HIDUPKATOLIK.com – Tiap ikonografer (penulis ikon) punya kisah tersendiri saat berkenalan dan menulis gambar suci. Doa dan puasa harus mereka jalani.. Mereka pun terikat pakem.
Vincentia Winarti Handayani penasaran dengan lukisan Maria yang dilihatnya saban kali mengikuti Ibadat Taize di sekolah. Rupa ibunda Yesus itu telihat tak elok. Atau, jauh dari kesan anggun, seperti yang sering ia lihat di tempat-tempat lain. “Gambarnya rada aneh. Maria terlihat tak cantik, (wajahnya) seperti penyok-penyok, garang, atau marah,” ujar Winy –sapaannya –, menceritakan kembali pengalamannya kala SMA, awal Februari lalu.
Setelah beberapa waktu kemudian, Alumna St Ursula Jalan Pos, Jakarta Pusat itu akhirnya mengetahui, lukisan itu adalah ikonografi. Suster pembimbing Taize yang memberitahu kepadanya. Di komunitas Taize pula Winy mendapat informasi bahwa ikon berasal dari tradisi Gereja-gereja Timur dan berkembang di sana.
Lulus SMA, Winy mengambil jurusan desain di Amerika Serikat. Salah satu mata kuliah yang dipelajari adalah sejarah seni, termasuk mengenai ikon. Baginya, ikon merupakan salah satu kekayaan yang dimiliki Gereja. Ketertarikannya di bidang desain ditambah kecintaannya terhadap Gereja, mendorong anggota Paduan Suara Schola Iacartensis (komunitas bernyanyi Gregorian) ini untuk mendalami soal ikon.
Pojok Ikon
Sekembali ke Tanah Air, perlahan-lahan Winy mulai mencari dan melahap berbagai literatur soal ikon. Ia membaca buku dan menggali informasi dari jagat maya. Banyak informasi yang ia peroleh. Salah satunya, dalam tradisi Gereja Timur, pembuatan ikon tak disebut sebagai aktivitas melukis melainkan menulis.
Hal serupa juga berlaku bagi para pembuat ikon. Umat Gereja Timur menyebut mereka yang mengerjakan ikon sebagai penulis bukan pelukis. Sebab, mereka menulis kembali isi Kitab Suci. Bahkan, kata Winy, umat Gereja Timur hampir menyamakan ikon seperti Kitab Suci. Karena itu, sebagai benda suci, ikon harus dihormati bukan sebatas dikagumi sebagai sebuah karya seni.
Khazanah pengetahuan Winy mengenai ikon bertambah ketika bertemu dengan seorang rekannya di komunitas Schola Iacartensis. Kelak rekan satu komunitasnya itu ditahbiskan sebagai imam Gereja Ortodoks. Namanya Pastor Gabriel Rehata. Dalam perjalanan, lulusan Rhode Island School of Design ini bertemu dengan seorang imam Gereja Ortodoks, Pastor Gabriel Rehata, yang juga rekannya di komunitas Schola Iacartensis.
Pada beberapa kesempatan, Winy bersama sejumlah orang diajak Pastor Gabriel ke gerejanya. Winy melihat beragam bentuk dan penggunaan ikon di Gereja Ortodoks. Ia kagum dengan beragam ikon yang terdapat di sana. Bahkan Winy sempat berlatih menulis ikon dari Pastor Gabriel dan ikonografer Gereja Ortodoks.
Lantaran gemar melukis dan kecintaannya kepada Gereja, kelahiran Jakarta, 10 Februari 1978 ini ingin mengasah pengetahuan sekaligus keterampilannya menulis ikon. Ia mendapat rekomendasi dari Pastor Gabriel tentang seorang rekannya, rahib sekaligus ikonografer, yang bisa membantu dirinya. Tahun 2008, Winy terbang ke Amerika untuk bertemu ikonografer yang direkomendasikan oleh Pater Gabriel.
Lulusan Rhode Island School of Design ini “berguru” kepada Hiermonk Silovan, di Komunitas Ortodoks Mercy House, di New York, Amerika Serikat. “Di sana, saya berlatih sekitar 1,5 bulan, sejak pagi hingga malam. Saya belajar teknik asli (membuat ikon) darinya,” kenang mantan anggota Komisi Liturgi Konferensi Waligereja Indonesia ini.
Kembali lagi ke Tanah Air, umat Paroki St Fransiskus Asisi Tebet, Keuskupan Agung Jakarta ini mendapat permintaan dari Pastor Paroki St Theresia Menteng, Pastor Lambertus Sugiri van den Heuvel SJ, untuk menulis ikon di kapela adorasi paroki. Winy menggarap kepercayaan itu selama enam bulan. Pada tahun yang sama, 2008, Winy bersama seorang ikonografer dari Gereja Ortodoks menggelar pameran ikon di aula Gereja St Theresia. Pastor Gabriel kembali membantu Winy dengan meminjamkan ikon dari gerejanya untuk pameran tersebut.
Winy juga menulis ikon untuk sampul buku Evangeliarum. Selain itu, di bawah lapak Kiranikon, ia menulis dan memasarkan ikon bagi umat atau gereja yang membutuhkan. Namun, sejak menikah dan memiliki anak, untuk sementara ia rehat dari aktivitas tersebut. Sebab, menulis ikon, menurutnya, membutuhkan niat kuat, waktu khusus, serta kehidupan rohani yang baik. “Saat ini fokus perhatian saya kepada anak, keluarga, dan usaha lain,” ungkap istri Albertus Parama Nugroho ini.
Kendati sekarang puasa menulis ikon, sejak dini Winy sudah mengakrabkan ketiga anaknya dengan benda suci itu. Ada pojok ikon di satu bagian kediamannya. Tempat itu menjadi ruang doa keluarga.
Doa, Puasa
Sama seperti Winy, David Gozali pun pertama kali mengenal ikon dari Pastor Gabriel. Sekitar tahun 2006, ia bertemu dengan Pastor Gabriel dalam konser ekumenis yang diadakan oleh sejumlah Gereja. Acara tersebut berlangsung rutin dari satu gereja ke gerja lain. Pada satu ketika, Gereja Ortodoks menjadi tuan rumah konser tersebut.
Saat masuk ke Gereja Ortodoks David melihat sejumlah ikon. Ia juga mendapat penjelasan soal ikon, doa, dan liturgi Ortodoks dari Pastor Gabriel. David mengakui, penjelasan dari Pastor Gabriel membuka cakrawalanya. Sebelumnya, ia hanya mengetahui tentang Gereja Katolik (Roma/Barat) dan Gereja-gereja reformasi. “Ternyata Kekristenan itu bermacam-macam,” ujarnya.
Selang beberapa waktu, Pastor Gabriel menghubungi David. Pastor Gabriel meminta bantuannya untuk membuat beberapa ikon untuk Gereja Ortodoks yang akan rampung dibangun. David, yang berprofesi sebagai arsitek, menyanggupi permintaan Pastor Gabriel. Mula-mula ia menulis ikon dengan pensil. Ia terkejut, ikon karya perdananya menuai respon positif dari Pastor Gabriel.
Ikon pertama David adalah Kazanskaya atau Theotokos (Bunda Allah) dari Kazan. Ikon itu ia hadiahkan untuk keluarga Pastor Gabriel.
Puas dengan karya David, Pastor Gabriel meminta jebolan Fakultas Teknik Universitas Leuven Belgia itu untuk terus menulis ikon. Hingga saat ini, ada sekitar 20 ikon yang ditulis David terpampang di Gereja Ortodoks Epifani Suci, Keuskupan Agung Singapura dan Asia Tenggara. Gereja ini berada di Jatiwaringin, Jakarta Timur.
Selain menulis ikon untuk Gereja Ortodoks, beberapa kali ia mendapat permintaan dari umat Gereja lain baik dari dalam maupun luar negeri. Ada juga umat Katolik yang memesan untuk menulis ikon St Ignatius dari Loyola. “Dari informasi yang saya terima, ikon itu akan dihadiahkan untuk sebuah komunitas Jesuit di Jawa Tengah,” terangnya.
Kegemarannya dalam menggambar tokoh-tokoh rohani serta yang utama karena kebutuhan Gereja, David tetap menulis ikon hingga kini. Kadang, jika sedang sepi proyek, ia “menyelam” dalam pekerjaan itu. Meski demikian, untuk kebutuhan Gereja, David tak meraup rejeki dari sana. Ia sudah merasa bahagia bisa berkontribusi untuk Gereja. Baginya itu sudah lebih dari cukup.
Menurut David, menulis ikon membutuhkan waktu khusus. Selain itu, penulis ikon juga membawa karyanya dalam suasana doa serta berpuasa. “Untuk yang terakhir itu tak mudah, tapi saya selalu berusaha,” ujar pria kelahiran Jakarta, 5 Mei 1974 ini, merendah. Bagian sulit lain saat menulis ikon, lanjut David, adalah mengerjakan wajah. Untuk bidang itu biasanya ia garap dua hingga empat hari.
Memiliki Pakem
Christian Tombiling mengetahui istilah ikon sejak SMP. Hal itu bermula ketika dirinya mulai mengenal ajaran Katolik dari buku-buku ibundanya, yang berprofesi sebagai pendeta Gereja Masehi Injili di Minahasa. Dalam pustaka tersebut, Christian menemukan ikon Bunda Penolong Abadi. “Saya terpukau sekali. Begitu banyak makna dalam satu lukisan. Saya ingin juga menggambar yang seperti itu,” ujar Christian, mengenang pengalamannya.
Saat itu, ia belum mengetahui “lukisan” yang membuatnya kagum adalah ikon. Ia hanya ingin menggambar lukisan indah itu. Christian meminta kepada ibunya untuk membelikan kayu dan cat. Ini pengalaman perdananya menggambar dengan menggunakan kuas serta cat di atas kayu.
Begitu jadi, Christian menggungah karyanya di Facebook. Tiba-tiba, ada seseorang yang mengomentari lukisannya. Namanya Michele. Ia mengatakan, karya Christian disebut ikon. Kejadian itulah yang pertama kali membuka mata Christian soal ikon. “Itu adalah ikon pertama saya…Saat itu, saya belum tahu bahwa ikon itu memang biasanya digambar di kayu,” ujarnya.
Kejadian itu mendorong Christian untuk mendalami tentang ikon secara otodidak. Ia membaca berbagai buku dan menonton berbagai tayangan di YouTube. Dari situ, ia mendapat informasi bahwa menulis ikon memiliki rambu-rambu yang kudu ditaati.
Pengetahuan Christian tentang ikon bertambah ketika Michele menghubungkannya dengan Pastor Olexander Bohun Kenez. Pastor Olex adalah imam Gereja Katolik Ukraina dari tradisi Byzantin. Saat ini, ia adalah pembimbing rohani di Rumah Byzantin, sebuah persekutuan Katolik Timur di Indonesia. Komunitas ini berada di Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan.
Perkenalan antara Pastor Olex dengan Christian kian guyub sejak sang imam menetap di Indonesia. Semula Pastor Olex tinggal di Manado lalu hijrah ke Jakarta. Tahun 2017, Christian bergabung dengan Gereja Katolik Tradisi Byzantin. Ia menetap di Rumah Byzantin sebagai ikonografer. Hingga kini, Tian, sapaannya, sudah banyak menulis ikon.
Ia mengaku tak kesulitan menulis ikon. Satu ikon bisa ia kerjakan tiga hingga empat hari. Bahkan, ia pernah menulis ikon hanya dalam waktu tiga jam. Ikon berukuran 20 x 20 senti meter itu adalah Yesus dan Bunda Maria. Meski demikian, terang Tian, ikon memiliki pakem yang harus diperhatikan oleh setiap ikonografer.
Kaidah pertama, ungkap siswa SMA ini, ikon berbentuk dua dimensi. Artinya, dilihat dari sisi kiri-kanan bentuk ikon tetap sama. “Tak seperti patung, kalau dilihat dari sisi berbeda, Tuhan Yesus melihatnya ke sisi lain. Sementara ikon, mau kita lihat dari sisi manapun, figur dalam ikon seperti melihat ke kita,” bebernya.
Aturan kedua, sebelum menulis ikon, seorang ikonografer perlu berdoa dan berpusa. Menurut Tian, ada ikonografer yang berpuasa sampai 40 hari. Sementara dirinya, selama mengerjakan ikon tergantung dari anjuran Pastor Olex. “Apa yang bapak rohani bilang, saya ikuti,” ujarnya.
Syarat ketiga, ikon tak ada ruang untuk menduga. Karena itu, terutama ikon figur harus menampilkan ciri khas atau simbol serta keterangan, misal nama. Tian mencontohkan, figur Yesus selalu ditulis dengan mengenakan jubah bagian dalam berwarna merah, sementara jubah luar berkelir biru. Warna merah dalan teologi ikon berarti ilahi, sedangkan biru melambangkan kemanusiaan. Ikon Yesus memiliki nimbus (lingkaran berwarna kuning di atas kepala) serta ada enskripsi bahasa Yunani IC XC, berarti: Yesus Kristus.
Sesuai Budaya
Menurut Tian, kendati ikon harus taat pada kanon, spiritualitas Byzantin memungkinkan ikonografer untuk menyesuaikan tulisannya sesuai dengan budaya setempat. Di Rumah Byzantin, terdapat ikon St Dimitri. Ikon pelindung komunitas itu bergaya Jawa. Semula, banyak simpatisan Katolik Timur di Indonesia tak setuju dengan penulisan ikon seperti itu. Dalam pandangan mereka, ikon harus bergaya Yunani. Rupanya pun harus orang Yunani. Padahal, Yesus bukan berasal dari sana.
Dalam spiritualitas Byzantin, ikon pun tak pernah dilukiskan secara emosional. Jadi ketika umat melihat ikon tak harus sampai membuat orang menangis atau terbawa perasaan lain. Sebab, tujuan ikon ditulis untuk membawa umat mengalami dan merefleksikan iman melalui figur atau peristiwa yang ditulis dalam ikon.
Yanuari Marwanto, Hermina Wulohering
HIDUP NO.11 2019, 17 Maret 2019