Saat, orang Minang dan Bali menyatukan antara budaya dan agama, orang Batak tidak. Orang Batak justru mempertahankan keduanya.
HIDUPKATOLIK.com – Santo Zending Protestan, Rheinische Missions-Gesellschaft (RMG) hadir sejak 1861 dan berhasil mengkristenkan Tanah Batak. Pada tahun 1911, jumlah orang Protestan sudah mencapai 100.000 orang. Seluruh lembah Silindung (sekarang Kabupaten Tapanuli Utara) pada waktu itu dinyatakan sebagai daerah Protestan. Pada tahun 1936, 25 tahun kemudian, jumlah itu menjadi 350.000 jiwa. Pendeta Nommensen dinyatakan sebagai rasul untuk orang Batak.
Misi Katolik baru muncul 70 tahun kemudian. Pastor Sybrandus van Rossum dan kawan-kawannya dari Ordo Kapusin (Ordo Fratrum Minorum Capuccinorum/OFMCap) tiba di Balige pada tahun 1934. Namun, misi ini tidak kalah sukses. Antara tahun 1950-1959, umat Katolik di seluruh Vikariat Apostolik Medan bertambah 186 persen. Umat yang awalnya 35.524 menjadi 101.550 jiwa. Sekarang ini jumlah umat Katolik Keuskupan Agung Medan (KAM) 528.444 orang (statistik KAM 2017).
Apa rahasianya, sehingga misi Katolik sedemikian sukses. Apa yang membedakannya misi Katolik dari zending Protestan? Dalam metode dan sarana pengkristenan tradisional, mereka menggunakan metode yang sama, yaitu mengkristenkan kepala marga (raja huta). Mereka juga membangun sekolah, pusat kesehatan, gedung gereja dan pengembangan ekonomi masyarakat desa.
Perbedaan terutama adalah Protestan melarang segala hal yang berbau budaya, sementara Katolik menerima unsur-unsur budaya yang mengandung apa yang baik, benar, dan suci (bdk. Lumen Gentium art.13, Nostra Aetate art.2). Hal ini mempunyai konsekuensi dalam membangun dialog antara iman dan budaya di Tanah Batak dan KAM hingga kini.
Dalihan Natolu
Salah satu penanda orang Batak adalah “marga”. Misalnya, Togar Nainggolan. “Togar” adalah nama pribadi sedangkan “Nainggolan” adalah marga. Marga ialah kelompok kekerabatan yang eksogen dan unilinear, baik secara matrilineal (keturunan ibu) maupun patrilineal (keturunan bapak). Dalam hal orang Batak berlaku patrilineal.
Marga ini adalah hubungan darah. Kesatuan marga ini dijamin oleh hubungan mereka dengan nenek moyang. Orang yang mempunyai satu nenek moyang merasa sebagai satu keluarga (dongan tubu).
Orang-orang semarga memegang prinsip: satu kurban (sisada somba), satu kesatuan makan bersama (sisada sipanganon), satu dalam kemakmuran (sisada sinamot), satu dalam kemuliaan (sisada hasangapon), dan satu dalam kenistaan (sisada hailaon). Kesatuan antara orang-orang semarga sedemikian kuat, hingga diumpamakan bagaikan orang memotong air tak bisa putus (tampulon aek do na mardongan tubu). Namun serentak dengan itu mereka diingatkan supaya tetap berhati-hati kepada saudara semarga karena urusan marga sangat kompleks (manat mardongan tubu).
Kalau marga ada karena hubungan darah, maka Dalihan Natolu terjadi karena relasi perkawinan. Perkawinan orang Batak adalah eksogami dan antar marga. Dalihan Natolu mengisyaratkan ada tiga kelompok marga yang terlibat dalam relasi perkawinan tersebut, yaitu kelompok marga Ego (dongan tubu), kelompok pemberi istri (hulahula), dan kelompok penerima istri (boru).
Relasi di antara ketiga kelompok marga ini menciptakan sistem sosial masyarakat Batak, masyarakat Dalihan Natolu. Berhadapan dengan kelompok semarga, orang harus bersikap hati-hati (manat mardongan tubu). Berhadapan dengan kelompok marga pemberi istri (hulahula), orang harus bersikap hormat dan sembah (somba marhulahula). Saat berhadapan dengan kelompok marga penerima istri, orang harus bersikap penuh kasih sayang (elek marboru). Posisi ini sangat demokratis dalam arti, setiap orang Batak akan penah dalam posisi kelompok semarga, pemberi istri, dan penerima istri.
Apa kaitannya Dalihan Natolu dengan iman (agama) Katolik? Pertama, pada awal misi Katolik, para misionaris mengkristenkan kampung demi kampung dengan mempertobatkan ketua marga (raja huta). Dengan sendirinya para anggota marga yang lain akan menganut agama Katolik.
Kedua, keputuan dan ketentuan agama seringkali membutuhkan peneguhan budaya. Misalnya, perkawinan yang diberkati di gereja harus melaksanakan acara adat Batak, supaya diakui secara adat.
Ketiga, menggunakan peristiwa keagamaan sebagai kesempatan memperkuat ikatan keluarga. Misalnya, orang Batak akan berusaha mudik ke kampung halaman pada masa Natal dan Tahun Baru. Keempat, persoalan Marga dan Dalihan Natolu seringkali sangat mempengaruhi hidup menggereja. Karena persoalan keluarga, orang bisa pindah agama, hubungan darah lebih kuat dari ikatan air permandian.
Iman dan Budaya
Pada tingkat dialog antara iman Katolik dengan budaya Batak, kita dapat mengatakan beberapa hal berikut ini. Pertama, Teologi Batak yang diperbaharui dengan Teologi Kristen memberi paham yang lebih gampang dan lengkap untuk mengerti Tuhan orang Batak dan orang Katolik.
Mulajadi na Bolon (Awal Mula Yang Besar) memang tidak identik dengan Yahwe, Tuhan orang kristen. Tetapi, dengan menyebut ada persamaan atribut antara keduanya, memungkinkan pendekatan yang lebih gampang. Menurut Mgr. Anicetus Sinaga, Mulajadi na Bolon, sekaligus transenden dan imanen. Transenden karena adanya adalah kekal dan sama sekali lain. Mulajadi na Bolon adalah pencipta kosmos dan segala isinya. Tetapi sekaligus Mulajadi na Bolon juga imanen melalui berbagai pengalaman numina dalam suatu hidup yang dinamis dan kosmos yang kudus.
Kedua, penyusunan kembali di antara keduanya. Kalau dalam tata cara kehidupan Bagi orang Batak, unsur kekeluargaan dan sifat kebersamaan sangat penting. Maka unsur kekeluargaan ini dapat diperluas melewati batas famili, marga, dan suku. Hal ini harus hidup dalam Kelompok Basis Gerejani (KBG). Relasi ikatan darah harus ditransformasikan dalam ikatan iman.
Ketiga, usaha inkulturasi. Liturgi Katolik memakai beberapa unsur budaya Batak, seperti bahasa, musik, ritus, tarian, pakaian, beras, ulos, dan benda simbolis lain. Ada juga bangunan gereja dalam gaya rumah adat Batak lengkap dengan ornamen. Ide di dalamnya agar umat Katolik Batak merasakan Tuhan hadir dalam rumah dan keluarga mereka.
Keempat, mengganti unsur-unsur yang tidak fungsional. Ada unsur-unsur yang semakin kurang berfungsi dalam budaya Batak, yaitu para datu (imam tradisional dan dokter Batak). Jumlah datu semakin berkurang karena upacara-upacara tradisional Batak dilarang oleh zending Protestan dan pemerintah Belanda. Fungsi datu ini diambil alih oleh para petugas gereja.
Kelima, mengoreksi paham yang salah. Begu (roh orang meninggal) yang ditakuti orang Batak perlu dikoreksi oleh Katolik. Menurut budaya Batak, seseorang yang meninggal maka jiwanya menjadi begu. Begu (hantu) ini berbahaya, karena ia cemburu kepada orang yang hidup. Mereka harus dibujuk dan disenangkan dengan persembahan-persembahan.
Sebaliknya, menurut iman Katolik orang yang meninggal didoakan supaya mereka masuk surga. Mereka juga mendoakan orang yang masih hidup di dunia. Tidak ada ketakutan orang Katolik kepada orang yang meninggal.
Keenam, peneguhan unsur-unsur yang saling mendukung. Satu hal yang sangat ditekankan oleh kekristenan ialah kebersamaan (koinonia), yang mengandung nilai solidaritas. Dalihan Natolu sebagai struktur sosial masyarakat Batak ini sangat penting.
Dalihan Natolu didasarkan atas hubungan kekeluargaan yang merasa senasib dan sepenanggungan baik dalam suka maupun duka, jauh atau dekat. Solidaritas ini mengatasi ruang dan waktu tetapi juga sekaligus konkrit.
Kontekstualisasi Iman
Tujuan dialog antara iman Kristen dengan budaya Batak membawa transformasi untuk keduanya dan kontekstualisasi iman Kristen dalam budaya Batak. Inkulturasi: “berarti suatu transformasi nilai-nilai kebudayaan otentik secara mendalam melalui proses integrasi mereka ke dalam kekristenan dan meresapnya kekristenan ke dalam pelbagai kebudayaan umat manusia” (Redemptoris Missio art.52).
Salah satu contoh adalah penghormatan kepada nenek moyang orang Batak dalam bentuk monumen di Pulau Samosir. Apa makna dan fungsinya? Penghormatan kepada nenek moyang didukung orang budaya Batak dan iman Kristen.
Dari segi iman, pembangunan monumen nenek moyang ini menjadi momen bagi mereka untuk menghormati nenek moyang (juga orangtua) seperti diaturkan dalam sepuluh perintah Tuhan, “hormatilah ibu bapamu”. Dengan memberi hormat kepada mereka dan mengucap syukur kepada Tuhan karena jasa-jasa dan berkat dari nenek moyang ini, mereka mengharapkan nasib yang lebih baik di masa depan.
Untuk orang Samosir, kontekstualisasi iman dalam budaya penghormatan kepada nenek moyang dalam bentuk monumen menjadi alasan mengapa banyak monumen nenek moyang ada di sana. Dalam hal ini usaha kontekstualisasi dimaksudkan untuk merelevankan iman dalam penghayatan hidup sehari-hari. “Kebudayaan itu ruang vital. Di situah pribadi manusiawi bertatap muka dengan Injil… Dalam perspektif ini, menjadi lebih jelas mengapa pewartaan Injil dan kontekstualisasi erat hubungannya.” (bdk. Ecclesia in Asia art. 21).
Iman tidak selayaknya terpisah dari kehidupan bahkan harus mengakar di dalamnya. Gereja harus berusaha sejak awal untuk melaksanakan integrasi iman dan kehidupan. Iman Kristen dan budaya Batak akan merajut identitas Batak Katolik yang cantik dan bermutu, bagaikan ulos Batak.
Herman Nainggolan OFMCap
Dosen Antropologi STFT St Yohanes Pematang Siantar, Sumatera Utara
HIDUP NO.13 2019, 31 Maret 2019