HIDUPKATOLIK.com – Demokrasi menjadi polemik yang tak akan pernah selesai. Tragedi 1998 menjadi bukti demokrasi terjabik-cabik karena kekuasaan. Di tahun politik ini, tidak ada rambu-rambu jelas soal demokrasi. Agama dan politik dijadikan alat kekuasaan. Demikian Wenri Wanhar saat berbicara dalam bedah buku Lelaki di Tengah Hujan karyanya di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta, Jakarta Selatan, Jumat, 5/4.
Buku sastra ini ditulis dari sudut pandang orang ketiga. Selama menulis buku ini, Wenri merasakan pahitnya demokrasi 1998 saat itu. Ia bercerita, buku ini adalah catatan-catatan lepas sebagai jurnalis pada tahun 1998. Catatan itu lalu dikembangkan menjadi skripsi dan kemudian menjadi novel. “Tulisan ilmiah ini melahirkan novel tersebut,” ujarnya.
Novel ini lebih banyak mengisahkan bagaimana perjuangan para aktivis yang berjuang menyelamatkan negara dari embel-embel demokrasi. “Wenri sekaligus ingin membangkitkan semangat terdahulu pada generasi zaman ini. Maka buku ini cocok untuk para pejuang demokrasi,” ungkap Martin Aliada, sastrawan dan novelis.
Aktivis 1998, Ignatio Indra mengatakan, buku ini sangat relevan sebab akhir-akhir ini hak asasi manusia dibatasi. Agama menjadi hilang kendali karena dirasuki politik. Semangat revolusioner bukan lagi dari awam tetapi dimulai dari masjid, gereja, dan tempat-tempat ibadah lainnya. “Agama dijadikan alat politik dengan dalil demokrasi yang sesungguhnya. Hal ini membuat akhir-akhir ini Indonesia menuju krisis demokrasi. Karena itu kita perlu mengembangkan demokrasi ketaatan kepada UUD 1945 dan Pancasila” ungkap Ignatio.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP NO.15 2019, 14 April 2019