HIDUPKATOLIK.com – Banyak keluarga Kristiani berusaha keluar dari salib kehidupan, lupa bahwa di atas puncak salib ada kemenangan dan terang.
Acu dilahirkan bukan dari keluarga Katolik. Tahun 1997, bersama Pocky, sang suami dan tiga anaknya baru dibaptis secara Katolik. Sejak itu, Acu merasa begitu bersyukur dan bahagia bisa menjadi anggota Gereja. Kegembiraan ini diungkapkan dengan kecintaannya kepada Ekaristi. Tiada hari tanpa mengikuti Ekaristi. Jiwa Acu dan Pocky seakan terus bersatu dengan Kristus yang terbagi dalam kurban Ekaristi.
Kebanggaan sebagai pengikut Kristus tidak saja terungkap dalam Ekaristi. Pocky sang suami, memutuskan terlibat dalam setiap pelayanan. Ia bahkan menjadi ketua lingkungan, Ketua Bina Iman, anggota kor, dan juga melayani di Legio Maria. Sering pada malam hari, “panggilan” untuk melayani kadang dating. Di saat itu, Pocky akan selalu siap melayani. Pasutri Paroki Santo Thomas Rasul Bojong, Jakarta ini menyadari keterikatan dalam pelayanan membuat hidup mereka jauh lebih baik. “Kami bisa saling mengenal, saling terbuka, dan belajar mencintai karena mengenal Tuhan,” ujar Pocky.
Ekaristi bagi keluarga teladan ini adalah peristiwa sukacita karena betapa Tuhan yang penuh kerahiman dan Maha Besar mau menebus manusia. Pemeliharan Tuhan dalam hidup sehari-hari diaminkan pasutri ini terwujud dalam Ekaristi. Ekaristi menjadi kesempatan kita diundang bersatu dalam salib Kristus.
Mukjizat Ekaristi
Tetapi Tuhan menguji iman mereka pada 29 Oktober 2009. Ketika itu, Pocky divonis mengidap kanker paru-paru stadium akhir. Tentu, Acu pun marah dan kecewa pada Tuhan. Ia sempat protes kepada Tuhan: kenapa harus kami?
Pengalaman ini membuat Acu merasa sia-sia percaya kepada Tuhan. Tuhan terasa jauh dari keluarga ini. Acu kerapkali berlinang air mata memohon kepada Tuhan tetapi selalu berakhir dengan pernyataan, “Tuhan, aku kecewa,” keluhnya suatu kali.
Pocky biasanya melayani dengan tulus hati pun sempat berkata, “Apakah ini upah Tuhan baginya dalam melayani?” Pocky tak tahu apa kesalahannya, sehingga diberi ujian yang begitu berat. Apalagi, saat itu dokter mengabarkan, bahwa waktunya tinggal enam bulan saja. Dengan kata lain, kanker ini tak bisa diobati lagi. “Kanker sudah menyebar ke seluruh tubuh dan paru-paru sebelah kanan sekitar enam sentimeter,” ujar Pocky.
Linangan air mata, derita, dan nestapa sudah kenyang dialami kelahiran 23 November 1963 ini. Namun, Acu belum ingin menyerah. Ia percaya ada rencana Tuhan di balik semua ini. “Dihadapan dokter, isteri saya mengatakan, ‘Saya masih kuat karena memiliki Tuhan’. Meski saya tahu air matanya tertumpah di meja dokter itu,” kisah Pocky.
Setiap hari Pocky mengurung diri di kamar. Ia tidak mau berbicara kepada Tuhan. Ia tidak mau keluar kamar. Ia bermaksud menghabiskan hidupnya di kamar. Hal ini berjalan hampir seminggu.
Bagai kerasnya batu yang akhirnya kalah oleh tetesan air, Pocky akhirnya menyerah. Pada hari ke delapan, ia mulai berbicara pada Tuhan. Pocky berkata, saya berdoa bila ini kehendak Tuhan, ambil secepatnya jangan sampai dirinya tersiksa. Ia juga berdoa bagi keluarga, ia sadar pengobatan kanker itu mahal. “Saya tak ingin meninggal dengan membiarkan beban kepada keluarga.”
Acu meyakini akan ada mukjizat terjadi di balik ini semua. Dengan uang terbatas, ia memboyong sang suami, yang sudah batuk batu darah, ke Singapura. Pocky awalnya tak mau, tetapi demi menyenangkan hati istrinya, ia mengikuti tawaran itu. Acu seorang yang tak mau ambil pusing dengan keadaan keuangan keluarganya.
Di Singapura keduanya cuma bisa mengontrak sepetak kamar di tanpa AC, kipas angin, dan jendela. Acu berdoa siang dan malam kepada Tuhan. “Saya berjalan dengan keyakinan Tuhan pasti membuka jalan. Keyakinan itu terbukti dengan begitu banyak orang yang membantu kami. Bila butuh biaya ada saja yang membantu,” ujar Acu meyakini.
Mukjizat kesembuhan itu datang dari Tuhan. Selama perawatan, Pocky didampingi dr Karmen Wong di Rumah Sakit Gleneagle. Saat mengecek ulang dengan PET- Scan, ditemukan ternyata kanker Pocky baru stadium 3A dan masih bisa disembuhkan. Mendengar itu Pocky langsung menangis, memeluk istri dan mengatakan siap menjalani perawatan. Ia menjalani kemo selama tujuh kali dan diradiasi sebanyak 35 kali setiap hari. Dan selama itu pula, keduanya tak lepas dari doa.
Setiap habis menjalani kemoterapi, dengan sedikit memaksa, Acu mengajak suaminya mengikuti Ekaristi di Novena Church Thomson Road, Singapura. “Puji Tuhan proses penyembuhan berjalan lancar. Pocky mengalami kesembuhan, keluarga kami dipulihkan. Mukjizat Ekaristi terbukti dalam keluarga kami.”
Spiritualitas Salib
Bagi Pocky, penyakit kanker yang dialaminya adalah salib dalam keluarga. Salib awalnya dimengerti sebagai sesuatu yang menyengsarakan, membuat orang lain lepas dari imannya. Tetapi pasutri ini merefleksikan, di atas puncak salib ada keselamatan, ada terang, ada cinta kasih. keduanya yakin salib yang mereka alami adalah persatuan erat dengan penderitaan Kristus.
Menyoal salib dalam keluarga, Pastor Susilo Nugroho CP mengatakan salib dalam keluarga bermacam-macam. Banyak keluarga yang memiliki pengalaman serupa dengan pasutri Pocky dan Acu. Zaman ini orang merasa penderitaan ini kebanyakan soal fisik. Dalam keluarga entah di perkotaan atau pedesaan refleksi salib dalam kaitan dengan penderitaan meski berbeda secara bentuk tetapi memiliki makna yang sama.
Menurut imam yang sering menjadi moderator rekoleksi pasutri ini, faktor pendidikan membuat sudut pandang setiap keluarga berbeda-beda. Penghayatan iman akan pengalaman penderitaan ini harus dibentuk dari keluarga. Kerapkali penghayatan iman dalam keluarga mempengaruhi pola pikir seseorang. Pandangan salib dalam keluarga pula bermacam-macam. “Bila saya dilahirkan dalam keluarga yang kurang religius, bisa saja saat ini saya tidak menjadi imam,” ujar Pastor Susilo memberi contoh.
Refleksi soal salib tergantung penghayatan akan salib kepada Yesus yang tersalib. Meski ini bukan kesimpulan definitif, tetapi ini tantangan utama yang sering terjadi dalam salib. Maka paling penting, kata Pastor Susilo, adalah bagaimana komunikasi yang dibangun dalam keluarga. Komunikasi verbal dan non verbal harus benar-benar tercipta dalam keluarga. “Ketika komunikasi antar pasutri terbentuk, akan membantu keluarga menjadi keluarga yang mau menerima salib dalam kehidupan,” jelasnya.
Komunikasi pasturi ini, lanjutnya, adalah spiritualitas pasangan. Setiap pasangan butuh dukungan dari setiap pasangannya. Setiap pasangan perlu menomorsatukan pasangannya. Bila komunikasi ini dikelola dengan bijak maka penghayatan iman ini dapat berjalan berproses dengan baik dalam keluarga.
Bagi Pastor Susilo, spiritualitas pasangan ini kerap dilupakan dalam keluarga zaman ini. Banyak pasutri terlalu mempertahankan ego masing-masing dan kurang menghargai pasangannya. Tak heran banyak keluarga yang gagal membangun keluarga Kristiani yang baik. “Mengelola komunikasi berdasarkan spiritualitas pasangan terasa susah zaman ini. Tetapi itulah salib yang harus dilalui agar keluarga bahagia,” ungkapnya.
Dalam keluarga perlu diterapkan prinsip mengalami salib sebagai bagian tak terpisahkan dalam relasi suami isteri. Salib itu bukan sebuah penghinaan tetapi sebuah jalan menuju kesetiaan, tanggungjawab, dan keterbukaan. Setiap keluarga perlu mengalami salib-salib kehidupan buka berjuang keluar dari salib. Keluarga Kristen sejati adalah keluarga yang mau membuka diri kepada salib dan mengalami diriya dicintai oleh subjek salib yaitu Yesus Kristus.
Kerapkali, kata Pastor Susilo, salib bukan lagi sebuah kemegahan-sesuatu yang agung. Salib mulai mengalami pergeseran makna dari aspek spiritual pada pemahaman lahiriah. Keluargakeluarga zaman sekarang terjebak dalam putaran pemikiran bahwa salib itu harus dihindarkan. “Padahal salib itu adalah cinta Tuhan. Kita mengalami salib yang penuh kegelapan menuju terang. Inilah spiritualitas salib dalam keluarga yang sesungguhnya,” demikian Pastor Susilo.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP NO.10 2019, 10 Maret 2019