HIDUPKATOLIK.com – Tidak lama setelah Sudan Selatan menjadi negara merdeka tahun 2011, negara itu terlibat perang saudara sepanjang lima tahun. Ratusan ribu orang tewas dan jutaan orang terlantar. Pertempuran terjadi antara pasukan yang setia kepada Presiden Salva Kiir dengan kelompok pemberontak yang dipimpin oleh mantan Wakil Presiden Riek Machar.
Para uskup di Sudan Selatan mengkhawatirkan perjanjian damai antara pemerintah Sudan Selatan dengan para pemimpin oposisi akan gagal karena masalah utamanya disebut belum ditangani. Usai pertemuan yang digelar oleh uskup-uskup di Juba, 26-28 Februari lalu, sebuah surat pastoral dirilis. Mereka menyuarakan keprihatinan bahwa pejabat pemerintah tidak memiliki tekad untuk mengamati Perjanjian Revitalisasi Resolusi Konflik di Sudan Selatan.“Kami khawatir perjanjian damai ini fatal dalam dirinya sendiri dan tidak bisa membawa perdamaian sejati; kami juga khawatir bahwa kepemimpinan saat ini tidak memiliki keinginan untuk menerapkan perdamaian.”
Tak hanya mengemukakan kekhawatiran, para pemimpin Gereja ini juga menawarkan 17 saran untuk memperbaiki situasi. Mereka mengatakan keadaan darurat negara itu harus dicabut untuk memungkinkan kebebasan berbicara dan hak-hak lainnya. Para uskup mengatakan bahwa mereka dapat memainkan peran dalam upaya perdamaian, dengan mempromosikan dialog antarpihak. Pakar awam juga harus dilibatkan untuk memberikan rekomendasi, kata mereka, karena semua orang di negara itu harus bekerja sama jika perdamaian abadi ingin dicapai.
Para uskup juga meminta pihak yang melanggar perjanjian damai dimintai pertanggungjawaban dan sistem harus dikembangkan untuk menghindari “pemicu” kekerasan di masa yang akan datang.
Hermina Wulohering
HIDUP NO.10 2019, 10 Maret 2019