web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Menyelamatkan “Kaum Tersalib”

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Realitas penderitaan merupakan undangan untuk bertanggung jawab dengan mengembangkan sikap solider yang berpuncak pada tindakan konkret bagi mereka yang tersalib zaman ini.

Mengejar kebahagiaan merupakan idaman setiap orang. Dengan berbagai cara manusia berusaha untuk menggapainya. Dalam upaya ini, salah satu kata yang sering dihindari adalah penderitaan. Namun semakin dihindari justru hal ini terus menggerogoti manusia zaman ini. Di sini terdapat sebuah ironi, di tengah beragam upaya menggapai kebahagiaan terdapat lautan penderitaan yang luas.

Dalam kehidupan sehari-hari, dengan mudah kita menemukan jiwa-jiwa yang menderita, menjerit, menangis, dan putus asa. Secara sistematis mereka dimasukkan dalam “kotak ketidakbahagiaan” oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, dan oleh struktur sosial, ekonomi, politik, budaya yang dominatif dan manipulatif. Ironi ini selanjutnya terwujud dalam tindakan. Kebahagiaan terus dikejar sedangkan penderitaan dihindari dan bahkan harus dihapus dari ingatan manusia. Namun ketika manusia berusaha menghindarinya, penderitaan justru datang menjemput.

Dalam konteks ini, upaya menggapai kebahagiaan ternyata harus dibarengi dengan penderitaan. Di tengah situasi tersebut, spiritualitas Pasionis yang berpusat pada sengsara Yesus sebagai tindakan kasih terbesar Allah menjadi aktual untuk dibicarakan, terutama bagi mereka yang “kalah” atau sengaja “dikalahkan” dalam menggapai kebahagiaan. Mereka inilah yang disebut sebagai orang-orang tersalib zaman ini.

Tidak Merampas Martabat
Setiap orang, siapa pun dia, apa pun yang dilakukannya, dan di mana pun berada, pasti mengalami penderitaan. Tidak ada yang absen dan diistimewakan. Karena itu benar penyataan Jean Galot bahwa penderitaan merupakan kenyataan eksistensial yang menyentuh kodrat kemanusiaan kita. Ia melekat pada kodrat kita sebagai manusia dan sedikit demi sedikit menggerogoti eksistensi kita (Jean Galot, Perche la Sofferenza?, Ancora: Milan, 1983, hal. 5).

Penderitaan menyerang berbagai dimensi eksistensi manusia baik fisik, psikologis, moral maupun spiritual. Secara fisik misalnya, ada yang menderita karena kecelakaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan di tempat kerja dan sebagainya. Secara psikologis misalnya, ada yang menderita karena dibullying oleh teman sekolah atau teman kantor, karena penceraian, dikucilkan dalam masyarakat dan sebagainya. Secara moral dan spiritual misalnya, ada yang menjadi batu sandungan karena pilihan hidup yang berbeda keyakinan, budaya, orientasi politik dan sebagainya. Namun penderitaan tidak akan merampas martabat kita sebagai manusia.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga Lima Tahun ke Depan

Di tengah aneka penderitaan tersebut, cara menerimanya pun beragam. Ada yang tabah dan menerimanya, ada yang mengeluh, ada yang menyalahkan orang lain, ada yang mengingkari, ada yang memberontak, bahkan sampai meniadakan Tuhan dari hidupnya. Apapun reaksi kita atas realitas penderitaan, kiranya kita setuju dengan pernyataan Mauriac dalam bukunya berjudul Cinque voti dell’angoscia – Lima Wajah Kecemasan: “Ketika terlahir ke dunia aku dihiasi oleh bunga penderitaan, bunga tersebut ternyata berduri tetapi membawa keharuman dalam hidupku.”

Bunga penderitaan yang membawa keharuman itu, bukan karena realitas penderitaan itu sendiri tetapi makna yang terkandung di dalamnya. Dikatakan demikian, karena realitas penderitaan dalam dirinya sendiri merupakan sebuah pengalaman negatif, yang harus dihindari bahkan harus dihapus dari kehidupan manusia.

Salib Pasionis
Penderitaan perlu dilihat sebagai pengalaman positif, yaitu sebagai kesempatan bagi eksistensi untuk berkembang. Kalau manusia memiliki keutamaan-keutamaan dalam menghadapi penderitaan seperti keberanian, kesabaran, dan kerendahan hati, ia akan berkembang melaluinya. Banyak orang kudus dan martir dalam Gereja Katolik yang berhasil memaknai penderitaan dalam hidup mereka. Salah satunya Santo Paulus dari Salib.

Ada beberapa momen penting dalam formasi spiritual St. Paulus dari Salib yang terpusat pada Yesus tersalib. Pertama, pertobatan pada tahun 1713 di mana ia berkata, Allah yang penuh kasih mengubah jalan hidupku dan memanggilku untuk bertobat. Kedua, keinginan untuk mati sebagai martir dalam perang salib (1715-1716). Ketiga, tahun 1717-1718, ia terdorong untuk hidup dalam kesunyian, kemiskinan yang sungguh-sungguh, menjalani hidup bertapa dan mengumpulkan para sahabat untuk mempromosikan rasa hormat atau takut akan Allah. Keempat, pada tahun 1720, ia mendapatkan pencerahan batin mengenai panggilannya untuk mendirikan kongregasi baru yang mendasarkan spiritualitasnya pada sengsara Yesus di dalam Gereja.

Baca Juga:  Buah-buah Sinode III Keuskupan Sibolga Harus Menjadi Milik Seluruh Umat

Momen-momen penting dari St. Paulus di atas, dapat disimpulkan bahwa inti semangat hidupnya terpusat pada misteri sengsara Yesus sebagai tindakan kasih terbesar Allah. Menanggapi kasih Allah ini, Paulus mengabdikan hidupnya secara penuh untuk mengikuti dan meneladani Yesus Tersalib lewat partisipasi pada sengsara-Nya.

Dengan tajam Paulus menyelidiki kejahatan-kejahatan sezaman dan dengan tegas memaklumkan bahwa sengsara Yesus, karya tebesar dan agung kasih Ilahi adalah obat mujarabnya (Konstitusi Pasionis,7).

Dari pernyataan Paulus ini, dapat dikatakan bahwa inti sari semangat Pasionis adalah sebagai berikut ini: Pertama, partisipasi pada sengsara Yesus. Partisipasi ini sekaligus secara pribadi, bersama, dan apostolis dinyatakan dengan konsekrasi diri pada Yesus tersalib. Konsekrasi diri pada memoria Pasionis ini menjiwai penghayatan nasihat tiga Injil: kemiskinan, kemurnian, ketaatan.

Kedua, hidup bersama dalam kepenuhan cinta kasih Kristiani. Hidup bersama ini disebut sebagai persekutuan hidup berdasarkan cinta kasih Kristus tersalib. Ketiga, hidup doa. Hidup doa memusat pada kontemplasi tanpa henti pada Kristus Tersalib untuk semakin menyerupai Dia dalam wafat dan kebangkitan-Nya. Semangat doa ini ditopang oleh semangat cinta akan kesunyian dan tapa. Keempat, semangat kerasulan yang berpusat pada pewartaan Injil Sengsara. Pasionis mewartakan Sengsara Yesus dan wafatNya.

Kontemplasi Menuju Aksi
Menurut Paulus, spiritualitas mesti bertolak dari praksis, yakni pengalaman akan misteri Sengsara Yesus Kristus sebagai karya Kasih Allah yang paling agung dalam kontemplasi dan aksi. Kontemplasi dan aksi ini disebut pula sebagai saat diam atau saat hening di hadapan misteri Sengsara Yesus, dan dibedakan dari pasiologi yang merupakan saat bicara tentang Kristus tersalib.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga Lima Tahun ke Depan

Dalam pasilogi, kita terlibat aktif bersama orang-orang tersalib zaman ini dengan berusaha mencari jalan keluar dari situasi yang mereka hadapi. Tentu banyak aksi dan kreativitas pastoral yang dilakukan, baik kategorial maupun parokial. Semuanya tergantung pada situasi dan kondisi sosial yang dihadapi Gereja dan masyarakat. Banyak mereka yang memiliki kehendak baik mendampingi dan terlibat aktif dengan orang-orang tersalib zaman ini. Dalam melakukan karya pastoral seperti ini, tentu perlu kerja sama dengan membangun jaringan (dengan semua orang yang berkendak baik.

Berhadapan dengan realitas penderitaan yang dihadapi manusia zaman ini, kita mungkin pernah mengajukan pertanyaan, apakah penderitaan itu sebagai problem atau sebuah misteri. Jawaban tentu sangat tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Bagi yang melihatnya sebagai misteri, penderitaan merupakan sesuatu yang melibatkan saya, karena ia tidak berada di luar saya tetapi menyertai hidup saya. Karena itu, pertanyaan tentang misteri penderitaan bukan hanya soal apakah ada penderitaan melainkan siapakah yang menderita.

Di sini tindakan yang dilakukan biasanya berusaha untuk tenggelam dalam misteri penderitaan bersama Yesus Kristus Tersalib. Sementara itu, bagi yang melihat penderitaan sebagai problem, mereka biasanya akan tergerak melibatkan diri dalam tindakan konkrit yaitu dengan membantu orang-orang tersalib zaman ini seturut situasi sosial yang dihadapi gereja dan masyarakat. Di sini pertanyaan tentang penderitaan tidak hanya hanya menjawab siapa yang menderita tetapi menjawab pertanyaan mengapa dan bagaimana mengatasi penderitaan. Dalam konteks ini, realitas penderitaan merupakan sebuah undangan untuk bertanggung jawab dengan mengembangkan sikap solider yang berpuncak pada tindakan konkret dihadapan mereka yang tersalib zaman ini.

Pius Pandor CP, Dosen STFT Widya Sasana Malang

HIDUP NO.10 2019, 10 Maret 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles