HIDUPKATOLIK.com – Ia berkeliling Indonesia membantu mereka yang terdampak bencana dan konflik. Kepeduliannya kepada mereka yang menderita muncul sejak kuliah.
Tragedi kemanusiaan Mei 1998 menggerakkan Jossep Laurentius Frederick William untuk menolong para korban. William saat itu masih berstatus mahasiswa kedokteran umum Universitas Kristen Maranatha, Bandung.
Kala itu mahasiswa dari berbagai kampus di Jakarta terlibat bentrok dengan aparat keamanan. Sebagai sesama mahasiswa, William dan rekan-rekannya tergerak untuk membantu. Dengan membawa obat-obatan seadanya, mereka berangkat ke Jakarta dengan biaya sendiri.
Aktivitas kemanusiaan itu berlanjut dengan menolong para korban di Timor-Timur ( kini Republik Demokratik Timor Leste). Di sana mereka menolong pengungsi Timor-Timur yang terkena dampak jajak pendapat. Sejak saat itulah, alumnus SMU Santo Aloysius Bandung ini menyediakan diri membantu mereka yang terkena bencana atau musibah. Tuhan mempertemukan William dengan teman-teman yang memiliki panggilan yang sama. Mereka kemudian membuat kelompok dan terjun langsung membantu para korban.
Tepat Waktu
Tahun 2006, William menyarankan agar fakultasnya membuat organisasi tanggap bencana. Di lokasi bencana, menurutnya, para mahasiswa bisa belajar banyak mengenai cara pengobatan dan menolong sesama, sekaligus menanamkan kepedulian kepada sesama. Restu didapat, organisasi itu berkembang tak hanya diisi oleh mahasiswa Fakultas kedokteran tapi juga mahasiswa dari fakultas lain.
Organisasi kemanusiaan itu bernama MSSCC (Maranatha Social Service & Crisis Center). Selain bencana, MSSCC juga membantu menangani masalah sosial dan konflik. “Di tempat bentrokan yang berlatar belakang suku, ras, dan agama yang terjadi, biasanya kami akan hadir bersama para personel TNI. Kami membantu menenangkan masyarakat dan juga
membuat perdamaian untuk bisa kembali terwujud di lokasi konflik,” ujar dokter yang saat ini sedang menyelesaikan Magister Hukum Kesehatan Unika Soegijapranata, Semarang ini.
Tahun 2010, William berpisah dari MSSCC. Ia mendirikan yayasan sendiri yang diberi nama Medicuss Foundation. Anggotanya tak hanya alumni Maranatha, tapi juga dari berbagai profesi lintas kampus yang memiliki kesamaan visi yakni kemanusiaan. Dana kegiatan ini didapat dari para donatur. Untuk mendukung biaya operasional, ia membuka bimbingan belajar bagi mahasiswa kedokteran yang kesulitan mengikuti dan memahami pelajaran.
William terkenang ketika membantu korban gempa di Sumatera Barat tahun 2009. Mereka menghimpun dana dari media sosial. Dalam satu hari bisa terkumpul dana 80 juta. Uang itu lalu digunakannya untuk membeli obat-obatan. Sayangnya, William tak punya uang untuk memberangkatkan teman-temannya. “Saya bertemu dengan seorang bapak. Beliau ternyata direktur Sriwijaya Airlines. Bapak itu memberi saya 20 tiket gratis. Tim kami ada 60 orang, tinggal 40 orang yang belum bisa berangkat,” kisahnya.
Tanpa diduga, teman sesama alumni SMU Aloysius Bandung menghubunginya. Temannya itu sudah berpangkat kolonel penerbang. Temannya itu menawarkan mereka berangkat menggunakan pesawat Hercules. Mereka lalu berangkat sambil membawa bantuan logistik sebanyak dua ton. Di lapangan pun banyak orang yang membantu karya kemanusiaan mereka. “Semua yang ingin kami kerjakan bisa berjalan dengan lancar seperti harapan, walau kami tidak memiliki dana. Tuhan selalu mengutus malaikat-Nya untuk menolong kami. Pertolongan-Nya tepat pada waktuNya,” ujarnya penuh iman.
Berpikir Kreatif
Sewaktu berkunjung ke daerah bencana, kelahiran Bandung, 4 November 1972 ini selalu mengajak mahasiswa dan dosen dari berbagai fakultas, antara lain psikologi. Mahasiswa dan dosen yang turun ke lapangan ditugaskan untuk membantu memulihkan trauma masyarakat, terutama anak-anak, pasca bencana.
Belum lama ini William dan timnya membantu para korban gempa bumi di Lombok dan Palu. Mereka membantu memulihkan trauma dengan program hipnoterapi massal agar proses pemulihan lebih cepat. Saat ini Medicuss memiliki empat hipnoterapis.
Selama membantu para korban bencana, William dan rekan-rekannya tinggal di tenda pengungsian. Sebelum berangkat, mereka menyiapkan segala keperluan pribadi. Mereka biasanya mandi di sungai atau di pancuran. William mengaku jarang bisa mandi di kamar mandi bila ada di lapangan.
Bahkan kadang mereka tidak bisa mandi dan tidur dengan nyaman selama berhari-hari. Meski begitu, mereka berupaya memanfaatkan apa yang ada. “Saya mencoba berpikir kreatif untuk bisa beristirahat dengan baik dan bisa makan dengan apa yang ada dan tersedia apapun itu agar dapat membantu sesama secara baik,” jelas pria yang pernah mendapat pelatihan manajemen bencana dari pemerintah Australia ini
Selain kegiatan sosial Medicuss juga merupakan salah satu dari badan yang mengurusi masalah keracunan merkuri dan logam berat yang ada di Indonesia. Medicuss bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Kesehatan. Selanjutnya diharapkan akan bisa merangkul kementerian lainnya.
Pria yang sering didapuk menjadi narasumber media cetak serta media elektronik ini berharap semua kegiatan penanganan keracunan merkuri dan logam berat lainnya yang ada di Indonesia dapat ditangani dan diselesaikan dengan sebaik-baiknya. “Saya berharap masyarakat yang menjadi korban keracunan merkuri dan logam berat mendapat perawatan yang baik. Mereka berhak mendapat masa depan yang cerah,” ujarnya.
Banyak cara bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Misalnya alih profesi para penambang emas rakyat atau mencari alternatif penghasilan buat masyarakat sekitar lokasi penambangan emas ilegal.
Perpanjangan Tangan
Pengagum St Teresa dari Kalkuta ini sungguh meyakini, Tuhan berkarya dalam setiap kegiatan kemanusiaan yang dilakukannya. “Semua organisasi yang saya pimpin atau saya pernah terlibat di dalamnya pasti menggunakan kata-kata in the name of God”.
Menurut William, semua yang ia dan lakukan untuk para korban merupakan karya Tuhan. Mereka hanya perpanjangan tangan-Nya. “Saya sendiri hanya ibarat pion dalam permainan catur. Semua keberhasilan itu tidak mungkin terjadi tanpa campur tangan Tuhan secara langsung,” ujar penulis buku panduan hipertensi lengkap untuk dokter ini.
Dokter Katolik di mata William hendaknya memiliki ketulusan dalam melayani. Janganlah para dokter berpikir untuk mendapatkan keuntungan pribadi. “Kita ada di sana untuk melayani. Maka kita harus melayani sesama dengan sebaik-baiknya. Jika kita memberikan yang terbaik, maka akan mendapatkan balasan yang sesuai dengan yang kita berikan juga,” saran umat Paroki Santo Laurentius Sukajadi, Keuskupan Bandung ini.
Ivonne Suryanto
HIDUP NO.09 2019, 3 Maret 2019