HIDUPKATOLIK.com – Hampir seluruh hidupnya dijalani dengan sesal mendalam. Ia pernah membunuh rekan kerjanya. Ia memohon dan mendapatkan maaf dari keluarga korban.
Operasi Seroja atau invasi militer Indonesia ke Timor Portugis (kini: Republik Demokratik Timor Leste) sekitar tahun 1975-1976 banyak menelan korban. Tak terkecuali bagi tentara Indonesia. Banyak juga dari mereka yang kembali dengan organ tubuh tak lengkap. Satu dari ribuan prajurit Indonesia yang terlibat dalam pertempuran itu adalah Frei Nuno Fernadez de Santa Maria.
Sayang, keberuntungan sepertinya tak berpihak kepadanya waktu itu. Ia dinyatakan hilang pasca pertempuran. Nama prajurit berpangkat letnan satu itu pun raib dari kesatuannya. Setelah 42 tahun kejadian itu, Frei Nuno tiba-tiba menampakkan diri di tengah keluarganya. Semua terkejut. Mantan prajurit itu ternyata masih hidup.
Ia kini bertahan hidup dengan bekerja sebagai buruh kopra di Desa Samuya, Taliabu Timur, Maluku Utara. “Musuh yang saya hadapi bukan lagi di medan perang tetapi kerasnya (perjuangan) mencari uang untuk bertahan hidup,” ujar Frei Nuno.
Buntut Penolakan
Kelahiran Puno, Los Palos, Timor Leste,1 Mei 1955 ini mengenang, dirinya berperang bersama sekitar 500 pasukan. “Saya lahir di Timor Leste tetapi cinta Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saya pernah berperang selama lima jam dengan tentara Fretelin,” kenangnya.
Kesedihan mendalam ia rasakan saat angkat senjata jelang Natal tahun 1975. Ia bersama prajurit lain memburu Fretelin ke Pegunungan Maubara. Medan yang sulit nyaris menguras habis tenaga mereka. Ransum mereka pun ludes. Dengan sisa tenaga yang ada, mereka masih harus memanggul senjata dan ransel nan berat.
Pertempuran tak terhindarkan begitu mereka tiba di puncak Maubara. Lulusan Akademi Militer Bogor, Jawa Barat itu terkejut menyaksikan seorang rekannya memperlakukan jazad lawan dengan semena-mena. Mungkin karena rasa lapar. Tapi, rasa kemanusiaannya tak bisa menerima alasan itu.
Frei Nuno melihat dengan mata kepalanya sendiri, rekannya itu memotong tubuh seorang prajurit Fretelin. Potongan-potongan tubuh itu lantas dibakar dan diberikan kepada prajurit lain, termasuk Frei Nuno. Namun ia menolak tawaran itu. “Orang yang meninggal itu berasal dari Timor Leste dan saya berasal dari sana. Saya tak ingin makan saudara sendiri. Ini alasan logis dan manusiawi,” ungkap Frei Nuno.
Penolakannya berbuntut panjang. Rekannya menuduh Nuno sebagai musuh dalam selimut. Geram, tanpa banyak kata, ia ambil bedil, membidik rekannya itu. “Sesaat itu juga, rekan saya meninggal. Saya tahu, tindakan ini akan mengakhiri karir militer saya,” turut Frei Nuno.
Ucapan Frei Nuno menjadi kenyataan. Namanya masuk dalam daftar hitam sebagai pembunuh prajurit Indonesia. Namanya dikubur bersama banyak prajurit sebangsanya yang merenggang nyawa di Bumi Loro’Sae.
Buruh Kopra
Berita kematian Frei Nuno segera tersebar ke pihak keluarganya. Mereka mengadakan Misa arwah bagi sang Letu. Ketika banyak kerabat dan orang sekampung menganggap Frei Nuno telah gugur, di seberang sana ia masih beraktifitas. Meski karir militernya tamat, mantan institusinya mengkaryakan dirinya untuk menjalani beberapa operasi rahasia di sejumlah wilayah di Indonesia.
Sekitar tahun 1995, pemerintah RI meluncurkan program Angkatan Kerja Antar Daerah (AKAD). Nama Frei Nuno tercantum dalam daftar tersebut. Mula-mula ia ditempatkan di Mangole, Maluku Utara. Pada tahun itu pula, ia mendapatkan surat pemberhentiannya sebagai anggota militer.
Dalam warkat itu pula dijelaskan alasan pemecatan dirinya. Ia dianggap melawan pemerintah dan terlibat dalam kematian beberapa anggota militer. Frei Nuno hanya bisa menerima keputusan itu tanpa diberi kesempatan untuk membela diri.
Frei Nuno keluar-masuk beberapa perusahaan. Terakhir ia bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kayu di Samuya, Taliabu, Maluku Utara. Ia seorang pekerja yang rajin dan setia kawan. Bila ada rekan karyawannya yang kelelahan, ia selalu bersedia untuk membantu.
Suatu ketika, perusahaan itu limbung. Gaji yang Frei Nuno terima tak sebanding dengan kerja kerasnya. Sampai akhirnya, perusahaan memutus kontrak banyak karyawan, satu diantaranya adalah Frei Nuno. Nahasnya, ia tak menerima pesangon dari perusahaan.
Tak mengantongi cukup uang serta dibarengi dengan tuntutan bertahan hidup, Frei Nuno terpaksa bekerja apapun. Terakhir, ia menjadi buruh kopra. Setiap hari, ia mencari, memetik, mengupas, dan menyiangi kelapa-kelapa. “Ini bukan cita-cita saya sejak kecil. Tetapi mungkin ini takdir Tuhan untuk saya,” ujarnya.
Nuno mengaku, sebulan hanya bisa membawa pulang uang sekitar Rp 300-400 ribu. Di Maluku Utara, harga kopra cenderung labil. Saat ini, harga kopra per kilogram berkisar Rp 3000. Nominal ini tak sebanding dengan usaha serta waktu pengerjaan untuk menghasilkan kopra. Ditambah, tak sedikit orang yang mengantungkan hidup dari pekerjaan itu.
Meski perjalanan hidupnya penuh onak, Frei Nuno selalu yakin dengan pesan Pengkhotbah (3:11) bahwa rencana Tuhan selalu indah pada waktu-Nya. Ia hanya berpasrah, menjalani lika-liku kehidupannya sebagai penyelenggaraan Ilahi. Ia percaya, Tuhan punya rencana bagi hidupnya, kendati tak mudah untuk menjalani.
Ia mengenang, seandainya kala itu turut menyantap jazad demi mempertahankan hubungan pertemanan dan karir, bukan tak mungkin dirinya bakal memandang rendah kemanusiaan. Kini, meski tak punya harta berlimpah, ada satu kekayaan tak ternilai yang dimilikinya: rasa kemanusiaan terhadap sesama.
Kendati demikian, ia tak bisa mengubur masa lalunya. Ia masih terus mengingat rekan yang dibunuhnya lantaran memberikan potongan tubuh jenazah untuk dimakan. Saban kali kenangan itu datang, ia hanya bisa menangis dan memohon maaf. “Bila bertemu keluarganya, saya ingin berlutut dan meminta maaf kepada mereka,” harapnya.
Perjuangan Hidup
Di tengah kecamuk batin dan benak lantaran peristiwa masa lalunya, Frei Nuno juga tengah berjuang menyambung hidupnya. Selain itu, ia berjuang untuk mengumpulkan uang agar mampu pulang kampung dan menjenguk keluarganya. Di tengah “perjuangan” itu, Frei Nuno menyelam dalam kegiatan di Paroki Santa Maria Immaculata Falabisahaya, Keuskupan Amboina.
Frei Nuno juga menjadi andalan para pastor di sana tiap kali turne ke stasi terluar. Ia menjadi teman sekaligus penjaga sepanjang perjalanan. “Pengabdiannya untuk gereja membuat umat semakin mencintainya. Meski wajahnya sepintas terlihat garang, hatinya seperti malaikat,” puji Kepala Paroki Falabisaya, Pastor Nelis Openg.
Sebelum Tuhan memanggilnya, Frei Nuno hanya berharap dua hal: bertemu keluarganya di Timor Leste dan meminta maaf kepada keluarga prajurit yang dibunuhnya. “Ini tanggung jawab yang besar. Bila ada keluarga korban yang membaca tulisan ini, saya berharap bisa mendapatkan maaf dari mereka,” tutupnya.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP NO.11 2019, 17 Maret 2019