau hastag02 maka saat ini penting untuk merajut persaudaraan. Tidak ada lagi Presiden milik mayoritas tertentu atau kelompok tertentu. Presiden, siapapun itu, milik kita bersama,” demikian Iwan berharap.
Yusti H. Wuarmanuk
Laporan: Anastasia Siswi Wahyuni (Yogyakarta)
HIDUP NO.17 2019, 28 April 2019