HIDUPKATOLIK.com – Bapa Kami merupakan doa yang diajarkan oleh Kristus sendiri kepada umat-Nya. Setelah dibandingkan, rumusan doa Bapa Kami dalam Kitab Suci dan doa Bapa Kami yang dipakai oleh umat Katolik terdapat perbedaan. Bagaimana itu bisa terjadi?
Martina, Kupang
Katekismus Gereja Katolik, dengan mengutip Bapa Gereja Tertullianus, menyebutkan bahwa doa Bapa Kami merupakan rangkuman atau kesimpulan keseluruhan Injil; doa yang paling sempurna, kata Thomas Aquinas. Dengan mendoakannya kita tidak hanya memohon, namun pula mengarahkan diri untuk dibentuk dan diperbaharui oleh doa tersebut. Tidak mengherankanlah kalah doa Bapa Kami sejak dalam tradisi awal Gereja disebut sebagai doa utama. Maka doa tersebut tidak saja disebut sebagai doa Tuhan, karena diajarkan serta diwariskan sendiri oleh Tuhan Yesus kepada kita, namun pula adalah doa Gereja. Karana itulah inti dan dasar dari doa yang didaraskan Gereja sejak semula. Bahkan dikatakan di awal kehidupan Gereja, doa tersebut dalam tradisi didoakan tiga kali sehari, namun terlebih menjadi doa pokok dalam liturgi Gereja.
Oleh karena itu di dalam doa Bapa Kami kita menyebut Bapa Kami, bukan Bapaku. Doa Bapa Kami bukanlah doa individual, melainkan doa kita sebagai Gereja, kepada Allah, yang kita sapa, berkat Roh Kudus, sebagaimana ditunjukkan Yesus, sebagai Bapa. Oleh karena itu dengan mendoakannya, kita menjadi bagian dari Gereja, berada dalam Gereja, dan berdoa sebagai Gereja.
Di dalam Injil kita menemukan dua rumusan yang berbeda antara yang ada dalam Injil Matius dan Lukas. Namun orang tidak mempersalahkannya. Doa Bapa Kami yang kita pakai lebih dekat dengan apa yang tertulis di dalam Injil Matius (lih Mat 6:9-13). Doa Bapa Kami telah digunakan sejak awal Gereja, namun semula berkembang dalam berbagai versi yang berbeda-beda, kadang ada penambahan tertentu. Namun saya tidak punya informasi sejak kapan rumusan yang kita pakai resmi digunakan oleh Gereja. Setiap upaya perumusan dibuat agar bisa semakin sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Yesus, sebagaimana tertuang dalam Injil. Bukan terutama sesuai dengan rumusan dalam Injil, akan tetapi terlebih semakin sesuai dengan maksud, pesan maupun intensi Injil. Oleh karena itu rumusan doa bisa berubah atau ada penyesuaian.
Konferensi Uskup Perancis, yang kemudian diikuti oleh Konferensi Uskup Italia, sebagai misal tahun lalu, merumuskan suatu perubahan kecil, namun signifikan dalam rumusan doa Bapa Kami. Bagian yang dicoba untuk disesuaikan terkait dengan ungkapan, “Jangan masukkan kami ke dalam pencobaan”. Yang menjadi persoalan adalah seakan Tuhan yang memasukkan ke dalam pencobaan, sehingga kita perlu memohon agar itu dibuat-Nya. Memang rumusan tersebut sebenarnya dekat dengan apa yang kita temukan dalam Injil Matius maupun Lukas, “Janganlah membawa kami ke dalam pencobaan” (Mat 6:13; bdk Luk 11:4). Akan tetapi, apakah sebenarnya maksud Tuhan?
Konferensi Uskup Perancis kemudian membuat rumusan ulang, “Jangan membiarkan kami jatuh ke dalam pencobaan”. Paus Fransiskus ketika mengomentari hal ini, mengatakan bahwa “Jangan masukkan kami ke dalam pencobaan” adalah terjemahan yang kurang tepat. Bukan Tuhan yang memasukkan kita ke dalam pencobaan, melainkan roh jahat, dan manusia sendirilah yang membiarkan diri masuk ke dalam pencobaan, bukan Allah. Oleh karena kita perlu memohon agar tidak jatuh ke dalam godaan atau pencobaan, karenanya lalu memohon pertolongan Tuhan untuk itu. Allah, Penyelamat, malahan ingin membebaskan kita, melepaskan kita dari pencobaan untuk menyelamatkan kita. Paus, sebagaimana juga diyakini Gereja, melihat bahwa “Janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan” sebenarnya lebih tepat diartikan sebagai Tuhan berilah kami kekuatan agar kita jatuh. Hanya rumusan yang dipakai dilihat bisa seakan Allah sendiri yang memasukkan ke dalam pencobaan, membiarkan kita jatuh.
Upaya perumusan ulang tersebut tentu masih bisa diperdebatkan. Akan tetapi Konferensi Uskup Perancis, yang kemudian diikuti oleh Italia, diberitakan telah cukup lama mendiskusikannya, hingga akhirnya menemukan kesepakatan. Upaya tersebut perlu kita lihat, bukan untuk pertama-tama menyesuaikan dengan rumusan yang ada dalam Kitab Suci, akan tetapi lebih mau menemukan rumusan yang lebih tepat dan sesuai dengan maksud serta pesan Kitab Suci. Itulah yang terjadi dalam dinamika Gereja sejak awal: hidup bukan terutama dengan kesesuaian rumusan, namun dengan kesesuaian pesan dan maksud ajaran dan hidup Yesus. Rumusan bisa saja berubah, namun semua demi lebih tepat mengungkapkan dan menggambarkan pesan serta maksud maupun ajaran Yesus sendiri.
T. Krispurwana Cahyadi SJ
HIDUP NO.13 2019, 31 Maret 2019